Senin, 09 Juni 2008

Pemberdayaan Perempuan Dalam Pelayanan Gereja Dewasa Ini

Pemberdayaan Perempuan Dalam Pelayanan Gereja Dewasa Ini
Pdt. Mindawati Perangin-angin, PhD.



Judul di atas adalah yang diberikan oleh panitia penerbitan buku Jubileum 50
tahun CCA kepada saya. Pilihan judul,mungkin karena gabungan bahwa saya perempuan dan yang sekarang mengemban sebagai Kepala Bidang Personalia dan sumber Daya Manusia (SDM) GBKP. Ruang lingkup perempuan dalam judul, acap akan saya persempit menjadi pendeta perempuan. Berbicara tentang pendeta perempuan, haruslah juga berbicara tentang pendeta lelaki, seperti ketika berbicara tentang perempuan dalam pengertian umum, haruslah juga membicarakan laki-laki. Karena keduanya adalah satu keutuhan yang saling melengkapi.

Pemberdayaan pendeta perempuan (dan lelaki) dalam pelayanan gereja dewasa ini diawali dari penggodokan di sekolah teologi.

Tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu dan yang paling ampuh untuk memberdayakan manusia adalah melalui pendidikan. Sehingga pemberdayaan pendeta baik perempuan ataupun lelaki dalam pelayanan gereja dewasa ini dimulai dari pendidikan di sekolah Teologia. Sayang bahwa sekolah teologia, tidak hanya di Amerika tapi juga di Indonesia, kurikulum dan aktivitas di luar sekolah tidak terlalu berhubungan dengan kebutuhan gereja kini dan nanti.[i][ii]

Sebenarnya saya pikir gereja dan sekolah teologia di Indonesia belum menyadari sepenuhnya akan dimana dan mau kemana ia. Sehingga bentuk dan isinya masih didominasi warisan lama, padahal zaman sudah berubah.[iii]

Dalam berteologia kontekstual, dimana mayoritas gereja di Indonesia adalah gereja suku, gereja masih sangat gamang dalam menempatkan inkulturasi[iv] di dalam konteks Pancasila sebagai civil religion.[v] Penekanan muatan lokal sangat dominan, sehingga warna dan rasa nasional menjadi samar, padahal yang ditawarkan dalam kehidupan sehari-hari sarat dengan pengaruh global (hybrid complexity). Mendialogkan ketiga konteks sehingga menghasilkan ciri kas Indonesia, gereja dan sekolah teologia masih terbata. Bisa dikatakan bahwa kemampuan menganalisa konteks kini dan memprediksi konteks nanti, untuk mempersiapkan masa transisi kepemimpinan ataupun/dan generasi, belum membudaya.

Ketika gereja dan sekolah teologia belum menyadari sepenuhnya akan siapa, dimana dan mau kemana ia, bagaimana ia bisa diharapkan untuk menciptakan pengkaderan dengan sengaja? apalagi untuk melakukan pemberdayaan khusus pendeta perempuan untuk trampil melayani di konteks kini dan nanti?

3. Konsep gereja, struktur dan teologianya yang sudah mem-patriakhal.[vi]

Gereja dalam keadaan seperti ini cenderung tidak memihak ke program pemberdayaan perempuan/pendeta perempuan. Jelas apa dan bagaimana struktur gereja adalah didasarkan dari teologianya, atau bisa saya katakan adalah dari konfesinya.[vii] Jadi adalah tidak mendasar jika pemberdayaan perempuan dan pendeta perempuan di gereja hanya melalui lokakarya,diskusi dan seminar, tanpa merubah dalil-dalil teologia yang mendominasi sesama ciptaan (theological will), dan tindakan nyata dalam meningkatkan pendidikan, ketrampilan dan peran mereka dalam kepemimpinan di semua level (political will).[viii]

Begitu juga dengan pendidikan di sekolah teologia, jika pemberdayaan perempuan (siswi) tidak dilakukan dengan sengaja dan comprehensive (kurikulum, beasiswa, komposisi kepemimpinan senat dll), maka ia akan menjadi tindakan yang politically correct, atau sebagai bahan yang layak jual dalam mencari bantuan.

Realita pemberdayaan perempuan (pendeta perempuan) dalam pelayanan gereja dewasa ini.

Seperti yang saya ungkapkan di catatan kaki no.7 bahwa diantara gereja-gereja di [ix]Sumatera Utara baru GBKP-lah yang memiliki dua (2) perempuan dari lima ketua Moderamen dan satu ketua-umum. Sehingga kita sendiri bisa menjawab apakah kini pemberdayaan perempuan (pendeta perempuan) telah maksimal dilakukan (political will). Dalam kepemimpinan sinode GMIM yang memiliki pendeta perempuan terbanyak di Indonesia, perempuan ada tapi diposisi wakil sekretaris umum; GPM di posisi wakil ketua sinode; GKSS diposisi ketua sinode; PGI setelah almarhumah Ibu Tina Lumentut, perempuan belum tampil kembali. Bagaimana di gereja lainnya seperti GKJ, GKJW, GKI-Papua, GKPB, GMIH, GPIB, Gereja Toraja, GMIT, KGPM dll? Sehingga setelah hampir sepuluh (10) tahun kita melalui Dasawarsa solidaritas gereja dengan perempuan DGD (1988-1998) dalam hal ini bisa saya garis bawahi bahwa di gereja-gereja Indonesia secara keseluruhan, ternyata theological will sudah mendahului political will.[x] Progress pemberdayaan perempuan di gereja-gereja dan PGI di Indonesia tidak jauh beda saya pikir dengan gereja-gereja anggota CCA. CCA sendiri belum pernah memiliki general secretary perempuan, kecuali associate general secretary yang adalah dari Indonesia, Dr. Ery Lebang. General secretary National Council of Churches di Filipina kini adalah perempuan dan dinilai sangat berhasil dalam kepemimpinannya.

Berdasarkan penampakan yang ada di atas baiklah kita menyimak apa yang dituliskan oleh Elisabeth

“Authority within the church as the discipleship community of equals must not be realized as “power over” as domination and submission, but as the enabling, energizing, creative authority of orthopraxis that not only preaches the gospel of salvation but also has the power to liberate the oppressed and to make people whole and happy. Jesus commissioned his disciples not only to preach but also to heal and to set free those dominated and dehumanized by evil powers.”[xi]

5. Sehingga untuk mewujudkan pemberdayaan perempuan (pendeta perempuan) dalam pelayanan dewasa ini maka adalah keharusan:

a. Gereja tidak perlu membatasi (apalagi berdasarkan gender) dan juga melakukan test-sinodal bagi orang yang hendak masuk sekolah teologia, biarlah proses penyaringan awal dilakukan oleh sekolah teologia

b. Sekolah teologia harus mengajarkan ajaran yang berintikan integration of creation, di dalam kurikulumnya, kesamaan lelaki dan perempuan termasuk disini (lihat catatan kaki no.1), dan menyediakan beasiswa yang cukup untuk para siswi yang berbakat dan menetapkan dengan sengaja balance gender dalam setiap kepemimpinan, pelatihan dll.

c. Pengajaran gereja (kategorial, kotbah, kebaktian rumah tangga, dll) hendaklah menekankan ajaran yang berintikan integration of creation -kesamaan lelaki dan perempuan termasuk disini (theological will)

d. Gereja haruslah dengan sengaja menekankan balance gender dalam semua level kepemimpinannya (political will).

e. Gereja haruslah dengan sengaja memberikan porsi beasiswa yang lebih/ atau sedikitnya seimbang- kepada siswi teologia /atau pendeta perempuan untuk S1,S2 dan S3. Juga kesempatan untuk menghadiri dan berperan dalam pertemuan tingkat lokal, nasional dan internasional (political will).

f. Gereja harus mampu mentransformsikan pola pikir dan tindak warganya yang tidak menunjang pemberdayaan perempuan yang sudah membudaya (faktor sosial-budaya).

6. Bagi para perempuan dan pendeta perempuan,

“Female friendship reminds feminists that our political activity consists in more than just conflict and struggle with men and male supremacy. Its end is to bring women together with our Selves and with each other.”[xii]

Let’s do it!

[ii] Saya setuju dengan pikirian Judo Purwowidagdo yang menekankan bahwa pendidikan teologia di abad ke 21 haruslah mengarah kepada kepentingan umat, gereja dan masyarakat pada umumnya, lihat Judo Purwowidagdo, Towards the 21st Century, Challenges and Opportunities for Theological Education. Geneva: WCC, 1994. Disitu ia memperlihatkan pergeseran 13 paradigma:

old paradigms new paradigms

1. Education for ordinate ministers Education for leaders-empower in Christian ministry, both ordinate and non-ordinate
2. Dominated by men Inclusive, men-women balance
3. Standard and fixed curriculum flexible curriculum, module system
4. Based in campus and classroom Based in campus, local community and society
5. Up-Bottom learning process Group learning process
6. Academic, intellectual and scholarly Academic excellence covered dynamic praxis of doing
orientation theology
7. Content, knowledge approach Methodological and skills approach
8. Dominated by compulsory subjects Dominated by elective subjects
9. Dogmatic confessionals orientation. Ecumenical, inter-denominational orientation
10. Motivated to submit and loyal to Motivated to critical, reflective and creative innovation
church doctrines and traditions to church doctrines
11. Biblical-historical orientation Biblical-contextual orientation
12. Metaphysical-ontological orientation existential-phenomenological orientation
13. Biblical-analysis, texts critic Social-anthropological analysis

[iii] Saya tidak mengatakan bahwa gereja dan sekolah teologia kita ada dalam kondisi krisis identitas, tapi apa yang saya sarankan adalah we have to find our own identity, dengan menggunakan metode dekonstruksi dan rekonstruksi.

[iv] Pengertian inkulturasi dengan sangat manis ditempatkan James Haire sebagai acuan untuk mengamini ekumenikal katolik teologi (yang saya bisa mengerti sejajar dengan pengertian Bhinneka Tunggal Ika, semboyan negara kita). ---,“It is perhaps because the Christ event can never be exclusively identified either with one culture or one type of culture that Paul employs the ambiguous term he akoe to describe the action by which the Christ event enters a person’s or a community’s life that is, the crucial step that leads to faith…..the authentic gospel or Christ-event-for us is not prepackaged by cultural particularity but is living. The church in the acceptance of the Christ event within its particular culture in each place and yet in the wrestling with that which stands against its own particular acceptance in each place is called to be both catholic and ecumenical, reformed and yet reforming.” Lihat James Haire, Trends of the Ecumenical Movement in the Era of Globalization,” in CTC Bulletin vol. XXI, no.3, 2005, 40.

[v] Melihat penampakan yang ada akhir-akhir ini di Indonesia dimana semangat kebangsaan mulai memudar ditindih oleh semangat ke”agamaan” saya mempertanyakan kekuatan “tali pengikat” senasib sepenangungan yang ada pada bangsa in. Kekuatan tali pengikat ini juga yang saya pertanyakan pada gereja-gereja suku di Indonesia. Sampai berapa lama kita bisa mempertahankan sense kesukuan sebagai kekuatan, jika yang nampak kini adalah banyaknya warga gereja kita yang memegang double citizenships. Saya tidak menyalahkan mereka,apalagi di era perdagangan bebas seperti ini, Cuma yang saya mau ajak kita untuk berpikir adalah 1. apakah trend seperti itu menjawab kehidupan bergereja warga kita? Atau malah cara bergereja seperti ini menunjukkan bahwa tidak hanya warga tapi gereja juga belum tiba dipengenalan akan siapa dia. Deconstruct dan reconstruct harus dilakukan. Disinilah saya tawarkan gereja suku untuk menempatkan inkulturasi dalam konteks pancasila sebagai civil religion. Dalam hal ini tiga konteks kita dialogkan, lokal, nasional dan global. Kekuatan mempertahankan faktor kesukuan saja sebagai tali pengikat sudah mulai tergeser perlahan tapi pasti oleh globalisasi. Juga bukankah faktor ekonomi dan politik sangat berperan dalam mempertahankan keeksistensiannya selain kekuatan sosial dan emosional? Selain itu saya juga berpikir bahwa gereja harus mulai mengkaji teologinya yang nampak jelas dalam konfesinya. Saya tidak mau mengajak kita untuk menutup mata atas warisan teologia kita yang mewarnai ciri kita, tapi bagaimanapun dengan perkembangan yang ada kita harus melakukan perevisian khususnya penekanan atas integrasi ciptaan (perevisian atas konsep, manusia/ laki-laki dan perempuan, serta ciptaan lainnya); pengakuan akan keberadaan kepelbagaian, a.l: keimanan (perevisian atas konsep kristologi dan keselamatan), ras dan suku (konsep manusia); inklusif (perevisian atas konsep gereja, Allah, masyarakat dan pemerintah) dlsb. Banyak yang sudah tercakup di PBIK, namun saya berpikir adalah perlu untuk mengkaji PBIK kembali. Dengan banyaknya gereja yang ada kini dan para anggotanya yang mempunyai double bahkan triple citizenships, saya bertanya apakah penampakan ini dibiarkan saja sebagai dampak dari globalisasi sekaligus mengamini bahkan mencherish ini sebagai karya roh kudus atau meratapinya sebagai kegagalan gereja dalam memperbaharui dirinya, dan itu nampak dari situasi kehidupan bangsa ini yang semakin amburadul? (bandingkan Eddy Paimun, “Eksistensi Gereja dalam Masyarakat Pluralis,“ dalam Memelihara Harta Yang Indah, 279-82.)
[vi] Lihat bagaimana Elisabeth menuliskan bahwa patriarchal self-understanding and structure dan penekanan egalitarian character sudah ada sejak awal mula christian missionary movement, dan apakah kedua berada didalam ketegangan ataupun saling melengkapi yang jelas kata Elisabeth …”This argument, however telescopes distinct organizational forms and ends up with a dualistic understanding of church and ministry. It presupposes that equality and egalitarian organizational structures exclude authority and leadership. It overlooks the fact that equality or egalitarian structures are characterized by what sociologist call role-interchangeability, lihat Elisabeth Schuussler Fiorenza, In Memory of Her. New York: Crossroad, 285-6.

[vii] Bandingkan O.E. Ch Wuwungan, “Pemahaman Iman Sebagai Landasan Warga Gereja,“ dalam Memelihara Harta Yang Indah, Medan: PGIW-Sumut, 2006, 111-12.

[viii] Peran dan kepemimpinan adalah power. Power adalah bagian atau malah keseluruhan identitas lelaki dalam patriarchal ideology. Dampaknya peran dan kepemimpinan berbentuk hirarki, karena berparadigma power atau rule over. Sehingga perempuan adalah subordinate (the second sex). Maka tidak heran jika dalam kepemimpinan gereja di seluruh Indonesia, kita masih bisa menggunakan jari tangan untuk menghitung kehadiran pemimpin gereja perempuan. Perasaan minoritas tegas terasa ketika saya harus mewakili GBKP untuk menghadiri sidang MPL PGI. Di Sumut, dengan bangga saya deklarasikan bahwa baru Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) yang menghadirkan dua (2) perempuan dalam jajaran Ketua di Moderamen. Juga peran komisi perempuan GBKP (Moria) di dalam perjalanan kehidupan GBKP sebagai gereja dan juga bagi masyarakat sekitar tidak bisa dipungkiri. Sehingga untuk hal ini patut kita simak apa yang disarankan oleh Margaretha ...”the need for the church to shift its power paradigm from ”power over” to the “power to serve and to empower” paradigm. This shift is really needed in reformulating the church vision of power. The church needs to affirm that power comes from God. This is why it is not meant to manipulate and overcome others, but to serve and empower people, especially the powerless women. Lihat, Margaretha Hendriks-Ririmase, Theology and Violence Against Women,” in CTC Bulletin vol XXI,no. 3, 2005, 10-11.

[x] Kita juga harus mengkaji penampakan jumlah pendeta perempuan di gereja yang selama ini tidak terlalu menerima penahbisan perempuan, juga jumlah penatua, preses dan ketua klasis perempuan di setiap gereja.

[xi] Lihat, Elisabeth Schussler Fiorenza, The Ekklesia of Women and ecclesiastical Patriarchy, in Discipleship of Equals. New York: Crossroad, 1998, 247.
[xii] Lihat, Janice Raymond, “Female Friendship and Feminist Ethics,” 166.

Pdt Mindawati Perangin angin

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Tantangan buat para perempuan yang berkecimpungan tidak hanya di bidang teologia, tapi juga di bidang lainnya! hayo Ibu Minda maju terus!