Kamis, 12 Juni 2008

Sekilas tentang pemilik Blog

Bagaimanapun pembaca harus mengenal siapa pemilik blog ini. untuk memperkenalkan diri adalah baik jika kami memuat tulisan kami yang merupakan kumpulan beberapa penulis (atau tokoh) yang diminta penerbit Gramedia untuk menceritakan hubungannya dengan buku dalam rangka merayakan HUT Gramedia yang ke 34, jika berminat silahkan anda ketoko buku Gramedia dan membeli buku dengan judul BUKUKU KAKIKU. Inilah tentang pemilik blog ini-

BUKUKU KAKIKU


Pengantar

Namaku Minda. Umurku 40 tahun. Hampir tiga-perempat bagian dari hidupku dihabiskan di bangku sekolah. Dalam arti lebih kurang 30 tahun dari 40 tahun masa hidupku, dihabiskan di sekolah. Sekolah bagiku sama dengan buku, walau setelah tidak berada di sekolah lagi, buku tetap menjadi isi tasku. Tas tanpa buku seperti sarapan tanpa kopi. Sehingga tasku selalu besar. Orang pikir aku bekerja sebagai sales-woman atau dokter. Kebiasaan ini bukan meng-ada setelah aku dapat S3, tapi di mulai sejak aku masih di Taman Kanak-kanak.

Sekolah Identik Dengan Buku

Jelas aku mempunyai alasan untuk menyatakan itu. Pertama, aku bisa mendapat uang lebih dari orang tuaku disebabkan keberadaanku di bangku sekolah. Uang lebih itu aku pakai untuk membeli buku. Hak istimewa ini tidak akan kudapat kalau aku berada di luar sekolah. Kedua, Sebagai siswa yang uangnya bergantung dari belas-kasihan orang-tua, maka kemampuan membeliku juga terbatas. Sehingga perpustakaan sekolah sangat membantu dalam mensuplai buku-buku. Sekolah tanpa perpustakaan bagiku bukan sekolah. Pelajar tanpa buku bagiku adalah bukan pelajar. Pusat dari sekolah adalah perpustakaan bukan guru. Guru hanya berperan mengarahkan saja.

Masa Kecil

Kesukaaan membaca bisa terbentuk oleh faktor lingkungan

Tidak heran aku harus kerja ekstra keras untuk membiasakan anakku -yang tinggal denganku setelah ia duduk di SMP – untuk suka membaca, karena kesukaan itu bisa muncul dari faktor lingkungan. Sejak bayi hingga SMP, ia diasuh neneknya yang kurang mengerti akan pentingnya membaca. Waktu hanya dihabiskan untuk menonton TV- faktor terbesar penghambat anak-anak bahkan orang dewasa untuk belajar menyukai membaca- bermain dan menyelesaikan Pekerjaan Rumah dari sekolahnya.

Orang-tuaku suka membaca. Koran, majalah, buku cerita selalu ada di rumah. Mayoritas kami anaknya juga suka membaca. Cuma itu bukan berarti bahwa faktor bawaan (talent) tidak menentukan rasa suka ini. Satu kakakku kurang suka membaca dan ia juga kurang berminat untuk berlama diri di sekolah. SMA saja sudah cukup baginya. Sepertinya ada hubungan antara kesukaan membaca dan kesukaan bersekolah atau belajar.
Balai Pustaka penerbit yang kukenal di masa kecilku

Balai Pustaka adalah terbitan yang paling kugemari sejak aku di SD hingga SMA di tahun 1978-82. Penerbit ini mengeluarkan dan menterjemahkan buku-buku yang bernilai satra, menurut penilaianku. Siapa tidak ingat akan Layar Terkembang, Salah Asuhan, Datuk Maringgih dalam Siti Nurbaya, Winnetou dan suku Apache, Old Saterhand dll? Memperhatikan ulang novel-novel asli keluaran Balai Pustaka aku bertanya kenapa mayoritas penulisnya dari Sumatera? Apakah hal ini bisa diangkat sebagai salah satu alasan yang menyebabkan dasar bahasa Indonesia diambil dari bahasa Melayu bukan bahasa Jawa walaupun sumpah pemuda dideklarasikan di Jawa?

Authobiography dan Biography adalah jenis bacaan yang kusuka

Aku sebenarya paling suka membaca authobiography dan biography, karena aku ingin belajar dari kehidupan orang lain. Mungkin karena sifatku yang kurang suka bertanya kepada orang lain, tentang apapun, jadi aku begitu bergantung dengan buku untuk mencari tahu akan segala sesuatu. Selain jenis bacaan di atas, selama SD-SMA aku juga membaca H.C.Andersen; Sikuncung, kawanku, Bobo, Teddy Beruang, Gadis, Femina, Aktuil dan Intisari. Ada beberapa yang aku sudah lupa namanya. Jelas Kho Ping Hoo juga sudah masuk dalam daftarku. Aku kurang suka membaca novel pop. Entahlah kalau NH Dini dimasukkan dalam kategori ini. Karena aku suka gaya tulisannya. Cuma, aku membaca majalah apa saja, baik itu pop maupun sastra.

Kebudayaan Pop Yang Mendominasi Kini Sangat Mempengaruhi Isi Majalah, Buku dan TV dan Dampaknya Dalam Mencerdaskan Bangsa

Walau dulu aku membaca semuanya, tapi sekarang aku tidak memberikan majalah populer ke anakku. Cukuplah TV sudah mencekokinya dengan kebudayaan dan pola pikir pop yang mengglobal yang tidak eksistensial dan berpola jangka panjang.

Walaupun aku lama sekolah di Amerika, tapi aku tidak melihat kebagusan dari pola pikir pragmatis dan serba instant yang dipopulerkannya keseluruh jagad raya. Amerika jatuh kepada pemujaan materi. Manusia didikte oleh industri. Gaya hidup mendikte gaya pikir. Pilihan yang kita ambil hanya tersedia dari tawaran yang diajukan oleh para industri, jelas industri kelas kakap. Siapa yang berani melakukan pembelotan dari yang ditawarkan, dikategorikan sebagai yang “tidak gaul” atau “tidak modern”. Buku dan semua media, majalah, koran, TV, juga terperangkap di sini. Sedih memang ketika keintelektualan, nilai-nilai dan taste harus ditentukan oleh mega-industri yang berorientasi ke pasar yang daya jangkaunya dangkal dan pendek. Sehingga saya pikir tidak usah terlalu terpakulah pada 10 best seller of the New York Times.

Kerinduanku Untuk Menciptakan Rasa Cinta Buku Pada Anakku

Melihat keberadaan anakku, aku tahu bahwa kekurang-pengetahuannya dikarenakan ia kurang membaca. Lalu aku memberikan bacaaan yang kubaca padanya. Selain untuk melatih dia berpikir, juga pada waktu yang bersamaan untuk merubah pola pikirnya. Bacaan isengnya kuberikan Donald Bebek dan paman Gober yang aku juga suka. Aku juga memberikan novel sastra lama dan authobiography dan biography para pejuang kemerdekaan dan juga tokoh dunia yang terkenal, seperti Di Bawah Bendera Revolusi, Emil Salim, Muhamad hatta, Tan Malaka, Gandhi, Kartini, dll. Aku sempat kaget ketika anakku mengenal Siti Nurbaya bukan sebagai tokoh dalam karya sastra, tapi sebagai tokoh sinetron di TV. Kekagetan ini dibarengi dengan kemarahan dan keprihatinan akan apa yang diberikan sekolah kita kini. Ketika sastra, etiket dan budi pekerti diperkecil porsinya, dan mata pelajaran agama sekedar hapalan semata, bentuk karakter apa yang kita bina ke anak kita?

Buku Melatih Daya Fantasi dan Pikir.

Aku masih ingat ketika kecil dulu aku suka berfantasi akan isi cerita yang aku baca. Old Saterhand dengan Indian suku Apachenya. Padang gurun. Kuda. Tombak. Waktu itu aku mensejajarkan mereka dengan orang Dayak di Kalimantan,walaupun pengetahuanku mengenai orang Dayak juga melalui buku. Walaupun aku suka sekali membaca buku Winnetou ini, tapi aku tidak sampai berkeinginan untuk ke Amerika hanya untuk memujudkan fantasiku. Sejak kecil aku malah ingin ke China dan Jepang. Mengapa? karena selain cerita terjemahan dari Barat, Kho Ping Hoo adalah santapan harian keluarga. Buku cerita yang berjilid sampai melebihi dua-puluh dan dilanjutkan keseri yang berikut tapi masih dalam satu jalur cerita, sangat menarik hatiku. Bukan silatnya, tapi lebih ke ajaran filsafat Budha dan Lao Tzenya. Aku membayangkan bahwa kehidupan sehari-hari mereka yang melahirkan point-point filsafat seperti itu, dan filsafat itu terwujudkan dalam pola tindak sehari-hari. Hingga kini filsafat adalah subjek kegemaranku. Dan hingga kini keinginan untuk menghabiskan beberapa waktu di Cina atau Jepang masih ada. Berapa tahun yang lalu aku ditawari untuk tinggal di desa di Cina selama sebulan oleh Dewan Gereja Asia, tapi karena pada waktu yang bersamaan aku harus menghadiri konsultasi di Amerika, tertundalah keinginan ini.

Buku Mengikat Rasa Kekeluargaan dan Menghindari Anak Dari Kegiatan Yang Tidak Terarah.

Tradisi membaca Kho Ping Hoo secara bergiliran dalam keluargaku dahulu sangat menyenangkan. Ayahku yang harus selalu menjadi pembaca pertama, lalu disusul oleh kakak-kakakku. Sebagai anak nomor enam dari delapan, jelas aku mendapat giliran terakhir, walau ternyata sering juga aku mendahului kakak-kakakku. Tradisi ini mengikat keakraban di dalam keluarga. Kesukaan membaca dikeluargaku membuat kami menghabiskan waktu lebih banyak di rumah sehingga lebih teratur dan terarah.

Situasi Yang Tidak Disengaja Juga Dapat Membentuk Kecintaan Pada Buku.

Diantara semua anak orang-tuaku teryata aku yang paling kutu buku. Dari kecil hingga sekarang uangku hanya habis buat membeli buku. Kini, hartaku selain keluargaku, hanyalah buku.

Ketika kecil karena buku baru mahal, maka aku suka pergi ke Titi Gantung dan jalan Salak di kota Medan, kota kelahiranku, yang mempunyai kompleks penjualan buku bekas yang luas. Selain buku cerita aku juga membeli buku pelajaran sekolah. Kesukaanku membaca, rupanya menjalar ke kesukaanku belajar.

Buku-buku pelajaranku selalu selesai kulahap sebelum waktunya, sehingga aku membutuhkan buku-buku yang setingkat atau dua tingkat di atas yang seharusnya kupelajari. Sedang ibuku waktu itu selalu hanya membelikan buku pelajaran yang dipakai untuk kelasku. Maka untuk memenuhi keinginanku aku harus membeli buku-buku pelajaran yang di atas tingkatanku di pasar loak.

Aku ingat, aku selalu mendialogkan buku yang aku baca dengan mata pelajaran sekolahku. Sedikitnya sejak kecil aku sudah melatih diri untuk melakukan dan melihat secara inter-disiplinari. Hal ini membuat aku selalu berada di depan teman sekelasku. Yang aneh tapi nyata, sampai beberapa guruku kadang menyerahkan tanggung jawab padaku untuk menerangkan pelajaran di papan tulis. Ini berlaku sejak aku di bangku SD sampai SMP.

Ketika SMA menyanyi lebih kutekuni dari pada membaca. Ini bukan suatu pembelokan tapi sekedar hanya memilih prioritas, karena aku tidak mampu untuk melakukan dua hal secara serius dalam waktu yang bersamaan.

Profesorku di STT Jakarta pernah mengatakan bahwa motifasi awal menekuni pelajaran baginya adalah karena pelarian, tapi kemudiaan menjadi satu kebiasaan. Apa aku seperti itu? Mungkin saja.
Menjadi anak nomor enam dari delapan bersaudara, aku acap tidak tahu menempatkan diri di mana. Apalagi ayahku sakit-sakitan sehingga ibuku menghabiskan waktunya untuk merawat beliau. Kakak-kakakku jelas tidak bisa menggantikan peran orang-tuaku. Mereka juga kurang cakap dalam membantu menyelesaikan pekerjaan sekolahku. Hal ini yang membuatku begitu bergantung pada penjelasan dari buku.

Berdasarkan hal ini aku tidak terlalu kecewa dengan anakku. Kedua faktor yang membentukku hingga mencintai buku, tidak dimiliknya. Dia lebih banyak memiliki pilihan-pilihan lain dibandingkan denganku, ketika ia belum tinggal denganku.

Buku Mencerahkan Akal dan Pikiranku.

Otodidak dan pengalaman kuakui sebagai yang sejajar atau bahkan lebih dari gelar yang diberikan oleh institusi pendidikan yang ada sekarang ini.

Otodidak adalah sesuatu yang kuamini. Hal ini terbawa hingga aku duduk dibangku kuliah. Aku jarang mau duduk di kelas, karena semua yang dikatakan dosenku bisa kudapatkan dari buku, bahkan lebih lengkap dan mendalam. Kalau terpaksa aku harus masuk kelas, biasanya aku membaca majalah Tempo di tempat dudukku. Peraturan di perpustakaan di STT Jakarta waktu itu adalah majalah tidak bisa dipinjam untuk dibawa pulang. Sehingga kesempatan untuk membaca hanya di dalam kelas dan waktu istirahat. Aku memakai kedua waktu ini. Ketika Dosenku melihat keasyikanku lebih kepada majalah Tempo dari pada mendengarkan kuliahnya, ditegurlah aku. Walau demikian dosenku ini juga yang kemudian menjadi salah satu dari dosenku yang memberikan rekomendasi untuk meneruskan studyku di Amerika.

Hingga kini aku memberikan mahasiswaku kebebasan untuk mau masuk kelas atau tidak, walau peraturan administrasi di kampus cukup ketat tentang kehadiran. Aku pikir Mengingat methode pengajaran di Indonesia dari jenjang SD-Univeritas bahkan sampai S2 hanya one way traffic, tidak ada dialog, aku pikir peraturan ini hanya untuk menipu diri sendiri saja. Umumnya metode pengajaran hanya mengarahkan siswa kesatu arah, yaitu ke arah pendapat guru/dosen dan pendapat inilah yang terbaik. Teacher knows the best. Sehingga siswa tidak terbiasa dengan keragaman pemikiran.

Aku selalu bertindak kepada anak dan muridku berdasarkan pengalaman yang telah kulalui. Biasanya aku tidak mengulangi pola guruku, walau memang tidak banyak guru yang begitu membentuk karakter dan pola pikirku. Tapi semua yang kudapat dari sumber apapun aku kumpulkan menjadi satu dan kurefleksikan secara kronologis, dan kembali aku selalu mendialogkan ketiga komponen ini, pengetahuanku, hasil reflesiku dan situasi. Sehingga yang kuajarkan pada anak dan muridku adalah hasil refleksi ini. Buku juga yang mengajarku untuk berefleksi diri yaitu buku-buku psikoanalisa.

Buku Psiko analisa yang sebenarnya bukan bagian dari mata pelajaranku menjadi bacaan rutin ketika aku melanjutkan studiku di Amerika. Social sciences yang bersifat terapan bagus sekali untuk didalami di Amerika. Psikologi, pastoral-counseling berkembang di sini. Ini bukan bidangku. Aku tidak terlalu tertarik ilmu yang bersifat praktikal. Aku suka ilmu dasar. Dulu ketika aku SD-SMP aku suka matematika. Ketika aku SMA aku suka Aljabar dan Kimia. Aku pikir ilmu dasar harus diajarkan kepada setiap siswa karena ini adalah pembentukan cara berpikir yang sistematis dan terarah. Berdasarkan pengalamanku aku pikir orang yang berlatar belakang sciences akan melahap dengan enak semua pelajaran sosial.

Mengapa Psikoanalisa ?

Perlunya waktu diri untuk berkontemplasi atas semua yang diterima oleh rasio

Umumnya seseorang ketika baru mendapatkan kesarjanaannya ia belum bisa melihat semua yang ditimbanya selama kuliah secara keseluruhan. Semua data yang disimpan per-semester dan tingkat masih tersusun seperti apa adanya. Sehingga ada baiknya kalau setelah mendapat gelar kesarjanaan, seseorang itu jangan langsung cari kerja atau mengambil kuliah kejenjang yang lebih tinggi lagi (S2). Tapi waktu digunakan untuk merefleksikan apa yang dipelajari selama lima atau enam tahun yang telah lewat dan menghubungkannya kekehidupan nyata, supaya teori itu mendapat pembuktian di lapangan atau supaya diaminkan juga bahwa teori yang dipelajari adalah yang didapatkan dari praktek lapangan, khususnya untuk kuliah ilmu sosial. Cuma kalau kuliahnya sekedar mau lulus saja maka datapun tidak ada, sehingga apa yang mau direfleksikan?

Aku masih ingat, ketika aku tingkat empat di STT Jakarta aku juga membantu dosenku untuk mengajar di tingkat satu. Pada waktu itu juga aku harus mengambil intensive English dan German. Hal ini diprogramkan padaku karena aku dipersiapkan untuk menjadi pengajar masa depan, dan untuk mencapai cita itu, aku harus membekali diri dengan beberapa hal supaya bisa langsung melanjutkan ke Tingkat strata dua.

Aku masih ingat juga, di saat penggodokan ini, membaca sudah tidak menjadi fun lagi tapi keharusan. Ada target, aku harus menyelesaikan beberapa buku untuk seminggu. Lelah sekali. Aku tidur siang di bus dalam perjalanan ke LIA. Makan siang juga di sini. Segala sesuatu sudah tidak ternikmati lagi. Aku memang tidak terlalu tahu bagaimana berteman, karena sedari kecil lebih banyak menghabiskan waktu untuk membaca. Tapi kali ini, waktu untuk berteman juga tidak ada.

Ketegangan seperti ini terus aku alami sampai aku kuliah Strata dua di Amerika. Ada tiga jurusan di Amerika yang mensyaratkan pelamarnya sedikitnya harus tamatan Strata satu, yaitu Kedokteran (Medical School), Hukum (Law) dan Theologia (Seminary). Dalam hal ini aku setuju dengan sistem Amerika (kita memakai sistem Eropah/ Belanda), karena ketiga bidang ini membutuhkan kedewasaan secara mental, bukan cognitif saja. Atau lebih tepatnya kedewasaan yang holistik. Sehingga dengan ini jelas saja aku belum memenuhi persyaratan untuk duduk di program Masternya Karena di Indonesia semua jurusan mensyaratkan tamatan SMA. Apalagi aku memilih untuk melanjutkan apa yang sudah kutekuni di STT Jakarta yaitu bidang Perjanjian Lama yang di seminari Amerika dianggap paling bergengsi, jadi hanya layak untuk orang kulit putih, kemudian Asia, karena orang Asia diakui kedisiplinan cara belajarnya. Untung mereka tidak tahu bahwa Asia yang kulitnya sawo matang adalah kekecualian.

Tapi karena Dosen dari Universitas di Amerika yang memilihku untuk belajar di tempatnya, maka semuanya diamini. Ini dilakukan dalam rangka peningkatan sumber daya perempuan, sekaligus penyiapan pengajar perempuan di sekolah Teologia. Konsekwensinya, aku harus tiba di Amerika 3 bulan sebelum semester dimulai untuk dipersiapkan agar siap untuk duduk di kelas bersama siswa lainnya. Waktu kuhabiskan untuk mencapai target. Jangankan 3 bulan, tahun pertamaku kuhabiskan untuk mencapai kesejajaran dengan siswa lainnya. Lelah? Ya. Tapi aku sudah terlatih jibaku. kemampuanku yang tahu berpikir memudahkanku untuk mengejar dan melahap semuanya.

Ketika pembimbing program Masterku mendiktekan kemauannya padaku, aku tidak bisa menerimanya. Di tempatku belajar, keberhasilan mahasiswa program master dan Doktor bergantung sekali dari pembimbingnya. Jadi ketika hubunganku dengan pembimbingku tidak enak lagi, aku minta pembimbing baru. Tapi ternyata pembimbingku tidak mau melepaskan aku sebagai bimbingannya. Rupanya pembimbingku mengenal sifatku yang tidak suka didikte. Setelah dilihatnya kemampuanku berjalan sendiri dari thesis bab satuku, maka aku dibiarkan berjalan sendiri dengan pasti. Kebiasaanku dari kecil yang lebih bergantung pada buku dari pada guru ternyata terus terbawa ke Amerika dan melekat hingga kini. Sehingga aku kurang merasa aman tidak tinggal dalam lingkungan kampus, karena kampus pasti mempunyai perpustakaan. Walaupun koleksi bukuku sendiri yang bukan hanya theology adalah lebih dari tiga ribuan.

Tragedi adalah kata yang tepat ketika pikir menjadi mahkota diri dan kehidupan

Aku berkesempatan merenung diri di tahun kedua program Doktorku. Perenungan yang kulakukan karena kelelahan. Untuk apa aku berlelah seperti ini? Umurku waktu itu 28 tahun. Aku merasa semakin asing dengan perasaanku. Cara berpikirku terlatih sekali, tapi aku tidak tahu mengolah rasa.

Di Amerika setiap kampus yang baik mutunya, mempunyai perpustakaan dengan koleksi buku yang lengkap (hal ini yang membuatku selalu rindu untuk pulang ke sana); mempunyai poliklinik; mempunyai tempat counseling; mempunyai kolam renang dan fasilitas fitness.

Ketika aku merasa lelah sekali, aku pergi ke pusat counselingnya. Disini masalah muncul kembali. Aku melihat bahwa counselorku tidak terlalu menguasai masalah, sehingga tujuanku tidak tercapai. Lalu aku balik kepada kebiasaanku, books know the best. Mulailah aku menghabiskan waktu di perpustakaan dan membacai semua buku yang berhubungan dengan apa yang sedang kurasakan. Pilihanku jatuh ke psikoanalisa dan buku-buku itu ternyata menolongku untuk melihat diriku lebih dalam lagi.

Semua ada waktunya: ada waktu bermain, belajar, makan dan tidur. Ada masa kanak-kanak- remaja, menuju dewasa dan dewasa
.
No wonder aku kelelahan, aku memang tidak pernah istirahat atau jedah dalam masa persekolahanku sejak aku berumur lima tahun. No wonder diriku berontak karena terlalu banyak aspek lain di dalam diriku yang seharusnya ada dan berkembang kulalaikan dan malah kadang kumatikan, yaitu rasa, bermain, bergaul dan istirahat. Freud (Id, Ego,Super-ego; The Interpretation of Dreams), Jung (dialog antara Jung dan Freud tentang mimpi, khususnya confrontation with the Unconscious) dan Erich Fromm (Art of loving, Escape From Freedom, Man for Himself; The Revolution of Hope and Psychoanalysis and Religion) , kudialogkan dengan diriku. Diantara ketiganya, Jung, khususnya perhatiannya pada the Unconscious dan tulisan Erich Fromm yang terdapat dalam bukunya: Art of loving, Escape From Freedom dan Man for Himself yang sangat membantuku. Kemungkinan besar hal ini terjadi karena dalam penulisan Jung sedikitnya, dan Erich Fromm umumnya dipengaruhi oleh religiositas Yahudi, yang tidak asing bagiku yang mendalami bidang Perjanjian Lama dan menggemari filsafat sejak kecil. Bukankah sebenarnya filsafat interrelated dengan ethics yang merupakan manifestasi dari religiositas? Hitung-hitung ini eksperimen yang tidak mengeluarkan biaya dan privasiku juga terjamin. Kutemukan bahwa otak dan rasaku tidak berjalan seiring. Aku terlalu cepat mandiri dalam berpikir dan menentukan hidupku. Ketika anak lainnya masih bermanja dengan orang-tua dan membiarkan orang tua mengambil keputusan atas dirinya, aku tidak. Waktu itu buku Emotional Intelligence belum muncul. Cuma hal ini sudah kutemukan dalam pencarianku. Jelas aku setuju tentang isi buku ini. Apalagi aku melihat sisi bahaya dari kesenjangan keduanya. Aku berusaha untuk membikin mereka agar sebisa mungkin beriringan dengan membayar semua utang-utangku pada tahap perkembangan diri dan kedua selalu meluangkan waktu untuk berefleksi.

Pada tahap ini aku mulai bereflesi diri kebelakang bukan dengan penyesalan. Tidak ada yang perlu disesalkan, karena pencapaian yang ada kini adalah berkat masa-masa pelatihan pola pikir dan ketahanan kedisiplinan. Aku beruntung melihat masalah ini sebelum aku mendapatkan Doktorku. Kenapa? Karena aku tahu setelah aku mendapatkannya aku akan menjadi pengajar. Bagaimana aku bisa menjadi pengajar yang baik kalau aku sendiri tidak mengenal perasaanku, apalagi mengenal keberadaan muridku? Lalu apakah aku harus mengulang kesalahanku dan guruku yang hanya mengolah pikir dan mengabaikan rasa? Bukankah setelah pikir menjadi mahkota dari segalanya yang membuat kehancuran diri, hubungan antar sesama dan dengan ciptaan lainnya?

Hampir dua tahun aku berkenalan dengan diriku, dan waktu ini juga kupakai untuk mempersiapkan diriku untuk ujian dua bahasa modern yang harus kutempuh sebelum memasuki tahap comprehensive exam.

Study Strata tiga di bidang theology di Amerika mempunyai ciri khasnya sendiri. Ada dua gelar yang ditawarkan yaitu DR dan Ph.D. Kalau program DR anda tidak perlu mengambil ujian bahasa-bahasa modern yang dipilih berdasarkan major kita. Jadi setelah menghabiskan dua tahun di dalam kelas dengan 36 credits, anda bisa langsung masuk ke tahap ujian comprehensive, lalu menulis proposal disertasi, disusul dengan penulisan. Tapi kalau anda memilih program Ph.D,ujian dua bahasa modern harus dilakukan sebelum masuk ke tahap ujian comprehensive. Di Indonesia semuanya menjadi sama saja. Tapi aku sendiri tidak gelar oriented dan percaya sekali akan otodidak, so, what is the title anyway?

Pengenalan akan diri berdampak pada pengenalan akan sesama dan ciptaan lainnya

Pengdialogan antara buku dan upaya pencarian diriku, bukan hanya membantu untuk mengenal diriku dan orang lain saja, tapi juga phenomena yang ada di sekitarku. Ternyata banyak sekali orang-orang yang mengidap penyakit sepertiku yaitu penyakit dimana pikir dan rasa tidak sejajar dan tidak mampu berdialog secara equal. Umumnya orang pintar mengidap penyakit ini. Aku masih ingat ketika temanku sesama mahasiswa Program Strata tiga waktu itu berkata padaku bahwa lebih dari sembilan puluh persen mahasiswa program Doktor yang statusnya kawin di bidang Theology dan Religion bercerai. Apakah mayoritas orang pintar mulanya memilih menghabiskan waktu untuk olah pikir dikarenakan kompensasi atau pelarian seperti yang dikatakan dosenku dulu? Kemungkinan ya. Menurutku sepositif apapun bentuk pelarian itu yang jelas itu adalah pelarian. Kesalahanku adalah aku tidak menyadari dan mengerti ketika pelarian berubah menjadi kebiasaan tanpa didahului oleh pemecahan atau rekonsialisasi dari upaya pelarian itu. Sehingga masalah-masalah yang ada yang belum terpecahkan terus bertumpuk melebihi kapasitas penampungan yang ada. Tidak ada jalan keluar selain membuang/delete atau melakukan rekonsiliasi (recycle bin yang satu waktu bisa direcall kembali). Aku juga melihat banyaknya orang tua yang sebenarnya belum mengenal dirinya harus menjadi orang tua. Dan kelompok ini mayoritas adanya. Sehingga penyakit ini bersifat berantai dan susah untuk memutuskannya. Apalagi kalau penyakit ini dimengerti sebagai bagian dari keberadaan orang Modern?

Peran Buku Yang Namanya Alkitab Dalam Upaya Menjadi Manusia Seutuhnya

Pensejajaran dan pendialogan antara pikir dan rasa sangat menolong sebagai dasar dan juga sebagai bahan dialog dengan meditasiku atas bagian-bagian dari alkitab. Keberadaanku di dalam keluarga (suami dan kedua anakku), serta interaksi dengan para intelektual dan murid adalah setting yang sangat membantu upaya pencapaian ini. Hal ini semakin dibantu kini setelah Alkitab dan profesiku sebagai pendeta masuk sebagai bagian dari hidupku. Kali ini aku bukan hanya mengupayakan proses pensejajaran itu tapi pada waktu yang bersamaan aku mengupayakan proses pembentukan diri sebagai manusia yang seutuhnya. Dalam hal ini yang disebut iman dan internalisasi berperan..

Ketika Psiko-analisa membantuku kembali kepada tahap-tahap perkembangan diri yang normal, maka alkitab membantuku mensejalankan antara pola pikir, ucap dan tindak. Pelatihan ini sangat berat, lebih berat dari upaya peraihan gelar Ph.D. Untuk melakukan ini diperlukan ketegasan dan kerendahan hati. Pelatihan ini kulakukan karena memang itulah inti dari meditasiku atas alkitab. Kalau dulu alkitab aku bahas sebagai salah satu dari textbookku, tapi setelah aku menjadi vikaris calon pendeta, alkitab menjadi buku perenungan diri. Cerita alkitab kuwujudkan kembali di dalam kehidupan sehari hari.

Sama seperti ketika aku melakukan penggalian penemuan diri dengan bantuan buku psikoanalisa,ketika dialog dilakukan antara buku dengan keberadaan diri, aku semakin mengerti tentang psikoanalisa dan diriku sendiri. Dampaknya? aku menjadi semakin mengerti akan keberadaan orang lain.

Hal ini juga terjadi ketika aku mendialogkan alkitab dengan kehidupanku sehari-hari. Pengertianku akan pernyataan-pernyataan di alkitab dan proses pembentukanku menjadi semakin dalam dan beriringan. Semakin aku mengenal diriku pada saat itu juga aku semakin mengerti pernyataan-pernyataan yang tertulis di situ. Sehingga bisa dikatakan bahwa kedalaman pengertian akan alkitab diukur oleh kedalaman pengertianku akan kemanusiaanku. Semakin aku mengerti akan keberadaanku seutuhnya, semakin aku memahami keberadan orang lain.

Inilah yang terjadi pada Paulus - yang refleksi dari pergumulannya dipakai oleh para reformasi dalam upaya menentang praktek-praktek yang terjadi di dalam gereja Katolik – di dalam ia merefleksikan pengertiannya akan Yesus. Pengakuan iman yang dituliskannya di dalam surat-suratnya bukanlah pengakuan iman hasil indoktrinasi, tapi hasil dari pergumulan pribadi.

Tidak heran Paulus menyatakan bahwa tidak ada yang benar, seoranpun tidak. Sehingga keselamatan adalah sesuatu yang dianugerahkan kepada kita. Pernyataan ini bukan mucul begitu saja, tapi karena dengan jujur Paulus menyatakan bahwa ia juga bergumul untuk mensejajarkan antara pola pikir-ucap dan tindak. Dan ia menyadari sepenuhnya bahwa itu tidak gampang. Dituliskannya Aku ingin melakukan yang ini tapi yang terjadi adalah yang itu.

Pengenalan diri seperti ini menibakannya pada pengertian ketergantungan mutlak pada Allah dan bepengertian sepenuhnya kepada sesama manusia. Sehingga tidak perlu ada penghakiman antar-sesama, melainkan wajiblah antar sesama saling mengingatkan, karena semua manusia pada dasarnya adalah lemah. Tapi itu bukan berarti kita tinggal diam di dalam kelemahan kita. Karena kita sebenarnya sudah diberikan kemampuan untuk bersikap seperti Yesus. Untuk tiba di tahap ini selain meminta bantuan roh, juga diperlukan adanya proses dan disiplin diri.

Sehingga aku tidak mengenal kata tidak bisa. Bagiku semua bisa kalau kita mempunyai kemauan dan displin untuk itu. Di atas segalanya, dan yang tidak akan saya pungkiri, tentu saja kalau memang Allah berkenan untuk mewujudkannya. Dialogku dengan alkitab dan kehidupan selain menuntunku untuk mensejajarkan pola pikir-ucap dan tindak, juga mengajarkan ku untuk rendah hati dan menjalani kehidupan ini seperti air mengalir. Seperti hasil pergumulan Paulus, aku juga menjadi begitu memutlakkan Allah, dalam arti di satu pihak aku begitu optimis akan kehidupan, kerja keras serta disiplin, di pihak lain aku begitu mengantungkan kehidupan pada Allah. Aku memahami bahwa Allah mempunyai rancangan atas tiap orang sehingga tidak perlu ada kecemburuan, saling menjegal, sogok-menyogok untuk mendapat kerja dan jabatan. Bagiku semuanya sudah ditentukan dan tidak ada penilaian tinggi rendah, tapi semaunya saling melengkapi. Begitu juga dengan anak kita,bagiku orang tua yang begitu menentukan kemauannya pada anaknya serta selalu melengkapinya, dan acap kawatir untuknya adalah orang-orang tua yang tidak berTuhan.

Semua refeleksi yang kudapatkan didalam mendialogkan buku-buku yang kubaca dengan diri dan kehidupanku muncul di dalam ajaranku baik di depan kelas, di mimbar gereja, di tempat-tempat aku ceramah dan juga di rumah tanggaku. Sehingga ajaran, khotbah dan ceramah-ceramahku merefleksikan diriku.

Aku merasa bersalah sekali ketika aku menyadari bahwa ada perkataanku atau khotbahku atau isi ceramahku yang tidak sejalan dengan atau belum bisa kulaksanakan dalam diriku. Hingga kini aku tetap menjalankan kehidupanku dalam perspektif ini. Bagiku semakin berumur seseorang, semakin bijaksana di dalam bertindak. Bagiku semakin berpendidikan seseorang semakin rendah hatinya dan bijaksanalah ia. Karena pengalaman (empiris- faktor waktu), buku dan pendidikan (walau bagiku buku dan pendidikan adalah interrelated) adalah faktor yang sangat kuat di dalam membentuk kita. Sehingga kegagalan pendidikan kita nampak dimana para sarjana, master dan doktor kita tidak mewujudkan pengetahuan yang sejajar dengan gelarnya- di dalam tindakannya sehari-hari. Sudah waktunya kita menerapkan pendekatan yang holistik dan memberi kesempatan untuk merenung atau merefleksikan apa yang kita dapatkan di dalam kehidupan sehari-hari, dari buku yang kita baca, dari pelajaran yang kita terima. Sehingga adalah sangat memalukan ketika membaca besarnya korupsi yang terjadi di departemen agama, atau dilembaga hukum Indonesia.

Penutup

Buku adalah diri dan hartaku
Hingga kini aku tidak pernah berhenti membaca. Cuma karena waktu yang sangat terbatas sehingga aku harus sangat selektif dalam memilih apa yang mau kubaca. Biasanya aku menjatuhkan prioritas kepada bacaan yang topiknya belum terlalu kukenal. Proses seleksi kulakukan pertama dengan mencari tahu latar belakang penulis dan penerbit. Kenapa? karena keduanya mempengaruhi isi (ideologi) dari buku. Dengan menggunakan methode ini, aku bisa dengan cepat melakukan pilihan jika dalam satu topik ada lima penulis dengan lima penerbit yang berbeda.

Kecintaanku pada Amerika dikarenakan buku sangat gampang didapat di sana. Second-hand book store biasanya ada disetiap desa, apalagi di kota. Harganya sangat murah. Setiap desa mempunyai perpustakaan, dan disitu kita bebas meminjam buku, kaset video, vcd, majalah, juga menggunakan komputer dan internet. Akses seperti ini adalah hak umum. Sehingga tidak heran jika hanya buku-buku yang menjadi isi koperku ketika aku pulang dari negeri ini. Sekarang sedikitnya dua puluh buku kubawa itupun karena harus bersaing tempat dengan mainan anakku. Sebelumnya aku bisa membawa buku sampai ratusan. Kalau ditanya dari mana uangnya aku mau cerita. Temanku yang juga pernah belajar di Amerika bertanya padaku belum lama ini, “kemana saja kamu belanjakan uangmu yang kamu dapatkan selama kamu di Amerika?” aku tersenyum, dan berkata “buku!”

Perlunya Pengadaan yang disengaja untuk buku yang bermutu di Indonesia

Selain aksesku yang sering ke Amerika, aku juga masih sering dikirimi buku oleh profesor dan temanku yang di Amerika. Sehingga di dalam hal ini aku masih beruntung dibandingkan bukan hanya dengan orang lain,tapi juga dengan banyak pengajar atau Doktor-Doktor yang lain yang ada di Indonesia. Aku juga masih beruntung karena memiliki teman di beberapa penerbitan di Indonesia sehingga acap dikirimi buku oleh mereka.

Perlu juga disimak bahwa di India dan Korea buku juga tidak terlalu mahal. Di negara ini bahkan mereka sangat gencar menterjemahkan buku-buku yang berkwalitas dan yang dari “Barat” dengan harga murah. Sudah waktunya kita melakukan “restorasi Meiji.”

Bagaimana dengan kita? Karena kesukaanku membaca disebabkan kehausanku untuk mencari tahu, sehingga wajar kalau aku frustasi melihat tidak adanya toko buku yang memadai di Medan tempatku. Gramedia adalah toko buku utama di sini, tapi buku yang ditampilkan belum memenuhi kebutuhanku. Juga harga yang mereka patokkan cukup mahal dibandingkan dengan pendapatan masyarakat umum. Walau menurut pengamatanku faktor ini bukanlah penyebab utama belum adanya tradisi membaca disemua kalangan di Indonesia umumnya dan di Medan khususnya. Aku merindukan toko buku yang mampu menyediakan banyak buku yang bermutu dan dengan harga yang terjangkau. Aku juga merindukan penerbit-penerbit yang mau menerbitkan karya karya intelektual dalam semua bidang dalam bentuk terjemahan dan menjualnya dengan harga yang terjangkau. Aku sedih melihat buku-buku sekarang yang tercetak cantik dan dari kertas yang luks tapi isinya tidak sesuai dengan pengorbanan beberapa pohon yang telah dimusnahkan untuk itu. Peran penerbit dan toko buku sangat besar di dalam memajukan bangsa dan negara.

Orang tua, guru dan buku adalah faktor penentu dalam menentukan arah satu bangsa

Bagaimana dengan anak kita? Faktor kesengajaan bisa diciptakan di rumah dan di sekolah untuk menggiring generasi muda untuk cinta membaca. Dan inilah yang kulakukan di rumah tidak saja dengan anakku yang besar tapi juga dengan anakku yang belum genap berumur dua tahun. Sejak bayi dia sudah melihatku dikelilingi oleh buku, membaca buku, menulis dan mengetik di komputer. Dia suka meniruku membaca buku atau koran dan dia juga sudah mulai mencoret-coret buku tulis, lantai dan dinding dengan pinsilnya. Sehingga bisa kukatakan bahwa peran orang tua dan guru sangat besar dalam menentukan bentuk generasi muda yang bagaimana yang akan kita dapatkan. Ingatlah, apa yang kita tanam itulah yang kita tuai.


Mindawati Perangin-angin

5 komentar:

Lisa T. mengatakan...

okeh banget kak!!
Sebagai pencinta buku (meskipun belum taraf yang buku beratz he3x)aku sangat setuju dengan pentingnya buku dalam kehidupan sehari2...
Kalo dengan buku kita bisa berimajinasi sendiri jadi tidak terpaku dengan 'given info'.
Bahkan komik-pun bisa membuat kita mengenal kebudayaan di negara lain karena toh pasti penulisannya didasarkan atas kehidupan sehari-hari di sana kan! Looking forward to reading your next posting! God Bless!

Shena Re Kenihu mengatakan...

Shallom

Setelah membaca Sekilas Tentang Pemilik Blog, saya ingin bisa memiliki kegemaran membaca seperti ibu, tapi terus terang, saya ini orangnya cepat bosan, jadi saya memiliki beberapa buku yang kebanyakan belum tuntas saya baca, karena selain jenuh, saya pikir ada hal lain yang bisa saya kerjakan. Dan sekarang, saya menjadi ingin menuntaskan buku2 saya yang belum saya baca :D

Btw, tolong ijinkan saya untuk menjadikan blog ibu sebagai Link Referensi di Blog saya, dan jika ibu juga ingin mampir, silakan kunjungi blog saya :

gerejahidup.blogspot.com

Saya adalah suami dari seorang
pendeta GBKP yang anda kenal, dan
mungkin dekat dengan ibu :D

Bujur

Shena Re Kenihu
(Terpujilah Engkau Allahku)

Unknown mengatakan...

Syaloom,
Blog bagus, semoga semakin banyak Para Pdt GBKP yang mau berkontribusi membagi Pelayanan melalui Internet dengan Membuat Blog seperti ini, kalo boleh saran, Ibu Pdt. bisa sosialisasikan kepada Pdt lainnya..!!
Selamat Melayani..!!
Bujur...!!

www.infogbkp.com

Anonim mengatakan...

Mejuah juah Ibu Pdt

Saya salut dengan kedisplinan ibu dan kejujuran diri atas apa yang telah terlewatkan dalam hidup anda dan mungkin juga oleh banyak orang lain di belahan dunia ini.

Saya juga sangat terkejut dgn jmlh koleksi buku ibu.Saya juga penggemar buku walau tidak sebanyak ibu punya.Bagi saya buku adalah Rekreasi hidup saya.Seharusnya lah orang-orang percaya suka membaca buk (=Kitab),meminjam istilah teman-teman muslim:orang Kristen adalah orang yang Ber Kitab (Alkitab).

Selamat melayani ibu Pdt.

Regards
Yobta Tarigan/yobta.tarigan@tanindo.com

tiane mengatakan...

mejuah-juah
mrs, saya salut dengan kepribadian ibu. seorang pdt yang doyan dgn buku. saya berharap semua pdt menjadikan minat anda sebagai contoh. because seorang pdt khususnya harus gemar membaca supaya mampu berpikir secara rasional dan dengan membaca pdt memiliki perbendaharaan kata yang baca