Selasa, 04 Agustus 2009

Inkulturasi atau Kontekstualisasi

Inkulturasi atau Kontekstualisasi

Berbicara tentang mandiri dalam teologi kami ajak kita untuk menelaah tentang apakah GBKP dan gereja-gereja di Indonesia berinkulturasi atau kontekstualisasi. Juga sadarkah kita bahwa sebenarnya kedua upaya ini adalah upaya pencarian identitas yang tidak berkesudahan?

1. Inkulturasi.

Inkulturasi adalah tindakan atau gerakan mengkulturasikan kembali (merekonstruksi) kebudayaan asli/pribumi atau lebih sering disebut indigenization yang asal katanya adalah indigenous (asli/pribumi). GerejaKatolik bertitik tolak dari lampu hijau konsili Vatican II cenderung menggunakan istilah indigenization ini, Lihat Franz Magnis Suseno, Beriman Dalam Masyarakat: Butir-Butir Teologia Kontekstual, 193-206, Yogyakarta: Kanisius, 1993; Hub J.W.M. Boelaars, Indonesianisasi; dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 2005, 390-3. lihat juga Anicetus B. Sinaga, Dendang Bakti: Inkulturasi Teologia Dalam Budaya Batak, Medan: Media perintis, 2004. Perdebatan antara gerakan Evangelikal dan Ekumene di David J. Hesselgrave dan Edward Rommen dalam Kontekstualisasi: Makna, Metode dan Model, (terjm), Jakarta: BPK, 1996, 47-55).

Gerakan ini semarak dilakukan oleh Gereja-Gerejadi Asia, Afrika dan Amerika Latin (Selatan), sejalan dengan proses pencarian identitas diri nasional maupun lokal setelah beratus tahun dibawah penjajahan “Barat”. Penjajahan yang di dalamnya Mission (Zending) mengambil kesempatan untuk memperluas misinya, umumnya “membunuh” identitas lokal, tidak hanya dengan mengklaimnya sebagai sesuatu yang “kafir” tapi juga memakai faktor ini sebagi dasar politik Devide et Imperanya, memecah belah dan menguasai.

“Pembunuhan” ini dilakukan dengan sengaja, karena tidak hanya penjajah tapi juga zending sangat sadar akan arti dari kekuatan identitas lokal. Di dalam identitas lokal, adat menyatu dengan religi, sehingga pola tindak dan pikir adalah hasil dari pola belief (kepercayaan). Keterpaduan pola tindak, pikir dan belief, bisa terjadi jika ketiganya diangkat dari dan untuk situasi lokal. Kalaupun ada unsur dari luar kelokalan yang bisa menjadi bagian dari lokal, hal ini bisa terjadi karena faktor waktu, metode atau power (kuasa), seperti yang nampak atas pengaruh Hinduisme dalam kepercayaan lokal Batak (Toba,Karo dll).

Sehingga ketika penjajah dan zending (tidak dapat disangkal bahwa ada mutual relationship antara penjajah dan missionaris/lembaga zending) “membunuh” identitas lokal, itu berarti bahwa penjajah membunuh kekuatan politik dan kepercayaan lokal yang jelas akan berdampak ke aspek ekonomi lokal. Mungkin para zending dulu melakukan ini secara tidak sadar. Dalam arti metode ini harus dilakukan untuk memisahkan aspek religi dari adat. Kami pikir juga bahwa para zending tidak menyadari bahwa dampak dari apa yang mereka lakukan dulu, menciptakan orang orang Karo Kristen kini yang split personality. Lebih jauh lagi yang mungkin sama sekali tidak mereka sadari adalah bahwa dampak dari metode yang mereka gunakan dulu, berdampak pada pemisahan yang tajam antara konfesi (pengakuan iman) dan etika kini. Pola tindak dan pola pikir tidak sesuai dengan pola ucap. Penampakan ini juga terdapat di jemaat Gereja-gereja di benua Afrika, lihat Eunice Karanja Kamaara, From Anthropocentricsm to Community Mission in Caring For God’s dan Jean-Blaise Kenmogne and Ka Mana, An African Experience on Ecology And Sustainable Development.

2. Kontekstualisasi.

Untuk konteks Indonesia, pencarian identitas lokal tidak bisa tidak, sejalan dengan pencarian identitas nasional. Karena jika tidak sejalan, maka identitas yang tercipta, apakah itu identitas lokal saja, atau nasional saja, tidak menghadirkan identitas yang utuh. Lokal adalah bagian dari Nasional. Tidak ada satu identitas lokalpun yang diangkat untuk menjadi identitas nasional. Sehingga yang harus dilakukan adalah bagaimana menempatkan identitas lokal dalam konteks identitas nasional. Hal seperti ini juga dilakukan oleh Negara yang penduduknya plural dalam arti terdiri dari banyak suku seperti Indonesia, India, Afrika, atau yang memiliki suku asli, seperti di Amerika Latin dan New Zealand. Sedang di Korea ataupun negara yang tidak bersuku lagi, konteks teologia mereka jauh lebih bersifat fight for sosial justice.


3. Sejarah perkembangan inkulturasi dan kontekstualisasi.

Seperti diketahui bahwa gerakan ekumene sebelum perang dunia ke II hingga tahun 70-an masih sejalan sekali dengan gerekan kemerdekaan, fight for justice for every nation. Sehinga agenda mereka banyak terlibat dalam political practice (praxis), yang bagiannya di Dewan Gereja se-Dunia (DGD) adalah bagian Church and Society (Gereja dan Masyarakat). Cukup lama bahkan hingga kini, kami pikir, terjadi jarak yang cukup jauh antara bagian Faith and Order (Iman dan Peraturan) yang begitu Biblika dan Dogmatik oriented dengan Church and Society yang begitu konteks oriented (sosiologi, politik dan ekonomi).

Tetapi kemudian setelah makin banyaknya gereja-Gerejadi Asia dan Afrika yang telah merdeka, terlibat aktif dalam program DGD, maka peran konteks yang berorientasi praktis mewarnai program dan juga konsep-konsep teologia di DGD. Nama-nama seperti: M.M Thomas, D.T Niles, Koyama, CS Song, Mbiti dll mengedepankan bahwa konteks adalah bagian dari identitas. Pernyataan ini pertama diproklamasikan di pertemuan pertama East Asia Christian Conference yang kemudian menjadi CCA, Christian Conference of Asia/ Dewan Gereja Asia pada tahun 1949. . :

…”Pesan kekristenan akan semakin menantang jika dihadirkan dalam hubungan yang dekat dengan kebutuhan khusus manusia pada tempat dan waktu nya (konteksnya), dan juga ia mengadopsi dan menggunakan beberapa nilai-nilai kebudayaan di tempat tsb,” Lihat Ans J. Van der Bent, Vital Ecumenical Concerns, Geneva: WCC, 1986, 1.

Semangat ini juga dimiliki oleh gereja-Gereja Afrika yang mendeklarasikan keinginan ini dengan lebih hati-hati pada tahun 1963 di Kampala di Africa Conference of Churches:

…”Gereja-gereja harus mempelajari kepercayaan-kepercayaan tradisional Afrika. Kebudayaan Afrika tradisional tidak semuanya jelek, tapi juga tidak semuanya bagus. Sebagaimana di semua kebudayaan,ada selalu faktor yang positif yang menyatukan kesemua kebudayaannya, dan ada juga faktor yang jelek yang melecehkan kemanusiaan.Gereja-gereja seharusnya terlibat dalam dialog yang serius antara pandangan dunia yang tradisional dan kesinambungan pernyatan Kristus Yesus melalui Alkitab.”.
lihat, Van der Bent, 2.

Jika melihat kedua pernyataan di atas, nampak sekali bahwa Gereja-Gereja di Asia jauh lebih demanding di dalam reclaiming their own identities. Lepas dari apakah ini dampak dari karismatik Sukarno, Nehru dan Naser dll, dan Konperensi Asia Afrika (KAA), yang jelas kami tahu bahwa semangat dan jiwa Sukarno sangat mempengaruhi teolog Asia saat itu.

Seperti laporan Van der Bent dalam bukunya bahwa semangat ini ditampung dan dikembangkan di Church and Society division dalam pertemuan New Delhi, 1961 dimana kombinasi dari religion, nationalism dan secular ideologies didiskusikan. Tapi hal ini tidak digodok di bagian Faith and Order secara serius, walau sejak tahun 1971 di Louvain, seksi V menangani thema The Unity of the Church and the Differences in Culture. Akibatnya, perjalanan kedua bagian ini timpang sekali. Dan hal ini nampak di dalam kegamangan Gereja-Gereja di Asia dan Afrika di dalam merevisi konsep teologisnya, seperti konsep Gereja, Trinitas yang seharusnya nampak dalam konfesi mereka. Juga kegamangan Gereja-gereja di “Barat” (khususnya Eropah dan Orthodox) untuk masuk dalam praxis tapi sibuk dengan Konfesi, Doktrin dan Tradisi.

Karena tidak ada konsep teologis yang absolut, maka perevisian memang wajib dilakukan. Mengenai The Truth kami mengutip pendapat Terry

, ....“When we try to describe the truth about God, we can only go part-way in our descriptions. We can say that God is like a king, God is good and not evil,and God wants to help us. But we must admit that, in the end, there are some things about God we can not describe, because God (or the transcendent), by definition, lies outside the normal sphere of things that can be seen, heard, tasted, and felt. God eludes final description,” lihat Terry, How To Study Religion, 98.

Dan mengenai perevisian itu baik juga jika disimak apa yang Julius katakan, …

… for so long that even when some of these structures are dismantled the momentum of traditional Christian theologizing tends to continue. An example of this is Christianity’s still poor records in the area of interreligious and cross-cultural dialogue. Too many Christian theologians still tend to discourse in naïve supremacist and exclusivist terms, not only soteriology (e.g., by sticking to some unnuanced account of Jesus as saviour of the world),but also epistemologically (e.g., by maintaining some forms of exclusive cognitive access to God’s plan of salvation , or divine revelation) as well as methaphysically (through a form of theism that is grossly dualistic).” Lihat Julius Lipner dalam artikelnya, “Religion and Religious Thinking in the New Millennium,“ di Plurarity, Power and Mission. London: The Council for World Mission, 2000, 87-8.

4. Inkulturasi adalah proses yang tiada henti

Mengakui keberadaan budaya lokal yang mempunyai kekuatan untuk merevisi ajaran dan arah gereja, serta keterbukaan di dalam mengakui keberadaan iman di luar iman kekristenan, sangat mengkawatirkan Gereja-gereja dari kalangan Ortodox dan Evangelical, karena mengancam peran sola scriptura (Apalagi pernyataan keabsolutan Alkitab sebagai firman Allah) dan doktrin kristologi dan soteriologi..

Richard Niebuhr dengan bukunya Christ and Culture dari kelima pendekatan yang dikemukakannya tetap menempatkan Kristus di atas kebudayaan. Wajar saja, karena di zamannya adalah masa keemasan Karl Barth dan Hendrik Kraemer. Sedang gerakan Evangelical walau mendukung proses kontekstualisasi tapi untuk tujuannya sendiri yaitu digunakan sebagai jalan masuk (metodologi) Kristenisasi. Tapi kini, dimasa post-kolonial, Christ and culture, keduanya duduk sama rendah berdiri sama tinggi, keduanya saling mempengaruhi dan melengkapi, equally, bergantung pada kepentingan konteks, band. Gerit Singgih, “Membangun Sebuah Teologia Budaya Pasca Niebuhr di Dalam Era Reformasi, 59-75, Iman dan Politik Dalam Era Reformasi. Jakarta: BPK, 2000.Lihat juga Masalah-masalah di sekitar definisi kontekstualisasi, dalam Berteologia Dalam Konteks, Jakarta: BPK dan Kanisius, 2000, 17-33. Inilah metode hibriditas, yaitu percampuran berbagai elemen kultural yang berbeda sehingga tercipta makna dan identitas identitas baru. Hibrida mengguncang stabilitas dan mengaburkan batas-batas kultural yang mapan lewat proses pengabungan.

Pendekatan hibriditas ini memudahkan kita untuk hidup di dalam konteks Pancasila yang memberi tempat pada segala sesuatu dan semboyan kita Bhineka Tunggal Ika. Dan tujuan kita melakukan inkulturasi bukan untuk kristenisasi tapi untuk pencapaian untuk menjadi diri kita sendiri. Bagaimana melakukannya? Tidak gampang. Huub yang meneliti upaya inkulturasi Gereja Katolik di Indonesia menuliskan:

…“khususnya refleksi teologis tentang kaitan antara injil dan inkulturasi, hal ini memang disebut “salib” para misiolog dan missionaries.“ (392). …“hubungan antara injil dan kebudayaan serta pengaruh timbal balik antara keduanya itu adalah perkara yang sukar dan masalah yang abadi.“ (430). Namun demikian, bukan berarti GBKP dan gereja lainnya di Indonesia harus berhenti dalam upayanya. Yang harus dilakukan adalah meningkatkan kemampuan SDMnya untuk meneruskan pekerjaan yang sudah dirintis untuk diteruskan.