Kamis, 12 Juni 2008

Spiritualitas Dalam Konteks Dasawarsa Mengatasi Kekerasan

Spiritualitas Dalam Konteks Dasawarsa Mengatasi Kekerasan



Apa itu spiritualitas?


Berdasarkan judul di atas saya pikir pertama sekali perlu diterangkan mengenai apa itu spiritualitas.

Ketakutan saya ketika kata spiritualitas digunakan kita terjatuh kepada pemahaman dualisme yang memisahkan antara fisik dan roh (spirit/pneuma/nefes) dan yang memang banyak muncul dalam kitab-kitab di PB. Dualisme adalah titik tolak pola pikir “barat“ yang menghasilkan pemahaman ”either-or,“ dan pemisahan yang tajam (yang umumnya antagonis) antara hati (perasaan) dan pikir (logika). Bukankah pola pemisahan-pemisahan ini yang menghasilkan keterpecah-belahan manusia, bahkan dalam kediriannya sendiri? Sadarkah kita bahwa ketika kita mengaplikasikan pola pikir pemisahan tsb kita dipaksa untuk mengambil pilihan untuk memilih yang mana yang terbaik dari yang ada (dialektik yang antagonis, bukan yang complementary/saling melengkapi).

Pemahaman ini berawal dari deklarasi Plato bahwa apa yang ada di dunia ini adalah semu dan yang ada sebenarnya adalah yang ada di dunia ide dan ini kemudian dikembangkan oleh Neoplatonisme.

Padahal kalau sumber segala sesuatu adalah Allah atau sang pencipta sendiri bagaimana mungkin pola pikir dialektik yang antagonis yang dominan dalam kehidupan ini, juga dalam pernyataan-pernyataan dogmatik gereja? Bukankah kalau kita mengamini bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu, maka pola pikir dialektik yang saling melengkapi (complementary) yang harus diaplikasi? Sehingga pemahaman pluralisme tidak perlu diajarkan kembali pada kita yang telah mempunyai simbol bhineka tunggal ika.

Bukankah kita telah diingatkan bahwa metode pendidikan yang “benar” atau seharusnya adalah metode yang wholistik, keseluruhan? Pemusatan metode pendidikan pada aspek cognitif (pengaruh pola pikir “Barat” dan sekolah itu sendiri adalah berangkat dari pola pikir “Barat,” padahal kalau kita lihat pengajaran para filsuf klasik, selalu menekankan hubungan antara teori dan praktek, dogmatik dan etika) membuat manusia semakin terasing dari diri dan kehidupannya sendiri. Inilah yang mengakibatkan keterpisahan antara pola pikir dan tindak.

Bahkan agama yang sudah menjadi seperti pengajaran dari kumpulan-kumpulan dogmatik, menghasilkan manusia yang mempunyai keterpisahan antara pola pikir, ucap dan tindak. Bukankah manusia beragama seperti itu yang dominan kita miliki? Bahkan bukankah pendeta atau guru injil seperti itu yang dominan yang kita miliki sedari dulu?

Bukankah kurikulum sekolah-sekolah teologia, kegiatan-kegiatan gerejawi dan pola asuh orang tua terhadap anaknya di rumah, semuanya mengarah ke aspek cognitif dan yang diimpikan oleh ideologi kapitalisme yang mengglobal yaitu mencapai kesuksesan yang diwujudkan dalam bentuk kepemilikan materi/uang, yang umumnya dihasilkan dan menghasilkan kekerasan? Bukankah pola seperti itu juga yang teraplikasi ketika para gereja memendetakan atau mengguru injilkan sesorang? Sehingga apa yang mau diharapkan dari jemaat kalau para pendeta atau guru injilnya juga mempunyai keberadaan yang hampa, kering, tidak adanya keseimbangan kedewasaan, karena yang dilatih hanya satu aspek saja, itupun dengan tidak sempurna, sehingga robot lebih berguna dari kita.


Religiositas instead of spiritualitas.


Berdasarkan pemaparan di atas maka saya tidak mau melanggengkan kesalahan yang telah berlangsung lama, maka saya tidak menggunakan kata spiritualitas tapi religiositas, kata yang lebih condong digunakan ketika berbicara sosiologi dan antropologi agama.
Seperti yang telah saya paparkan di atas bahwa having religion (persyaratan untuk menjadi warga negara RI, walaupun agama itu ditentukan hanya 5 saja, dan sekarang alam taraf perombakan) belum menjamin seseorang itu menjadi being religious, dikarenakan pola beragama yang lebih mengarah kepada pengulangan pernyataan-pernyataan dogmatik/keimanan, dan hal ini disebabkan oleh pemusatan kepada kecakapan otak untuk mengulang formulasi-formulasi yang ada. Faktor ini ditambah lagi dengan:

1/ bahwa formulasi yang ada juga bukan formulasi yang dihasilkan oleh konteks sendiri, atau dalam arti formulasi-formlasi itu adalah yang diimpor,

2/ agama yg dianut bukanlah hasil keputusan pribadi tapi sebagai yang diwarisi atau bahkan yang dipaksakan (semua orang Indonesia harus menerakan agamanya di dalam KTPnya, persyaratan yang muncul setelah G30S, bukankah generasi ini yang mendominasi pekerjaan di tahun 80-an hingga tahun 2005? Bukankah keterpurukan ekonomi kita dimulai sejak tahun delapan-puluhan?). Sehingga agama hanya berperan sekedar sebagai pakaianyang menutup bagian luar saja.

3/ Motivasi para pendeta dan guru injil kita yang masih dipertanyakan apakah ada faktor panggilan atau karena tidak adanya pilihan lain.


Being religious, apakah sifat dasar yang dimiliki oleh setiap manusia?


Berdasarkan antropologi dikatakan bahwa being religious adalah bagian dari keberadan manusia. Setiap manusia, berdasarkan keterbatasannya selalu mencari sesuatu di luar dirinya, yang beyond dari kemanusiaannya. Sesuatu yang beyond ini dinamai sesuai dengan konteks dan kepentingannya (Rudolf Otto menyebutkan ini misterium tremendum). Hal ini nampak dari banyaknya peninggalan tempat pemujaan yang didirikan oleh para nenek-moyang kita di seluruh dunia. Sehingga tidak heran kalau Karl Barth menyebutkan bahwa tidak ada manusia yang atheis.

Aspek being religious dalam manusia selaras dan mempunyai hubungan dialektik antara perkembangan diri dan kebudayaan yang berlaku. Bahkan keduanya berjalan sama secara dialektik membentuk kebudayaan itu sendiri. Sehingga aspek being religious itu menjadi religi. Pengalaman menghasilkan pernyataan.

Yang ada di kita sekarang, religi yang dihasilkan oleh aspek dasar
Being religious (religiositas) kita, dicondemn sebagai sesuatu yang “tidak benar”karena bukan datang dari Allah. Yang kita pecayai atau imani sekarang adalah bukan hasil dari proses dialektik antara kita dengan kebudayaan kita. Sehingga asing. Tetapi tetap diyakini sebagai yang diimani walaupun sebenarnya adalah hasil indoktrinasi. Sehingga tidak heran kemampuan kita hanya sampai di taraf mengulang, bahkan dalam pernyataan pengakuan iman.


Talking about theology and doing theology.


Dampak dari beragama seperti itu umat hanya bisa talking about theology. Theology adalah pernyataan-penyataan tentang Allah (sehingga tidak ada yang absolut).

Seharusnya pernyataan-pernyataan tentang Allah dihasilkan dari pengalaman religius kita dengan allah kita. Sehingga tidak heran kalau banyak sekali pernyataan tentang Allah. Karena pengalaman adalah personal. Ini bisa nampak dalam kesaksian-kesaksian yang diucapkan dalam kebaktian di beberapa gereja kini. Atau sangat nampak di dalam kesaksian Alkitab sendiri. Sehingga semakin kenal kita akan Allah, semakin dekat kita padaNya, semakin kita copy diriNya (imitation of God, berlari-lari menuju kekesempurnaan itu! ), dan inilah yang disebut anak-anak Allah. Bukankah Yesus disebut anak Allah atau bahkan Allah sendiri karena perbuatannya?

Bagaimana dengan kita?

Pernahkah kita mengeluarkan pernyataan (atau berkotbah) tentang Allah berdasarkan pengalaman keimanan kita atau kita hanya sekedar mengulang pernyataan yang dihasilkan oleh pengalaman iman Paulus, Matius, Yohanes, Jeremia atau Yesaya?

Kalau pernah dan ini yang acap kita lakukan maka kita dalam kehidupan kita akan bertumbuh dalam iman yang bertumbuh. Kita akan terus berupaya untuk melakukan apa yang Yesus ajarkan. Pola pikir kita tidak akan teracuni oleh pola pikir yang dominan tapi tetap konsisten dalam pola pikir yang diancangkan oleh Allah. Semua kriteria tentang hidup dan kehidupan adalah diadopsi dari kriteria Allah. Jelas kita harus berani tampil beda dan kesepian karena kriteria Allah sangat berbeda dengan kriteria yang mendominasi kehidupan sekarang. Dan orang-orang seperti ini percaya bahwa kehidupannya telah dirancang oleh Allah. Orang-orang seperti ini pasti mengenal kata cukup; puas; semuanya ada waktunya; mengasihi siapa saja tanpa beda; berbagi; tidak menghakimi: karena setiap manusia mempuyai kecenderungan untuk “jatuh,” melayani bukan dilayani; pengertian; pemaaf. Orang seperti ini tampil dan hidup sederhana. Inilah yang disebut doing theology. Dan inilah spiritualitas yang bisa mengatasi kehidupan yang telah didominasi oleh kekerasan.


Apa itu kekerasan?


Sebagai seorang biblis, khususnya yang spesialisasinya di PL, maka saya memilih bahan Pl untuk menyorotinya, yaitu Kej 6 1-22 dan 9:1-7.
.
Dalam Kejadian 6:11-13 tertulis:

“(11) Adapun bumi itu telah rusak di hadapan Allah dan penuh dengan kekerasan. (12) Allah menilik bumi itu dan sungguhlah rusak benar, sebabsemua manusia menjalankan idup yang rusak di bumi. (13) Berfirmanlah Allah kepada Nuh : Aku telah memutuskan untuk mengakhiri hidup segala makhluk, sebab bumi telah penuh dengan kekerasan oleh mereka, jadi aku akan memusnhkan mereka be rsama-sama dengan bumi.”

P sebagai penulisnya menghantarkan pernyataan Allah di ayat 13 dengan pemaparannya sendiri yang ditempatkanya di ayat 11-12. Synthesis paralelisme digunka untuk menjelaskan situasi di bumi yaitu bumi telah rusak benar karena kekerasan.

P mengerti bahwa kekerasan tidak seharusya ada di bumi, karena pada mulanya bumi dan segala isinya diciptakan dengan bagus bahkan amat bagus oleh Allah.[i]

Para ahli PL[ii] mempunyai pendapat yang tidak sama akan pengertian dari kata kekerasan di sini. Walaupun begitu, setelah mengobervasi penggunaan kata kekerasan (hamas) dalam PL[iii] dapat dikatakan bahwa kata benda ini mengekspresikan beberapa nuansa yaitu seperti penindasan, ketidak adilan dan ketidak-benaran[iv]. Bahkan Von Rad menyatakan bahwa kadang-kadang kata ini menunjuk pada pengertiandari kata dosa.[v]
Umumnya subjek kekerasan adalah seseorang atau kelompok atau pemerintahan yang mempunyai kuasa lebih besar dari objeknya. Sehingga nuansa penindasan, ketidak dilan dan ketidak benaran ada di situ di dalam kata dan tindakan kekerasan. Walaupun kadang-kadang objek dari kekerasan bisa pindah menjadi subjek. Biasanya hal ini terjadi disebabkan ketidakberdayaan yang dialami oleh objek, ketidakberdayaan ini menghasilkan putusan satu-satunya cara, tiada lain selain melakukan kekerasan. Saya pikir bom bunuh diri yang dilakukan oleh orang Palestina bisa dimasukkan dalam contoh ini, juga revolusi sosial.

Saya pikir kekerasan yang dimaksudkan oleh P dalam Kejadian 6:11-13 ialah kekeasan yang dilakukan oleh orang, kelompok atau regim yang mempunyai kuasa lebih dari objeknya.

Manusia yang seharusnya menjadi penjaga/pemelihara bumi dan isinya, sekarang bersama binatang bertindak sebagai penghancur. Sehingga tidak ada jalan lain bagi Allah selain memusnahkan mereka dan mengharapkan munculnya generasi baru yang lain. Tidak ada tanda pengharapan dari Allah akan perubahan yang mendasar setelah peristiwa air bah. Sepertiya Allah sudah mengantisipasi bahwa kekerasan akan tetap ada di bumi. Tapi sudah terlanjur bahwa Allah sekali pernah menciptakan mereka,maka jalan yang dilakukan oleh Allah bukanlah meletakkan pengharapan di tangan manusia, tapi Allah sendiri merubah pengharapannya pada manusia dan ini tertulis di Kej 9:1-7.

Manusia dan binatang yang tadinya hanya mengkonsumsi tumbuhan di Kejaian 9 diijinkan untuk mengkonsumsi daging binatang, selama daah mereka dicurahkan ke bumi. Karena didalam darah ada kehidupan dan kehidupan adalah milik Allah.

Tidaklah mengherankan bahwa sejak periode air bah hubungan antara hewan dan manusia berada dalam ketegangan. Dan kekerasan selalu ada di dalam hubungan itu. Hidupmanusia tetap dihargai oleh Allah sehingga tidak layak bukan hanya diambil oleh binatang tapi juga oleh sesama manusia. Hal ini disadari oleh Allah sehingga Allah mengikat perjanjian dengan manusia (Kej 9:8-17) dengan janji tidak akan menciptakan bair bah lagi untuk memusnahkan manusia. Tapi bagaimanapun sekarang bergantung pada bagaimana manusia mengatur kehidupannya.


Doing Theology hanya bisa dilakukan oleh manusia yang telah lahir kembali.


Dalam dasawarsa dunia yang penuh dengan kekerasan seperti sekarang ini hanya dua alternatf yang diproposekan yaitu intervensi Allah sepeti yang dilakukannya di Kejadian 6-9 atau perubaha pola ikir dan tindak oleh manusia. Ketika Allah mengatakan bahwa Ia tidak akan memusnahkan ciptaannya lagi,janji itu ia penuhi dan itu nampak dalam kedatangan Yesus ke tengah manusia untuk mengajak manusia berubah menuju pembentukan kerajaan Allah dimana hana kehendak atau perintah Allah saja yang berlaku. Sehingga orang-orang yan tinggal di dalam pemerintahan itu hanya memberlakukan mandat Allah dan merekalah yang layak disebut anak-anak Alah. Ajakan Yesus itu masih relevan hingga kini. Apakah itu berarti intervensi Allah tidak akan terjadi, dan Allah masih tetap berpengharapan bahwa manusia akan berubah (lahir baru) menjadi anak Nya, toch dasar manusia sebagai yang diciptakan dalam imag of God tetap dipertahankan ke eksistensiannnya di dalam manusia oleh Allah? Kalau ini benar, maka tiada jalan lain, berbaliklah kita, yang tadinya terlalu banyak berucap tentang theology sekarang masanya kita doing theology, dan ingat bahwa ini hanya bisa dilakukan kalau kita dilahirkan kembali seba[1]gai anak Allah.




[1]
[i] Kej 1:12, 18, 25 and 31.
[ii] Lihat Cassuto, Genesis 2,52; B. Jacob, Genesis, 48; Sarna, Genesis, 51; Leupold, Genesis, 266-7; Wenham, Genesis 1-15, 171.
[iii] Lihat Kej 49:5; Kel 23:1; Ul 19:16; Yes 53:9; 59:6; 60:18; Yer 6:7; 20:8; Yehz 7:23; 8:17; 28:16; 45:9; Amos 3:10; 6:3; Mik 6:12; Hab 1:2; Zef 1:9; Mal 2:16; Mzm 11:5; 18:49; 25:19; 27:12; 35:11; 55:10; 73:6; 74:20; 140:12; Ams 3:31; 10:6, 11; 13: 2; 16:29; 26:6; Ayub 16:17; 19:7; 1 Taw 12:18.
[iv] dengan memperkenalkan Nuh sebagai orang yang benar (righteous) sengaja untuk menunjukkan kekontrasan tindakannya dengan orang-orang lain yang hidup saat itu, lihat Kej 6:9; 7:1 (J).
[v] Lihat Von Rad, Old Testament Theology I, 263; Kittel, Bible Key Words, 15.lihat juga Ayub 19:7 dan Yehz 45:9.

Tidak ada komentar: