Kamis, 12 Juni 2008

Peningkatan SDM adalah faktor yang krusial didalam menentukan dimana dan mau kemana GBKP.

Peningkatan SDM adalah faktor yang krusial didalam menentukan dimana dan mau kemana GBKP.

Tulisan ini ditulis sebagai bahan pengantar dan pelengkap dari laporan perkunjungan empat anggota Moria GBKP di Klasis Herford - yang merupakan bagian dari Westphalia Synod di German, di dalam rangka pertukaran perkunjungan antara Klasis Herford dan klasis Sinabun - khususnya, juga sekaligus sebagai upaya untuk menjelaskan visi dan misi Biro Ekumene GBKP umumnya.

Jika tulisan ini dirasakan agak tergesa, dikarenakan proses penyelesaian dilakukan di pesawat di dalam perjalanan pulang saya dari Korea menuju Kuala Lumpur dalam upaya untuk mengejar pertemuan PKPW GBKP di Cipayung, yang bagaimanapun terlambat saya ikuti.

Tanpa penanganan yang terarah pengutusan delegasi GBKP ke dalam maupun luar Indonesia hanya wasting time and money.

Jika kita “aware“ bahwa pengutusan delegasi GBKP ke dalam maupun luar Indonesia, dalam rangka apapun, belum ditangani secara serius, khususnya dalam kaitannya dengan “Leadership Development Program“ maka kita mengetahui berapa banyak kerugian materi dan waktu yang telah dialami GBKP.

Biaya seorang ke luar negeri (Asia dan Eropah) menelan sekitar tujuh juta Rupiah, untuk tiket, viskal, visa , uang saku dan lain-lain. Ke Amerika dan Afrika lebih besar lagi. Dengan jumlah ini GBKP bisa membiayai kuliah satu pendetanya untuk Program Master di Indonesia. Untuk perjalanan di dalam negeri paling sedikit dikeluarkan satu setengah juta (Medan-Jakarta) , sebesar gaji satu bulan PKPW golongan IV.

Dua tahun adalah durasi normal untuk mendapatkan program Master dan lima tahun untuk program Doktor di Indonesia dan Asia. Amerika punya durasinya sendiri, karena sistem pendidikan teologia di Amerika berbeda dengan sistem kita.

GBKP yang telah njayo selama 62 tahun masih mempunyai tiga orang Doktor dan tujuh Master. Ketiga Doktor GBKP semuanya dalam Biblikal (PB dan PL) sedang Masternya cukup beragam yaitu PAK, Missiologi dan Agama dan Masyarakat, islam dan PB .

Sepengetahuan saya bahwa tidak ada seorangpun dari yang telah mendapatkan gelarnya di atas ketika berencana untuk meneruskan sekolahnya ke jenjang strata-dua dan tiga, dan ketika memilih spesialisas pendidikannya melibatkan GBKP kecuali surat rekomendasi. Sehingga tidak heran ketika orang-orang tersebut tamat, GBKP tidak terlalu tahu memanfatkan keahlian mereka,sehingga umumnya ditempatkan sebagai pengajar di Abdi Sabda, yang walaupun GBKP sebagai salah satu pemiliknya, tapi bukan milik GBKP sepenuhnya, berbeda dengan STT HKBP yang adalah milik HKBP sepenuhnya, sehingga HKBP seutuhnya yang berperan di dalam memajukan sekolah ini.

Bahasa Inggeris adalah lingua franca di dunia yang sudah mengglobal dan sebagai syarat yang penting untuk bisa berperan di konteks nasional dan internasional.

Mengapa dikatakan bahwa pendelegasian GBKP selama ini belum ditangani secara serius? Karena pemilihan delegasi tidak berkaitan dengan program pengkaderan untuk masa depan. Hal ini bisa terjadi dan berlangsung cukup lama karena GBKP kurang memperhatikan pengkaderan/ peningkatan SDM (Sumber Daya Manusia). Hal ini nampak selain dari pemaparan di atas juga didalam lemahnya Biro Personalia GBKP hingga kini dan kurangnya kesadaran bahwa aset GBKP yang paling penting adalah PKPW dan jemaatnya. Maka tidaklah mengherankan kalau keberadaan peserta GBKP dalam pertemuan nasional maupun Internasional yang menggunakan bahasa Inggeris, tidak berdampak baik kepada GBKP sendiri maupun lembaga internasional sebagai penyelenggara.

Cukup lama hal ini berlangsung. Moderamen periode 2000-5 menyadari hal itu, sehingga berusaha keras untuk memilih “orang yang tepat“ dan menghubungkannya dengan pengkaderan kepemimpinan ke depan, sebagai utusan yang mewakili GBKP dalam acara apapun. Semuanya harus objektif. Tidak ada faktor KKN dan “like or dislike.“

Terus terang Moderamen agak kewalahan dalam memilih orang yang tepat dan yang bisa dikader untuk ke depan. Mengapa hal ini bisa terjadi? Disebabkan selama ini “mutu“ PKPW tidak terlalu diperhatikan dan belum pernah dilakukan evaluasi terhadap hasil kerja PKPW GBKP baik di tingkat klasis ataupun sinode. Juga, hampir semua tamatan sekolah teologia yang diutus GBKP pasti divikariskan dan kemudian ditahbiskan menjadi pendeta. Faktor kekurangan pendeta mengharuskan Moderamen melakukan tindakan ini. Padahal kalau Moderamen tidak campur tangan di dalam proses masuknya anak muda GBKP ke sekolah pendeta, membebaskan siapa saja, tapi menyaringnya ketika mereka melamar menjadi vicaris, saya pikir GBKP akan mendapat calon pendeta yang bermutu secara holistik dan juga yang memilik satu visi dan misi. Sehingga mayoritas yang ada sekarang adalah yang sekedar ada. Rutinitas pelayanan menghasilkan robot-robot yang tidak kreatif. Dan hal ini didukung oleh sistem pendidikan kita yang menekankan siswa untuk trampil mengulang perkataan guru atau apa yang tertulis di buku. Bukan menciptakan siswa yang tahu berpikir. Padahal seorang pemimpin haruslah seorang pemikir sehingga ia mempunyai visi dan misi akan GBKP ini.

Dan tidak heran kalau Moderamen sangat sulit dalam menentukan utusan GBKP ke acara di luar Indonesia atau mengirim PKPW untuk mengambil strata dua dan tiga di luar Indonesia. Karena syarat utama orang yang diutus adalah harus memiliki ketrampilan bahasa Inggeris.

Dalam hal pengiriman utusan GBKP ke acara internasional, “wake-up call“ dideringkan ketika evaluasi dilakukan di akhir perkunjung team Moderamen GBKP di klasis Lubeckee di German Oktober 2002. Diputuskan bahwa untuk ke depan setiap utusan haruslah orang yang bisa berbahasa Inggeris. Hal ini menjadi sangat penting mengingat banyaknya percakapan tertunda atau terbengkalai dikarenakan kemampuan bahasa Inggeris peserta yang tidak memadai, sehingga waktu yang ada tersita untuk menterjemahkan.

Perlu diketahui bahwa pertemuan internasional memakai standard “Barat,” yaitu setiap orang harus bicara menyampaikan pikirannya. Peserta yang tidak berpartisipasi dianggap tidak berpikir atau bodoh. Di dunia “Barat” orang itu ada kalau ia berpikir. Dan pikiran itu dikomunikasikan melalui tulisan dan perkataan.

Upaya Biro Ekumene dalam peningkatan SDM GBKP

Inilah yang melatar-belakangi mengapa Biro Ekumene berusaha untuk meningkatkan “qualification“ utusan GBKP ke dunia luar, khususnya ke forum internasional. Pengupayaan ini nampak dalam usaha Biro Ekumene untuk menghubungi gereja baik setempat maupun sinodal, institusi Ekumene dan sekolah-sekolah di mana saja yang berhubungan dengan GBKP ataupun yang mau berhubungan dengan GBKP dalam upaya peningkatan mutu SDM pekerja GBKP. Juga didalam selektifnya Biro Ekumene dalam mengutus orang-orang yang akan mewakili GBKP ke luar.

Upaya pengarahan peningkatan SDM di GBKP sebenarnya telah disiratkan melalui: pemunculan semua nara sumber dalam Konsultasi Teologia yang dilakukan Moderamen atas koordinasi PWG, Litbang dan Biro Ekumene sejak thun 2002; Jurnal Teologia Beras Piher; Intensive English kepada beberapa pendeta GBKP selama sebulan dalam rangka kerja sama GBKP dengan Pasca Sarjana Abdi Sabda di tahun 2000; Penawaran free-biaya TOEFL selanjutnya kepada semua pendeta GBKP yang telah mendapat score TOEFL 350; Pertemuan Moderamen dengan para pdt prempuan dan vicaris se SUMUT dalam rangka Leadership Development Program di Suka Makmur, Juli 2003; dan Pertemuan Moderamen dengan semua Pdt se sumut dan direktur PPIA dalam rangka pengembangan bahasa Inggeris sebagai modal dalam peningkatan SDM GBKP, Sepetember 2003.

Sayangnya pengarahan ini sepertinya belum disadari oleh PKPW GBKP. Hingga kini belum ada seorang PKPW GBKP yang melapor ke Moderamen akan hasil TOEFL nya. TOEFL inilah sebagai kendala yang membuat Moderamen kehilangan banyak kesempatan beasiswa yang ditawarkan oleh institusi Ekumene maupun sekolah di luar negeri untuk GBKP. Perlu diketahui bahwa keberhasilan seseorang untuk mengambil strata dua dan tiga bukan hanya terletak pada kemauan yang besar saja, tapi juga harus memiliki disiplin kerja yang tinggi. Inilah faktor yang sangat menentukan dan yang jarang dimiliki oleh PKPW GBKP khususnya, manusia Indonesia umumnya.

Keberadaan Biro Ekumene di Korea selama sebelas hari bukan hanya dalam rangka menghadiri pertemuan yang diselenggarakan oleh Unesco dan Columbia University, NY, saja, tapi juga dalam rangka menjalin kerjasama dengan gereja-gereja di Korea dan Universitas yang ada. Kita berhasil menjalin kerja sama dengan Gereja Presbyterian dan beberapa universitas. Cuma perlu dipikirkan bahwa tindak lanjut hubungan ini sangat dipengaruhi oleh berapa banyak PKPW kita yang sudah siap dengan bahasa Inggerisnya, sehingga program pertukaran pendeta dan pengiriman untuk studi lanjut bisa dijajaki.

Di dunia kita yang sudah mengglobal ini, bahasa Inggeris adalah “lingua franca” nya. Sehingga adalah baik untuk selain menganjurkan anak kita belajar bahasa karo juga dibarengi dengan belajar bahasa Inggeris.

Pengclaiman bahwa pendorongan peningkatan kemampuan bahasa Inggeris PKPW GBKP; perubahan pola pikir dari KKN menjadi objektif dan realistis, adalah upaya mengAmerikanisasikan GBKP adalah pengclaiman yang bersifat kompensasi yang muncul dari ketidak berdayaan atau kemampuan diri. Hanya orang yang realistis dan objektif yang mampu untuk maju bersama dan di dalam era Globalisasi ini.

Inilah dasar kriteria pemilihan semua utusan GBKP ke depan, termasuk juga utusan Moria yang telah melaporkan tulisannya di majalah ini. Moderamen sangat “concern” akan peningkatan SDM.

Dalam rangka menjaga “image” GBKP di luar, serta upaya pengkoordinasian yang lebih menyeluruh terhadap kerjasama GBKP dengan semua partnernya di luar, maka Moderamen memberikan tanggung jawab kepada Biro Ekumene untuk mengetahui segala sesuatu yang dilakukan oleh biro atau lembaga apapun di GBKP yang mempunyai hubungan kerja sama dengan badan luar-negeri.

Segala sesuatu yang dilakukan oleh Biro Ekumene tidaklah hanya untuk kepentingan satu biro atau lembaga, tapi juga untuk kepentingan GBKP secara keseluruhan. Seharusnya tidak ada satu biro, lembaga, runggun ataupun klasis yang melakukan program atau kegiatannya hanya untuk kepentingannya semata tanpa melihat kepentingan GBKP secara keseluruhan kini dan nanti. Semua program dan kegiatan haruslah berkaitan dengan visi dan misi GBKP kini dan nanti. Sehingga walaupun berbeda biro, lembaga, jemaat dan klasis dan masing-masing mempunyai kepentingannya sendiri, tapi semuanya terikat dalam satu visi dan misi GBKP kini dan nanti. Inilah kekuatan sistem Presbyterial-Synodal dan inilah seharusnya yang terjadi di GBKP sehingga GBKP menjadi GBKP simalem enda.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Tulisan ibu mindawati ini sebenarnya adalah masalah yg sdh ada cukup lama dan krusial di tengah-tengah gereja kita.Perlu kerja yg "Revolusioner" utk mengejar ketertinggalan kita dgn gereja2 lainyg telah matang dlm SDM nya.

Saya yakin upaya apapun dan sekecil apapun pasti akan membawa hasil yg baik.Tergantung apa warga dan pdt di lingkungan gereja kita mau menyambutnya dg hati.

Saya usul perlu kiranya kita mengumuli pembentukan STT GBKP utk mendidik calon pdt yg berkwalitas pelayanan,serta seminar-seminar utk peningkatan wawasan selain study lanjut (S2 dan S3).

bujur..tabi ras mejuah juah

yobta tarigan/yobta.tarigan@tanindo.com