Selasa, 11 November 2008

Are you ready for CHANGE?


Walaupun Dalam pidato kemenangannya Obama telah mengaklamasikan:

“If there is anyone out there who still doubts that America is a place where all things are possible; who still wonders if the dream of our founders is alive in our time; who still questions the power of our democracy, tonight is your answer,”

Dan Thomas L. Friedman menafsirkan kemenangan ini dengan pernyataan:

“Let every child and every citizen an every new immigrant know that from this day forward everything really is possible in America.” (NYT, 5/11/08, A.35)

namun lihatlah email yang saya terima hari ini, 11/11/08, “Re: Obama, I am still almost in shock.”

Pernyataan ini masih didengungkan setelah seminggu Obama dinyatakan sebagai pemenang dalam pemilihan presiden Amerika yang ke 44. Pernyataan ini datang dari seorang professor berkulit hitam yang mengajar di Claremont Graduate University. Email ini saya balas dengan menuliskan “concerning on Obama, we are in the same boat.” Pengalamannya sebagai seorang warga Negara kulit hitam Amerika yang walaupun mendapatkan Ph.D dari Harvard University - tapi kulit hitam tetap tinggal kulit hitam - bisa dimengerti oleh internasional students yang pernah lama belajar di Amerika.

Sastrawati hitam Tony Morrison dari Princeton University yang diwawancarai oleh station TV ABC sehari setelah kemenangan itu menyatakan tidak usah terlalu meromantiskan masalah rasial atas kemenangan ini, karena masalah yang real yang harus disikapi dengan segera adalah ekonomi, dan semua orang Amerika harus bersatu dalam menghadapi dan menanggulanginya. Ada benarnya pernyataan ini, namun, tetap kemenangan Obama merupakan satu lompatan positif bagi kehidupan “melting potnya” Amerika.

Hidup dalam konteks kepelbagaian, Amerika masih “the best among the worse,” diantara negara-negara kulit putih kaya lainnya di dunia. Amerika terbuka terhadap segala hal, walau belum tentu diterima secara mayoritas. Mimpinya Pdt Dr Martin Luther King Jr (I have a dream) terealisasi, tepat sekitar empat-puluhan tahun yang lalu (1964-2008), ia juga menyatakan,” I may not get there with you. But I want you to know tonight that we, as a people will get to the promised land. Selama waktu yang dibutuhkan Israel untuk tiba di Kanaan dari Mesir.

Pdt Jessy Jackson melelehkan airmata menyaksikan pidato kemenangan Obama yang disaksikan dan dirayakan di Harlem dan Time square New York, dan dipusat-pusat kota orang hitam lainnya. Bukankah kemenangan ini sebenarnya bisa mencabut kuk penindasan atas perbedaan warna kulit, agama, suku dan gender? Lepas dari pada ketakutan kita untuk dikuasai oleh ideology Amerika, namun bukankah sangat positif jika kemenangan ini dirayakan sebagai hari kebangkitan: kemenangan atas penaklukkan akan kesombongan warna kulit, agama, suku dan gender yang kesemuanya hanya menuntun kita pada maut.

Simaklah pernyataan seorang kulit putih yang diwawancarai oleh New York Times (NYT 9/11/08, section: The Nation, 3): “ For a long time, I couldn’t ignore the fact that he was black, if you know what I mean,” Mr. Sinitski, the heating and air conditioning technician told me. “I am not proud of that, but I was raised to think that there aren’t good black people out there. I could see that he was highly intelligent, and that matters to me, but my instinct was still to go with the white guy.” Namun akhirnya tuan Sinitski toch memilih Obama karena pilihan atas Palin sangat tidak tepat dalam kondisi Amerika yang seperti ini.

Satu lagi saya kutip wawancara NYT dengan Tina Davis diartikel yang sama agar pembaca mengerti bagaimana masih kentalnya rasisme di Amerika. Dituliskan: she (Tina) said she had endless conversation with constituents who said they would not vote for Obama. “Most of them couldn’t give me a real answer why,” she said. “I had some of them reciting those stupid emails saying he was a Muslim. I’m pretty blunt. I would just say to them, “you’re against him because he’s black.”

Selain situasi ekonomi yang memang parah, pemilih muda baik dari kalangan hitam, Spanish, Asia, Jahudi dan putih lebih memilih Obama. Berdasarkan data dari New York Times (NYT, 9/11/08/ The Nation, 5) dituliskan bahwa Mc Cain dipilih oleh kulit putih yang berusia sekita 60 tahun dan ke atas, usia 30 tahun ke bawah memilih Obama. Umumnya kulit putih yang tinggal di tengah dan selatan Amerika memilih Mc Cain. Kalangan independen umumnya memilih Obama. Yang menyatakan keuangannya bagus 4 tahun belakangan ini memilih Mc. Cain, yang keuangannya merosot memilih Obama. Masyarakat berpenghasilan kecil memilih Obama; 60% dari yang berpenghasilan 50.000 US $/tahun memilih Obama. Satu hal yang sangat baru bagi partai Demokrat kali ini adalah dukungan yang cukup signifikan pada Obama dari kalangan yang berpenghasilan 200.000 US $/tahun. Orang kota condong memilih Obama, dan orang yang tinggal jauh dari kota umumnya memilih Mc. Cain. Perlu diketahui bahwa di Amerika tinggal jauh dari kota bukan berarti kalangan miskin. Sebaliknya, kalangan menengah ke atas tidak suka tinggal dikota besar seperti Washington DC, Philadelphia, Chicago dll. Mereka memilih tinggal jauh dari kota, tapi bekerja di kota, dan membiarkan kota-kota didiami oleh kulit hitam dan imigran lainnya. Daerah selatan (south) satu-satunya yang bertahan terus didominasi oleh kemenagan partai Republik. Daerah inilah yang terkenal perbedaan rasial yang nyata sejak dulu, sebelum “civil war” yang kemudian memunculkan President Lincoln. Dari kalangan agama, Obama mendapat banyak dukungan dari Katolik, tapi Katolik kulit putih lebih memilih Mc. Cain, begitu juga Protestan kulit putih. Kalangan agama Yahudi tetap memilih Demokrat. Lisa Miller dalam Newsweek web exclusive 6/11/08 menuliskan bahwa tidak hanya ras yang mendapatkan arti baru dengan kemenangan Obama tapi juga faith (iman/kepercayaan). The white evangelicals (kalangan evangelis kulit putih) yang selama ini menancapkan gigi yang tajam dalam menentukan keputusan politis di gedung putih, perannya sangat kurang kini. Lisa menyatakan kemenangan Obama mendeklarasikan “A post Evangelical America.” Haleluyah bukan?

Apa yang patut disimak dari kemenangan Obama ini? Hal yang mendasar adalah kalangan muda, sekitar 40 tahun ke bawah tidak terlalu berpegang pada prinsip primordial yang berbau ras, agama, gender dan suku. Kalangan ini lebih terbuka, realistis, berani mengambil resiko, dan penuh gairah pengharapan ke depan. Isu ekonomi dan pengganguran, asuransi kesehatan, pendidikan, perang Irak adalah isu yang real bagi mereka dari pada masalah aborsi, gay dan lesbian.

Obama cukup realistis melihat kalangan ini, sehingga dikatakannya dalam pidato kemenangannya, “ I know you didn't do this just to win an election and I know you didn't do it for me. You did it because you understand the enormity of the task that lies ahead.”

Kenyataan ini patut dipelajari oleh partai partai dan orang-orang yang akan maju bertarung dalam pemilihan di Indonesia. Apakah ini berarti bahwa:

- Kita menuju pada ketidaktertarikan pada partai politik yang memprioritaskan isu seperti yang didengungkan Sarah Palin? (bagaimana dengan UU Pornografi yang baru diputuskan yang mengatur warga negara seperti anak kecil dan tidak tahu berpikir/ don’t know how to think?).

- Partai politik yang berlandaskan keagamaan harus mulai mengangkat masalah social, ekonomi dan lingkungan.

- Partai politik harus mulai berani memajukan calon-calon yang berlawanan atas persyaratan primordial (tidak berdarah biru, tidak jawa, tidak jendral, tidak di atas 55 tahun, tidak anak mantan presiden, dlsb).

Lihatlah bagaimana demokrat berani memunculkan calon perwakilan minoritas: Obama hitam dan muda, Hillary seorang perempuan. Namun keduanya cerdas, berpendidikan, mempunyai visi dan misi dan yang paling penting memiliki fighting spirit yang positif.

Menggunakan hak pilih juga perlu diingatkan pada masyarakat Indonesia karena ini adalah hak dan tanggung jawab sebagai warga Negara. Lihatlah ketika banyak orang Amerika menggunakan hak pilihnya, mereka berperan dan menentukan.

So, sekarang Obama telah menjadi presiden yang terpilih, Thomas Friedman menuliskan:

“Obama will always be our first black president, but can he be one of our few great presidents (NYT 5/11/08/A35)?” Jawabannya, wait and see!

Mindawati Perangin angin

New York, 11/11/08