Senin, 09 Juni 2008

Perempuan, Kebangkitan dan Kasih

Perempuan, Kebangkitan dan Kasih.

Menurut kalender, kebangkitan sudah berlalu, walau masih banyak institusi yang merayakannya. Namun spiritnya tetap hidup melampaui penanggalannya, bahkan yang menghidupi kalender itu sendiri. Turunnya Roh Kudus yang dirayakan hari ini diawali dari persitiwa kebangkitan yang perempuan sebagai pemeran utama peristiwa itu. Walau direalitanya dulu dan kini, perempuan itu di wadah yang titik beranjaknya adalah paskah itu sendiri, yaitu gereja, tetap memegang peran figuran. Tulisan ini menjadi lebih relevan ketika bulan lalu hari Kartini, bulan kini hari pendidikan dan kebangkitan nasional, dirayakan, sehingga roh dari ketiga perayaan ini mampu berperan untuk mentranformasi peran yang dilakoni perempuan tidak hanya di kalangan gereja tapi juga di masyarakat dan pemerintah.

Perempuan dan Kebangkitan

Ideologi Patriarki yang masih dominan kini adalah yang juga mendominasi kebudayaan di Alkitab. Sehingga sangat mencengangkan ketika melihat bahwa ketiga injil sinopsis menyaksikan kepada seluruh pembaca bahwa perempuanlah sebagai saksi awal paskah bahkan yang dengan berani mewartakannya. Dan ketiga injil ini juga yang menuliskan bagaimana para lelaki, murid Yesus, yang meragukan akan kebangkitan Nya. Bahkan para lelaki ini, yang mengaku yang paling mengenal Yesus, melecehkan berita yang dibawa para perempuan itu, dan menyatakan mereka pembohong!

…”Perempuan-perempuan itu ialah Maria dari Magdala, dan Yohanna…. Dan perempuan perempuan lain juga yang bersama –sama dengan mereka memberitahukannya kepada rasul-rasul. Tetapi bagi mereka perkataan-perkataan itu seakan-akan omong kosong dan mereka tidak percaya kepada perempuan-perempuan itu. (Lukas 24:10-11).

Dalam cerita kehidupan Yesus, sejak diawal pelayanannya hingga Golgota ketiga injil sinopsis menyatakan bahwa peran perempuan adalah signifikan. Para sutradara Holywood mengadopsi kesaksian ini melalui film-filmnya, namun di kalangan gereja sendiri, banyak juga yang menyangkal keimamam dan kepemimpinan kaum perempuan.

Kesaksian ketiga injil menonjolkan kesetiaan dan keberanian perempuan khususnya dalam masa-masa sulit Yesus. Kesetiaan yang tak berharap balas; kesetiaan yang tulus tanpa takut kehilangan status dan kuasa (Mark 15:40-41) . Dalam ketidakberdayaan Yesus secara dunia (powerless), perempuan setia mendampingi (Mat 27:55-6), bahkan dimasa ketika Yesus dimengerti sebagai yang tidak berpengharapan (hopeless) - sudah didalam kubur- kesetiaan tetap dinyatakan. Sehingga tidak heran jika Matius, Markus dan Lukas tidak bisa menghapus tradisi bahwa para perempuanlah saksi mata pertama tentang kebangkitan Yesus (Matius 28:1; Markus 16:1; Lukas 23:55;24:10). Inilah hadiah dari kesetiaan.

Kebangkitan adalah titik awal iman Kristen yang menimbulkan Gereja. Iman itu sejak awal dimiliki perempuan yang disangkal para lelaki yang disebut murid-murid Yesus. Tidaklah hiperbola jika dikatakan bahwa Perempuan sebagai subjek dari dampak kebangkitanNya. Juga tidak hiperbola jika dikatakan bahwa sangatlah ironis bahwa tidak satupun dari para perempuan itu disebut murid Yesus secara legal, karena yang tertulis sebagai muridnya adalah keduabelas lelaki, lepas dari bagaimanakah mutu mereka: yang acap ngantuk (Mat 26:40, 43; Mark 14:37, 40; Luk 22:46) dan penakut (Mat 26:70, 72, 74; Mark 14: 68,70,71; Luk 22:57,58,60), seperti yang dituliskan kitab Markus

”Akhirnya Ia menampakkan diri kepada kesebelas orang itu ketika mereka sedang makan, dan Ia mencela ketidakpercyaan dan kedegilan hati mereka, oleh karena mereka tidak percaya kepada orang-orang yang telah melihat Dia sesudah kebangkitanNya.” (Mark 16:14, band. Lukas 24:11)

Dari pemaparan di atas bisa dikatakan bahwa peran perempuan sangat besar dalam mewujudkan dan mengembangkan kekristenan (baca gereja). Pernyataan ini masih absah hingga kini, termasuk di gereja Katolik. Mayoritas pengunjung kebaktian minggu dan ritual kekeristenan lainnya adalah perempuan. Persoalannya adalah perempuan hingga kini secara umum masih dalam kondisi pengikut belum pemimpin. Pertanyaan yang acap diajukan diantara para murid yang kesemuanya lelaki itu ialah: siapakah yang terbesar diantara kami?

Pemisahan secara tajam antara kedua gender (lelaki di ranah public dan perempuan diranah domestic) berdasarkan pola pikir subjek dan objek menghasilkan pola pikir dan tindak (power relation) yang bernuansa penjajahan. Sehingga hasilnya nampak dalam ideologi, sistem struktural dan kultural yang masih kita adopsi kini. Masyarakat masih sulit untuk ditibakan pada pemikiran kepemimpinan bersama yang bersifat saling melengkapi. Dalam arti lelaki dan perempuan adalah dua ciptaan yang berbeda tapi saling complement each other (saling melengkapi satu sama lainnya, lihat Kejadian 1: 26,28. Juga lihat pandangan Carol yang dikutip Elizabeth, … women perceive the world differently from men , thay they see the world as a web of relationships in which individuals can be identified by their relationships with others, ” Women as Peacemakers, Women Violence and Non Violence Change. Geneva: WCC Publication, 1996, 3).

Perempuan dalam Rumah Tangga Kristen dan Masyarakat

Bagaimanapun patriarki menyusup dalam rumah tangga, karena semua kita dibesarkan dalam satu komunitas, keluarga yang berkebudayaan. Sehingga jika terjadi pertautan seorang lelaki dan perempuan yang datang dari pola pikir dan tindak yang dengan tajam memisahkan peran kedua gender ini, maka jika tidak terjadi the third way (jalan tengah), perempuan yang ada dalam hubungan itu, secara eksplisit atau implisit adalah dalam kondisi yang tertekan. Rumah tangga ini tinggal menunggu bom waktu saja.

Budaya dan penafsiran yang salah atas a/ tulisan Paulus seperti di Efesus 5:22-33 (bandingkan dengan Galatia 3:28), b/ cerita penciptaan di Kejadian 2 (bandingkan juga dengan Kejadian 1) dan c/ arti tiap manusia dan anak dalam rumah tangga, mengakibatkan relasi suami-istri, orangtua-anak adalah dalam bentuk power relation. Sehingga pemunculan yang nampak dalam relasi ini adalah: perasaan tertekan-menekan, ditindas-menindas, tuan-hamba, pemberi-penerima. Padahal relasi seperti ini yang hendak diberantas oleh Yesus dan Paulus.

Kasih adalah dasar semua relationship

Kasih adalah dasar dari semua relasi (hubungan). Sehingga tidak heran jika Yesus mengatakan bahwa tangan kiri memberi, tangan kanan tidak perlu mengetahui. Dalam 1 Kor 13:13, Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar diantaranya ialah kasih. Kelahiran dan kematian Yesus secara nyata dimengerti oleh injil Yohanes sebagai yang didasarkan oleh kasih.

Kasih tidak bisa dilepas-pisahkan dari mutu iman (kepercayaan kita pada Allah). Dan mutu kepercayaan kita pada Allah nampak dari seberapa besar kita mampu memberikan (dalam bentuk apapun) bagian dari kita kepada orang/bagian lain di luar diri kita (apapun itu). Selain cerita Yesus tentang pemberian janda yang miskin, Paulus juga menuliskan di Roma bahwa tubuhmu adalah persembahan yang hidup dan itulah ibadahmu yang sejati.

Kasih mengalahkan atau bahkan memandulkan semua ideologi, struktural maupun kultural yang ditimbulkan patriarki. (Bdngkan, YB Mangunwijaya, Manusia PascaModern, Semesta dan Tuhan, hal. 220-24). Mereformasi patriarki menjadi semua ciptaan mendapat tempat (space) dalam tatanan dunia (Saya sengaja tidak mau menggunakan kata demokrasi, bandingkan dgn pendapat Corinne dalam Women as Peacemakers, 53) hanya bisa oleh kasih, tidak oleh ideologi atau struktur bahkan kebudayaan lainnya, atau yang dimengerti sebagai counter ideology, counter structural atau cultural (bandingkan Mohamad Sobary “Dominasi Simbolik dan Nyata Kaum Lelaki” dalam Benih Bertumbuh, 466-68). Saya pikir inilah yang dilakukan Yesus yang dengan perbuatannya yang berdasarkan kasih meruntuhkan/mendobrak ideologi, struktural dan kultural yang berlaku saat itu.

Sehingga, kasih adalah dasar satu hubungan yang membentuk komunitas apapun, termasuk rumah tangga. Tidak hanya bapak kepala rumah tangga, tapi ibu dan bapak, yang keduanya mengayuh biduk dengan landasan saling melengkapi. (Tidak lagi dalam landasan power over tapi power sharing). Tidak ada pembagian kerja dalam rumah tangga berdasarkan gender tapi berdasarkanlain sharing yang saling melengkapi. Sehingga batasan ranah public dan domestic tidak relevan lagi, begitu juga pemprioritasan pada lelaki untuk mendapat pendidikan yang lebih baik serta harta yang lebih banyak.

Rumah tangga adalah pusat serta langkah awal untuk memperbaharui masyarakat dan dunia. Sehingga jika perempuan selama ini merasa ketidak adilan yang sangat, dalam rumah tangga dan masyarakat, maka selain program melek hukum dan hak-hak sebagai manusia dan warga Negara digalakkan pensosialisasiannya,pemulihan hubungan antar manusia di rumah tangga haruslah dimulai dengan menempatkan kasih sebagai landasannya. Jangan para perempuan melayani di rumah tangga, semisal memasak, membersihkan rumah atau bahkan bekerja di ranah public, dikarenakan perannya sebagai istri atau ibu tapi lebih didasarkan karena ia mengasihi keluarganya, sehingga ia melakukan segala sesuatu yang terbaik untuk keluarganya. Tidak ada kata pengorbanan atau terpaksa, tapi ketulusan yang muncul karena kasih. Coba dibayangkan jika reformasi ini dilakukan, jenis anak dan suami yang bagaimana yang keluar dari keluarga seperti ini. Perlahan tapi nyata masyarakat juga akan tereformasi tanpa dipaksa tapi dengan kesadaran. Ini bukan anjuran eskatologis ataupun anjuran tindakan yang utopia, tapi anjuran yang realistis yang mampu untuk dilakukan. Kita harus mampu memberikan definisi baru terhadap rumah tangga apalagi semakin cepatnya perubahan di masyarakat akan peran perempuan, semisal TKW, pemberlakuan humum internasional atas hak-hak azasi manusia, semakin meningkatnya dalam kwantitas dan kwalitas perempuan di ranah politik (quota sedikitnya 30 %), hukum dan agama. Dan janganlah lupa bahwa perempuan adalah bagian dari civil society dan sebagai pelaku ekonomi kerakyatan yang mayoritas (ekonomi kapitalis tidak memanusiakan manusia dan kurang mendukung JPIC (justice Peace and integration of creation)

Selamat menyambut hari turunnya Roh Kudus biarlah itu yang memampukan kita melandaskan kasih dalam semua jenis relasi dalam kehidupan.

Pdt Mindawati Perangin angin

3 komentar:

Anonim mengatakan...

hik-hik ketawa geli saya membaca tulisan ini. Walau saya baca berulang-ulang saya tetap masih tertawa geli. Dasar laki-laki, maunya status melulu ya Bu Pdt,
bravo buat artikelnya

Anonim mengatakan...

Solusi atas kekacauan di dunia ini adalah kasih, saya setuju. Walau sangat sedikit yang mampu mewujudkannya. Namun pikiran ini sudah diusulkan oleh orang yang telah mendapatkan pencerahan dulu dan kini, semisal Yesus dan Budha.

Yobta Tarigan Sibero mengatakan...

Bukan kah ALLAH JAHWE itu dapat juga di gambarkan sebagai Ibu (perempuan) selain Bapa (Pria).Selayaknyalah perempuan juga menempati fungsi dan kodrat sebagai manusia yang utuh ditengah tugas dan panggilanNya di dunia ini.Majulah kaum perempuan..