Kamis, 12 Juni 2008

Inkulturasi atau kontekstualisasi

Inkulturasi atau kontekstualisasi



I. Inkulturasi.

Inkulturasi adalah tindakan untuk mengkulturasikan kembali (me-reconstruct) kebudayaan asli/pribumi atau lebih sering disebut indigenization. [i] Gerakan ini semarak dilakukan oleh Gereja-Gerejadi Asia, Afrika dan Amerika Latin (Selatan), sejalan dengan proses pencarian identitas diri nasional maupun lokal setelah beratus tahun dibawah penjajahan “Barat”. Penjajahan yang di dalamnya Mission (Zending) mengambil kesempatan untuk memperluas misinya, umumnya “membunuh” identitas lokal, tidak hanya dengan mengclaimnya sebagai sesuatu yang “kafir” tapi juga memakai faktor ini sebagi dasar politik Devide et Imperanya (Divide and Conquer).[ii]

2 Kontekstualisasi.

Untuk konteks Indonesia, pencarian identitas lokal tidak bisa tidak sejalan dengan pencarian identitas nasional. Karena jika tidak sejalan, maka identitas yang tercipta, apakah itu identitas lokal saja, atau nasional saja, tidak menghadirkan identitas yang utuh. Lokal adalah bagian dari Nasional. Tidak ada satu identitas lokalpun yang diangkat untuk menjadi identitas nasional. Sehingga yang harus dilakukan adalah bagaimana menempatkan identitas lokal dalam konteks identitas nasional.[iii]

Itulah yang mau kita lakukan, dan yang sedang dilakukan oleh banyak Gereja di negara-negara lain di benua Asia dan Afrika. Hal inilah yang disebut kontekstual. Identitas lokal kita adalah kekaroan kita, dan identitas Nasional adalah Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Identitas utuh ini akan berdampak bagi GBKP untuk me reconstruct identitasnya (ekkesiology dan tri-tugasnya).


3 Sejarah perkembangan inkulturasi dan kontekstualisasi.

Seperti diketahui bahwa gerakan ekumene sebelum perang dunia ke II hinga tahun 70-an masih sejalan sekali dengan gerekan kemerdekaan, fight for justice for every nation. Sehinga agenda mereka banyak terlibat dalam political practice (praxis), yang bagiannya di Dewan Gereja se-Dunia (DGD) adalah bagian Church and Society (Gereja dan Masyarakat). Cukup lama bahkan hingga kini, kami pikir, terjadi jarak yang cukup jauh antara bagian Faith and Order (Iman dan Peraturan) yang begitu Biblika dan Dogmatik oriented dengan Church and Society yang begitu konteks oriented (sosiologi, politik dan ekonomi).

Tetapi kemudian setelah makin banyaknya gereja-Gerejadi Asia dan Afrika yang, setelah semakin banyaknya Negara-Negara di kedua benua ini merdeka, terlibat aktif dalam program DGD, maka peran konteks yang berorientasi praktis mewarnai program dan juga konsep-konsep teologia di DGD. Nama-nama seperti: M.M Thomas, D.T Niles, Koyama, CS Song, Mbiti dll mengedepankan bahwa konteks adalah bagian dari identitas. Pernyataan ini pertama diproklamasikan di pertemuan pertama East Asia Christian Conference (yang kemudian menjadi CCA, Christian Conference of Asia/ Dewan Gereja Asia) pada tahun 1949:

…”Pesan kekristenan akan semakin menantang jika dihadirkan dalam hubungan yang dekat dengan kebutuhan khusus manusia pada tempat dan waktu nya (konteksnya), dan juga ia mengadopsi dan menggunakan beberapa nilai-nilai kebudayaan di tempat tsb.”[iv]

Penekanan yang sama ditekankan kembali dalam sidangnya tahun 1959 di Kuala Lumpur dan akhirnya pada tahun 1964. The East Asia Christian Conference mendeklarasikan dengan tegas bahwa:

Orang Kristen Asia harus hidup lebih nyata dalam kebudayaan masyarakatnya. Hal ini mungkin saja akan mengakibatkan kita harus meninggalkan banyak yang kita sudah sangat pahami atau kebiasaan kita, seperti tindakan pengosongan diri yang adalah kegiatan yang menyakitkan dan bahaya. Hanya inilah cara yang harus dilakukan sehingga roh akan menunjukkan bagaimana iman harus dinyatakan ulang dalam idiom-idiom dari kebudayaan pribumi, dalam bentuk bentuk kehidupan komunitas dimana iman menjadi bersinar, dan di dalam tindakan tindakan yang relevan untuk kebutuhan kebutuhan masyarakat pada zamannya.”[v]

Semangat ini juga dimiliki oleh gereja-Gereja Afrika yang mendeklarasikan keinginan ini dengan lebih hati-hati pada tahun 1963 di Kampala di Africa Conference of Churches:

…”Gereja-gereja harus mempelajari kepercayaan-kepercayaan tradisional Afrika. Kebudayaan Afrika tradisional tidak semuanya jelek, tapi juga tidak semuanya bagus. Sebagaimana di semua kebudayaan,ada selalu faktor yang positif yang menyatukan kesemua kebudayaannya, dan ada juga faktor yang jelek yang melecehkan kemanusiaan.Gereja-gereja seharusnya terlibat dalam dialog yang serius antara pandangan dunia yang tradisional dan kesinambungan pernyatan Kristus Yesus melalui Alkitab.”[vi]


Jika melihat kedua statements di atas, nampak sekali bahwa Gereja-Gereja di Asia jauh lebih demanding di dalam reclaiming their own identities. Lepas dari apakah ini dampak dari karismatik Sukarno, Nehru dan Naser dll, dan Konperensi Asia Afrika (KAA), yang jelas kami tahu bahwa semangat dan jiwa Sukarno sangat mempengaruhi teolog Asia saat itu.

Seperti laporan Van der Bent dalam bukunya bahwa semangat ini ditampung dan dikembangkan di Church and Society division dalam pertemuan New Delhi, 1961 dimana kombinasi dari religion, nationalism dan secular ideologies didiskusikan. Tapi hal ini tidak digodok di bagian Faith and Order secara serius, walau sejak tahun 1971 di Louvain, seksi V menangani thema The Unity of the Church and the Differences in Culture. Akibatnya, perjalanan kedua bagian ini timpang sekali. Dan hal ini nampak di dalam kegamangan Gereja-Gereja di Asia dan Afrika di dalam merevisi konsep teologisnya, seperti konsep Gereja, Trinitas yang seharusnya nampak dalam konfesi mereka)[vii] yang seharusnya sebagai landasan perubahan yang mereka wujudkan dalam konsep misinya dalam program Diakonia, dan juga kegamangan Gereja-gereja di “Barat” (khususnya Eropah dan Orthodox) untuk masuk dalam praxis tapi sibuk dengan Konfesi, Doktrin dan Tradisi.

Sehingga tidak heran jika URM (Urban Rural Mission yang sebagian dari job decsriptionnya adalah Parpem yang GBKP miliki) berkembang tak terkendali hinga mengakibatkan munculnya kritikan bahwa Gereja sudah menjadi seperti NGO atau LSM, dan manusia dianggap sebagai agen perubahan.

Perhatian (concern) akan kebudayaan yang lain (other cultures) bergerak ke-perhatian ke agama/iman yang lain (other faiths). Hal in dinyatakan dalam pertemuan komite pusat (central committee) DGD tahun 1971, ketika diadopsi dialogue dengan orang dari iman yang lain (other faiths).


4 Inkulturasi adalah proses yang tiada henti


Mengakui keberadaan budaya lokal yang mempunyai kekuatan untuk merevisi ajaran dan arah gereja, serta keterbukaan di dalam mengakui keberadaan iman di luar iman kekristenan, sangat mengkawatirkan Gereja-gereja dari kalangan Ortodox dan Evangelical,[viii] karena mengancam peran sola scriptura (Apalagi pernyataan keabsolutan Alkitab sebagai firman Allah)[ix] dan doktrin kristologi dan soteriologi..

Richard Niebuhr dengan bukunya Christ and Culture dari kelima pendekatan yang dikemukakannya tetap menempatkan Kristus di atas kebudayaan. Wajar saja, karena di zamannya adalah masa keemasan Karl Barth dan Hendrik Kraemer.
Sedang gerakan Evangelical walau mendukung proses kontekstualisasi tapi untuk tujuannya sendiri yaitu digunakan sebagai jalan masuk (metodologi) Kristenisasi. Tapi kini, dimasa post-kolonial, Christ and culture, keduanya duduk sama rendah berdiri sama tinggi, keduanya saling mempengaruhi dan melengkapi, equally, bergantung pada kepentingan konteks.[x] Inilah metode hibriditas, yaitu percampuran berbagai elemen cultural yang berbeda sehingga tercipta makna dan identitas identitas baru. Hibrida mengguncang stabilitas dan mengaburkan batas-batas cultural yang mapan lewat proses pengabungan atau kreolisasi.

Kreolisasi menekankan bahasa sebagi praktik budaya dan penemuan langgam ekspresi baru yang khas bagi dirinya sendiri.

Pendekatan hibriditas ini memudahkan kita untuk hidup di dalam konteks Pancasila yang memberi tempat pada segala sesuatu dan semboyan kita Bhineka Tunggal Ika. Dan tujuan kita melakukan inkulturasi bukan untuk kristenisasi tapi untuk pencapaian untuk menjadi diri kita sendiri.[xi] Bagaimana melakukannya? Tidak gampang. Huub yang meneliti upaya inkulturasi Gereja Katolik di Indonesia menuliskan:

…“khususnya refleksi teologis tentang kaitan antara injil dan inkulturasi, hal ini memang disebut “salib” para misiolog dan missionaries.“ (392).

…“hubungan antara injil dan kebudayaan serta pengaruh timbal balik antara keduanya itu adalah perkara yang sukar dan masalah yang abadi.“ (430).

5 Faktor-faktor yang penting dalam Inkulturasi dan kontekstualisasi

Po ho huang menuliskan dalam bukunya From Galilee to Tainan

…”sayangnya, gereja-gereja di Asia dan teologianya kekurangan bentuk bentuk pemikiran yang berhubungan dengan tradisi dan realita realita zaman sebelum penjajahan. Semua bentuk pemikiran itu telah dikondisikan oleh model pengkristenan yang ditanamkan oleh para missioner. Maka---dekontekstualisasi dari artikulasi teologia yang ada kini adalah kondisi awal untuk menempatkan bahasa yang baru dalam upaya untuk mencari prioritas prioritas dan pernyatan-pernyataan yang kontekstual--- tugas kita adalah bukan untuk meng-adaptasi kan injil ke kebudayaan kebudayaan dan bahasa bahasa di Asia tapi untuk mengkonsepkan kembali dasar doktrin dari iman Kristen dalam terang konteks kehidupan Asia.”.[xii] Dan inilah yang kita lakukan dimulai dengan merumuskan Konfesi GBKP yang telah disahkan di sidang sinode 2005.

Dalam hal ini
…. Identity shaping requires critical understanding of both Gospel and one’s own culture. This process of mutual criticism and enrichment can be called the process of contextualization. This means that the relationship between gospel and diverse culture is not static but dynamic.”[xiii] (..”pembentukan/pencarian identitas memerlukan pengertian/cara pandang yang kritis akan Injil dan kebudayaan kita. Proses dari mutual kritik dan yang saling memperkaya ini disebut sebagai proses kontekstualisasi. Ini berarti bahwa hubungan antara injil dan kepelbagaian kebudayaan adalah tidak statis tapi dinamis.”)

Soosai Arokiasamy, S.J. dalam artikelnya Development of Theological Language in the Context of Encounter With Cultures and Religions,[xiv] mengajukan solusi dalam bagaimana memformulasikan bahasa teologia kontekstual yaitu,

Bahasa teologia (theological language) berkembang dan terbentuk dari pertemuan yang berkelanjutan dan dialog dengan kebudayaan dan agama-agama rakyat secara lokal dan nasional berdasarkan kehidupan dan pergumulan rakyat.
Realita kebudayaan dan agama-agama serta sejarah dan pergumulan rakyat adalah sumber untuk pembentukan teologia dan bahasa teologi
sehingga kekayaan keberagaman idiom bahasa dari bahasa teologia kita diwujudkan dan menyatu dalam symbol, seni, pengalaman astetik, mitos, cerita-cerita rakyat, peribahasa, perayaan-perayaan, peristiwa-peristiwa sejarah.

Berdasarkan pemaparan Soosai ini maka formulasi teologia kontekstual tidak akan bisa diwujudkan, jika kita tidak masuk dalam kegiatan kebudayaan lokal dan peristiwa sosial, ekonomi dan politik, lokal dan nasional.



Pdt. Minda Perangin-angin, PhD.








[i] GerejaKatolik bertitik tolak dari lampu hijau konsili Vatican II cenderung menggunakan istilah inkulturasi/indigenization, Lihat Franz Magnis Suseno, Beriman Dalam Masyarakat: Butir-Butir Teologia Kontekstual, 193-206, Yogyakarta: Kanisius, 1993; Hub J.W.M. Boelaars, Indonesianisasi; dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 2005, 390-3. lihat juga Anicetus B. Sinaga, Dendang Bakti: Inkulturasi Teologia Dalam Budaya Batak, Medan: Media perintis, 2004. Perdebatan antara gerakan Evangelikal dan Ekumene di David J. Hesselgrave dan Edward Rommen dalam Kontekstualisasi: Makna, Metode dan Model, (terjm), Jakarta: BPK, 1996, 47-55).

[ii] .“Pembunuhan” ini dilakukan dengan sengaja, karena tidak hanya penjajah tapi juga zending sangat sadar akan arti dari kekuatan identitas lokal. Di dalam identitas lokal itu adat/budaya menyatu dengan religi. Pola tindak dan pikir didasarkan oleh pola belief (kepercayaan). Jelas hal ini bisa terjadi jika ketiganya diangkat dari dan untuk situasi lokal. Kalaupun ada unsur dari luar kelokalan yang bisa menjadi bagian dari lokal hal ini disebabkan oleh faktor waktu, metode atau power (kuasa?) seperti yang nampak atas pengaruh Hinduisme dalam kepercayaan lokal Batak (Toba,Karo dll). Sehingga ketika penjajah dan zending (tidak dapat disangkal bahwa ada mutual relationship antara penjajah dan missionaris/lembaga zending) “membunuh” identitas lokal, itu berarti membunuh kekuatan politik dan kepercayaan lokal yang jelas akan berdampak ke aspek ekonomi lokal. Mungkin para zending dulu melakukan ini secara tidak sadar. Dalam arti metode ini harus dilakukan berdasarkan ukuran kekuatan identitas lokal tadi. Kami pikir juga para zending tidak menyadari bahwa dampak dari apa yang mereka lakukan kini adalah menciptakan orang orang Kristen yang split personality. Lebih jauh lagi yang mungkin sama sekali tidak mereka sadari adalah bahwa dampak dari metode yang mereka gunakan dulu, berdampak kini pada pemisahan yang tajam antara konfesi dan etika. Pola tindak dan pola pikir tidak sesuai dengan pola ucap. Hal ini juga terjadi di jemaat Gereja-gereja di benua Afrika (lihat Eunice Karanja Kamaara, From Anthropocentricsm to Community Mission in Caring For God’s dan Jean-Blaise Kenmogne and Ka Mana, An African Experience on Ecology And Sustainable Development, yang disampaikan dalam Mission and Creation Conference, Geneva, 17-21 September 2006)




[iii] Hal ini pasti dilakukan oleh Negara yang penduduknya plural dalam arti terdiri dari banyak suku seperti Indonesia, Taiwan, Afrika, atau yang memiliki suku asli, seperti di amerika Latin, New Zealand. Sedang di Korea kesukuan sudah tidak diperbesarkan lagi, sehinga konteks teologia mereka jauh lebih bersifat fight for sosial justice.

[iv] .“that the Christian message may be made more challenging if it is presented in close relation to the special needs of the human situation in any given time, and also if it adopts and utilizes certain values in the traditional culture of each people.” Ans J. Van der Bent, Vital Ecumenical Concerns, Geneva: WCC, 1986, 1.

[v] …”The Christians of Asia must live more actually within the culture of their own peoples. This may involve the abandoning of much that is familiar- a kind of self-emptying which will be both painful and dangerous. But it is only so that the spirit will show how the faith may be restated in the idiom of the indigenous cultures, in forms of community life where the faith becomes luminous, and in actions relevant to the needs of contemporary society.” Lihat Van der Bent, 1.
[vi] …”The church should study traditional African beliefs. Traditional African culture was not all bad; neither was everything good. As in all cultures, there were positive faktors which hold the culture together; there were negative factors which degraded human personality. The churches should become involved in a serious dialogue between the traditional world view and the continuing revelation of Jesus Christ through the scriptures.” lihat, Van der Bent, 2.


[vii] Karena tidak ada konsep teologis yang absolute, maka perevisian memang wajib dilakukan. Mengenai The Truth kami mengutip pendapat Terry, ....“When we try to describe the truth about God, we can only go part-way in our descriptions. We can say that God is like a king, God is good and not evil,and God wants to help us. But we must admit that, in the end, there are some things about God we can not describe, because God (or the transcendent), by definition, lies outside the normal sphere of things that can be seen, heard, tasted, and felt. God eludes final description, Terry, How To Study Religion, 98. Dan mengenai perevisian itu baik juga jika disimak apa yang Julius katakan, …”Theology and religious reflection cannot but take these trends seriously, though (Christian) theology, at any rate, has generally been slow to respond to such changes. The reason for this is that Christian theology has been bound up with dominant power structures, such as colonialism and capitalism, for so long that even when some of these structures are dismantled the momentum of traditional Christian theologizing tends to continue. An example of this is Christianity’s still poor records in the area of interreligious and cross-cultural dialogue. Too many Christian theologians still tend to discourse in naïve supremacist and exclusivist terms, not only soteriology (e.g., by sticking to some unnuanced account of Jesus as saviour of the world),but also epistemologically (e.g., by maintaining some forms of exclusive cognitive access to God’s plan of salvation , or divine revelation) as well as methaphysically (through a form of theism that is grossly dualistic).” Lihat Julius Lipner dalam artikelnya, “Religion and Religious Thinking in the New Millennium,“ di Plurarity, Power and Mission. London: The Council for World Mission, 2000, 87-8.

[viii] Lihat David, Kontekstualisasi, 54.
[ix] Lihat Footnote # 7 di atas
[x] Bandingkan dengan pendapat Gerit Singgih, “Membangun Sebuah Teologia Budaya Pasca Niebuhr di Dalam Era Reformasi, 59-75,...“asal teologia itu membangkitkan solidaritas dan bela rasa (compassion) untuk menolong dan memberdayakan semua lapisan masyarakat, entah Kristen, bukan kristen, 75, Iman dan Politik Dalam Era Reformasi. Jakarta: BPK, 2000.Lihat juga Masalah-masalah di sekitar definisi kontekstualisasi, dalam Berteologia Dalam Konteks, Jakarta: BPK dan Kanisius, 2000, 17-33.
[xi] Pendapat Robert Bellah dikutip oleh Terry menyatakan bahwa waktu menghasilkan bertambahnya masyarakat dan institusi yang kompleks yang selalu memberikan kebebasan dan pilihan yang lebih besar ke perorangan, sehingga agama-agama sendiri harus berubah untuk menyikapi hal ini, lihat Terry Muck, How To Study Religion, Willmore: Wood Hill Books, 2005, 86. Lihat juga pendapat Julius Lipner dalam artikelnya, “Religion and Religious Thinking in the New Millennium,“ 86-8.
[xii] …”unfortunately, the Asian churches and its theology lack a thought form that corresponds to the pre-colonial traditions and realities. It has been conditioned by a Christendom model transplanted by missionaries. Thus---a decontextualization of the present theological articulation is a precondition for locating the new language seeking for contextual priorities and affirmations. ---the task is not to adapt the gospel to the Asian cultures and languages but to reconceptualize the basic tenets of the Christian faith in the light of the living context of Asia.” Lihat Po Ho Huang, From Galilee to Tainan: Atesea Occasional Paper no 15, hal.7.

[xiii] ibid, hal.16.
[xiv] Lihat Soosai Arokiasamy, S.J, Development of Theological Language in the Context of Encounter With Cultures and Religions yang dibacakan di CATS Hong kong 21-26 Agustus 2006.

Tidak ada komentar: