Kamis, 12 Juni 2008

GBKP dan Ekklesiology

GBKP dan Ekklesiology

Judul diatas adalah hendak menegaskan tentang GBKP dan konsepnya tentang gereja atau keberadaannya. Ekklesiology adalah ilmu (studies/knowledge about church) tentang gereja. Atau dengan kata lain, konsep gereja yang bagaimana yang seharusnya diterapkan oleh GBKP. Untuk mendapatkan jawabannya pertama adalah pemilihan dasar teologis alkitabiah yang tepat diperlukan. Apa maksudnya yang tepat? Maksudnya adalah karena konsep tentang gereja dalam alkitab, atau Perjanjian baru adalah beragam, maka kita harus memilih satu atau beberapa pengertian untuk digabung menjadi satu sebagai dasar pengertian GBKP akan dirinya. Jelas ketika memilih konsep yang tepat itu kita harus mendasarkannya pada Konteks dimana GBKP berada. Konteks dalam arti situasi kondisi warganya dari sudut social (termasuk psikologis), ekonomi dan politik.[i][ii] Karena keberagaman pengertian gereja juga dalam Perjanjian baru didasarkan karena perbedaan konteks (lihat paper J. Perangin angin). Perbedaan konteks disebabkan oleh dan menyebabkan perbedaan motifasi dan tujuan. Mengapa motifasi dan tujuan ditempatkan sebagai factor yang penting dalam pemilihan dasar teologis, karena keduanya membantu satu institusi atau organisasi untuk mencapai tujuan, yaitu menjawab sedikitnya, kebutuhan dasar anggotanya. Organisasi apapun atau persekutuan apapun atau perkumpulan apapun, jika diperhitungkan sudah tidak menjawab kebutuhan anggotanya, akan ditinggalkan oleh mereka. Hal ini tidak hanya berlaku kepada organisasi politik ataupun social, seperti serikat tolong menolong, merga silima atau Persatuan Ginting Mergana dll, tapi juga gereja.

Eka Darmaputra menuliskan,: “Gereja yang bertheologia adalah gereja yang dengan bersungguh-sunguh secaar terus menerus dan sadar menggumuli makna kehadirannya.”[iii]

Hal inilah yang menyebabkan GBKP sejak tahun 2003 melakukan seminar teologia ini yang bertujuan selain untuk memperkenalkan teologia dan strukturnya sebagai organisasi seperti yang ada kini - yang juga masih belum diketahui oleh banyak tidak hanya warga tapi juga pertua dan diakennya - tapi juga sekaligus untuk mencari bentuk yang “pas/cocok/tepat” untuk GBKP agar keberadaannya berdampak, sedikitnya bagi warganya.

Hampir semua gereja diseluruh dunia kini membicarakan ekklesiologynya. Jelas masih dalam kerangka tujuan yang sama seperti yang kita lakukan sejak tahun 2003. Tahun 2003, the Westphalian church di Jerman membicarakan ekklesiology mereka dengan melakukan pertemuan internasional mengundang semua partnernya di seluruh dunia untuk memberikan masukan kepada gereja itu. Thema pertemuan itu adalah church with the future. Penyatuan gereja-gereja dari berbagai denominasi di Belanda menjadi the Uniting Churches of the Netherlands juga dalam kerangka ini. Inilah bentuk yang pas menurut mereka. Walau penyatuan ini menurut saya lebih berdasarkan untuk mencapai keefisiensian gereja sebagai organisasi sehingga agak mengabaikan unsur teologis. Hal ini terpaksa dilakukan karena drastisnya turun minat orang Belanda menjadi anggota gereja. Penampakan seperti ini adalah umum di Eropah, Australia dan Newzealand, tapi tidak di Amerika, Afrika ataupun Asia. Cuma perlu disimak bahwa angka tetap pengunjung gereja di Amerika Utara dan Selatan, Afrika dan Asia terjadi bukan karena angka tetap pengunjung the mainline churches (GBKP/Presbyterian church; HKBP/Lutheran church; Methodist; Anglican church), tapi karena anggota the mainline churches pindah tidak ke agama lain, tapi ke gereja lain, yang umumnya adalah gereja yang muncul akibat perubahan yang cepat dari situasi ekonomi dan politik yang berdampak ke perubahan kondisi social. Di Amerika sendiri hal ini sudah dimulai sejak tahun 1960-an.[iv]

Banyaknya anggota GBKP yang “double citizenship” sudah menjamur dimana-mana, tidak hanya dari status anggota biasa tapi juga dari status pelayan (pejabat) gereja, seperti penatua (pertua). Hingga kini GBKP belum terlalu melakukan sesuatu tindakan yang signifikan dalam menghadapinya, apalagi memikirkan bagaimana masa depan keanggotaannya. Gereja dalam skala local (Runggun) masih menghadapi hal ini dengan pemecahan emergency gawat darurat, yaitu mengadakan ibadah alternative. Bagi saya ini hanya menjawab masalah dipermukaan saja (praktis), tapi tidak mencapai akar masalah. Akar masalah adalah kita, gbkp, sudah tidak menjawab kebutuhan mendasar warga kita. Kita tidak bisa juga hanya mengatakan bahwa adalah tidak benar warga datang ke gereja untuk memuaskan keinginannya. Menurut Calvin kita beribadah untuk memuliakan Allah. Yes, itu teologi bagi orang yang sudah dewasa dalam pertumbuhan iman, tapi bagi warga jemaat kita yang masih dalam stage diberi makanan lunak, bahkan ada yang masih hanya di stage minum susu murni, tuntutan atau jawaban seperti ini tidak menjawab persoalan. Kita selalu lupa bahwa tidak sampai bahkan lima persen dari anggota kita yang menjadi pengikut Kristus karena keputusan pribadi di dalam memilih either/or. Mayoritas anggota kita adalah hasil PI darurat dan yang menerima keanggotaan sebagai warisan atau yang ikut-ikut-an karena tetangga dan kade-kade. Selain ini factor globalisasi dimana manusia hidup dalam tekanan persaingan (gelar - mutu sekolah- skills/ketrampilan- penampilan/performance- koneksitas) dan banyaknya pilihan yang ditawarkan kepada kita yang datang dari global market yang bahkan telah mendikte taste (citra rasa) kita dalam semua hal yang memunculkan pola tindak konsumerisme yang adalah dari dan menuju hedonisme, membikin banyak warga yang sakit secara psikologis. Frustrasi, kawatir, tertekan, kesepian, kelelahan, kebosanan/jemu, merasa gagal, tidak berguna adalah kondisi psikologis mayoritas warga kini. Dan gereja tidak bisa membantu warga menangani hal ini. Bahkan tidak memberikan sedikitpun penghiburan baik di kebaktian minggu, atapun pjj. Malah warga semakin lelah dengan kebaktian dan pjj kita. Lalu untuk apa datang? Faktor malu dan kekaronan masih bisa dipakai sebagai pengikat kaki mereka untuk tinggal kini. Tapi nanti bagaimana? Apalagi factor itu tidak dimiliki oleh generasi muda yang juga banyak dalam kondisi sakit psikologis. Tidak heran pemuda kita dan juga pemuda di gereja lain, dalam jumlah yang cukup signifikan beribadah tidak di GBKP atau gereja orang tuanya, tapi di gereja-gereja hasil haleluyah movement. Sehingga menurut saya it is a time to find the solution! Dalam upaya finding the solution inilah maka kita bicara ekklesiology, karena tidak bisa dan tidaklah bijaksana jika solusi itu fragmentaris atau yang tidak ada korelasi antara solusi praktis dan dasar teologis kita akan gereja. Disamping itu yang juga harus kita lakukan kini adalah memusatkan konsentrasi kita lebih banyak kepada pelayanan (percakapan pastoral, perkunjungan rumah tangga, kegiatan/pelatihan ketrampilan, pembinaan warga gereja, perkunjungan orang sakit) dari pada urusan organisasi/lembaga ataupun membicarakan keuangan.[v] Teologi dan ministry haruslah interrelated yang muncul dari dan untuknya konteksnya, sehingga eksistensial.

Sejak tahun 2003 seminar teologia sudah menyatakan bahwa dalam mencari ekklesiologi GBKP maka kita harus mendasarkannya pada alkitab, tradisi (calvinisme) dan konteks (local-nasional-internasional). Dr. Binsar menyatakan bahwa HKBP mewarisi Uniert yang bisa diartikan sebagai neither Lutheran nor reformed, atau bisa juga diartikan sebagai both, Lutheran and Reformed, memilih bergantung konteks dan tujuan. Walau A. Ginting Suka Dps menyatakan bahwa dalam prakteknya HKBP lebih menampakkan warna Lutheran. Saya sendiri tidak kaget dengan statement Ginting Suka, karena persyaratan LWF adalah keseragaman konfesi anggotanya, yang berbeda dengan persyaratan WARC. WARC lebih menghargai unity in diversity yang bisa diartikan menghargai konteks. Statement HKBP sebagai yang adalah bukan gereja suku, cukup mengangetkan saya, HKBP adalah untuk semua (inklusif). Menurut saya untuk tiba dipengertian GBKP haruslah mencakup sebagai gereja yang berwawasan dan berorientasi keIndonesia saja kita masih dalam proses, itupun mendapat sangat banyak sekali tantangan dengan mengeraskan hati mengatakan bahwa namanya saja GBKP, Batak Karo, ya Gereja Karo. Dr Binsar mengatakan, HKBP namanya saja yang Batak, karena sejak tahun 2002 HKBP adalah gereja yang inclusive. Jadi Batak itu sudah obsolete. Buat GBKP saya pikir yang lebih tepat adalah GBKP yes, gereja Karo, tapi juga gereja yang bisa menjawab tantangan nasional dan internasional. Makanya kami katakan bahwa konteks kita bukan hanya local saja, tapi juga nasional dan internasional. Penggabungan ketiga konteks ditawarkan melihat penampakan yang muncul sekarang dan mengantisipasi keadaan yang akan datang. Hal ini dilakukan agar gereja tetap dan selalu berdampak.

Apakah kecalvinisan GBKP harus dipertahankan? Terserah pada anda! Karena keputusan diambil di sidang sinode oleh perwakilan dari tiap runggun. Walau yang memikirkan ini haruslah moderamen yang membahasnya di konven, karena ini adalah percakapan teologis yang harus dianalisa secara cermat dengan analisa social, politik, budaya dan ekonomi. Cuma, saya hanya mau mengatakan bahwa ajaran calvin selalu berkembang dan tidak pernah berhenti pada satu zaman dan menjadikannya sebagai yang absolute. Makanya saya katakan di atas bahwa tidaklah diperlukan kesatuan konfesi untuk menjadi anggota warc. Malah Ginting suka sudah mengajak kita untuk mengkaji apakah kita masih mau mempertahankan bentuk kita yang presbyterial sinodal? Saya sudah sejak tahun lalu mengingatkan khususnya kepada para pendeta bahwa melihat realita yang ada, ada kemungkinan GBKP menuju kearah congregational. Hal ini akan mewujud jika para pendeta, aparat klasis dan moderamen tidak berfungsi seperti seharusnya. Sudah waktunya, Para pendeta harus tidak hanya mampu melayani tapi juga mempunyai pengetahuan dan skills dan jabatan klasis dan moderamen tidak lagi jabatan politis tapi keahlian dan professional. Apalagi dengan struktur dan job description yang ada. Kenapa ini menjadi pertimbangan prioritas pertama, karena warga jemaat kita, baik warga biasa maupun para pertua dan diaken sudah banyak yang memiliki pengetahun teologi yang dulu masih menjadi kemampuan monopoli para pendeta. Jika anggota jemaat seorang ahli hukum, mempunyai beberapa ketrampilan, lalu tahu teologi, dimana lagi pendeta difungsikan, apalagi pendetanya hanya mampu berteologi dan itupun teologi sampai di level-sarjana-lokal.

Dari kepelbagaian pendapat tentang apa itu gereja seperti People of God[vi]; Body of Christ[vii]; Temple of the holy spirit[viii] dan pandangan gereja sebagai koinonia/community[ix], GBKP berpikir bahwa pandangannya tentang gereja adalah seeprti yang tertulis dalam konfesi GBKP yang disahkan di sidang sinode 2005 (lihat paper S. Tarigan):


a. Gereja adalah persekutuan manusia baru yang harus terus menerus diperbarui oleh Roh Kudus, agar mampu dan bertahan menjadi garam dan terang di konteks dimana ia berada. Sehingga gereja haruslah menyaksikan pola hidup Yesus, agar Kerajaan Allah terwujud di dunia ini. Inilah arti gereja sebagai tubuh Kristus dan Kristus sebagai kepalanya. (Mat. 5:13-16; Ef. 4:12-16)
b. Gereja tidak mengadopsi nilai-nilai dunia, tapi memproklamasikan nilai-nilai Allah yang nampak dari kehidupan Yesus yaitu cinta kasih, keberpihakan pada yang miskin, tidak berdaya, dan yang tersingkirkan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan (diakonia). Inilah panggilan gereja, menyelematkan dunia; mengubah dan mentransformasinya.
c. Gereja harus mampu melakukan dialog dengan pemerintahan dimana ia berada.
d. Semua anggota persekutuan yang adalah manusia baru berperan dan mendapat bagian dalam kesaksian (marturia), persekutuan (koinonia) dan pelayanan (diakonia) gereja, sebagai wujud dari jemaat yang missioner dibawah koordinasi dan arahan dari para pelayan khusus: pendeta, penetua dan diaken.

Itu mengartikan bahwa:

- manusia baru berarti orang yang telah dipanggil keluar (ek-kalio) jadi tidak boleh menjadi sama dengan dunia.
- Terus menerus diperbaharui berarti walaupun anggotanya adalah manusia baru yang seharusnya hidup dalam roh tapi pengampunan dan pertobatan dan hidup baru terus berlangsung dalam persekutuan ini (lihat Institutio 192: ”jadi pengampunan dosa bagi kita merupakan langkah masuk yang pertama ke dalam gereja dan kerajaan Allah. Karena kalau itu tidak ada, kita tidak mempunyai perjanjian atau persekutuan dengan Allah. Tetapi dengan pengampunan dosa itu Allah tidak hanya menerima kita di dalam gerejaNya dan memasukkan kita ke dalamnya, tetapi melaui pengampunan itu juga, kita dipelihara Nya dan dilindungiNya di dalamnya.”
- Diperbarui oleh roh kudus berarti manusia dengan dirinya semata tidak mampu bertahan tinggal di dalam ketaatan pada Tuhan
- Agar mampu dan bertahan menjadi garam dan terang, menjadi saksi adalah suatu proses yang pasti menuju kekesempurnaan (atas bantuan Roh kudus)
- Di konteks dimana ia berada, tidak memisahkan antara dunia gereja, dunia rumah tangga, pergaulan dan kerja
- Gereja harus menyaksikan pola hidup Yesus: berpihak pada orang-orang yang tersingkirkan (Singgih menuliskan ini sebagai ekklesiologi asia-pasific yang harus memperhatikan rakyat, perempuan, pemuda dan anaka-anak, serta orang miskin)- hal ini berkaitan dengan poin b tentang gereja—nampak dalam kehidupan Yesus---
- Agar kerajaan allah terwujud di dalam dunia ini- melalui sikap gereja yang berpihak pada yang tersingkirkan kita mejalankan koinonia, marturia dan diakonia kita-
- Gereja adalah tubuh kristus dan kristus adalah kepalanya, supaya gereja mengingat bahwa arah dan kesianmbungannya bukan bergantung dari siapa dan system/lembaganya, tapi kristus sendiri; gereja tubuh kristus berkonsekwensi bagaimana kita menjaganya agar tidak tercemar dengan nilai keduniawian dan mempertahankan kekudusan (lihat poin b).
- Gereja tidak di atas ataupun dibawah pemerintah, sehingga hubungan dengan pemerintah dilakukan dalam bentuk dialog. Sebagai tubuh dan milik kristus gereja harus menjadi moral support dan konsultan, penasehat, mengarahkan, jika pemerintah tidak mengindahkan hak-hak warga Negara dan ciptaan lainnya. Walaupun gereja bukan dari dunia tapi gereja harus mengetahui system keduniawian untu mampu melakukan dialog dengan pemerintah
- Poin d- mengartikan bahwa semua warga yang adalah manusia baru harus berperan dalam melaksanakan marturia, diakonia dan koinonia. Peran kita beragntung dari kemampuan dan talenta kita. tidak ada talenta dan kemampuan yang satu lebih penting, atau lebih tinggi dari yang lain, semuanya dihargai sama, saling melengkapi. Kesemua talenta ini yang disalurkan melalui jalur diakonia, marturia dan koinonia diarhkan oleh para presbiter yaitu pendeta, pertua dan diaken.



[i]
[ii] Menurut Paul Tillich theologia bergerak antara dua kutub yaitu, “the eternal truth of its foundation, and the temporal situation in which the eternal truth must be received.” Dan ia menerangkan tentang the temporal situation sebagai, “the creative interpretation of existence, an interpretation which is carried on in every period of history under all kinds of psychological and sociological conditions.” Systematic Theology I, 3, 4.
[iii] Lihat “Pergumulan dan Pembaharuan Theologia di Indonesia” dalam Tabah Melangkah, 115.
[iv] Kelley menuliskan, “In the latter years of the 1960’s something remarkable happened in the united States: for the first time in the nation’s history most of the major church groups stopped growing and began to shink. Though not one of the most dramatic developments of thos years, it may prove to be one of the most significant, especially for students of man’s social behavior. Certainly those concerned with religion, either as adherents or observes, have wondered what it means and what it portends for the future. At least ten of the largest Christian denominations in the country, whose membership totaled 77, 666,223 in 1967, had fewer members the next year and fewer yet the year after. Most of these denominations had been growing uninterruptly since colonial times. In the previous decade they had grown more slowly, some failing to keep pace with the the increase in the nation’s population. And now they have begun to diminish, reversing a trend of two centuries.” Dean M. Kelley, Why Consevative Churces Are Growing. New York: harper and Row, 1972,1.
[v] Bandingkan dengan pendapat Singgih yang melihat kegagalan gereja dalam melakukan koinonia, diakonia dan marturia karena gereja tidak peka lagi pada hal-hal kemanusiaan. Jelas ini terjadi karena menipisnya rasa kasih terhadap sesama dan berdampak pada tidak mampu melihat masalah “rakyat,” Gerrit Singgih, Berteologia Dalam Konteks, Jakartadan Yogja: BPK dan Kanisius, 2000, 198-233.
[vi] Lihat Yer 31:33; Yeh 37:27;
echoed didalam 2 Kor 6:16; Ibr 8:10) Gal 6:16; Rm 11:11-36; Ef 2:14; 1 Ptr 2:9-10; Ibr 9:15; Ibr 4:9-11

[vii] Lihat Ef 2:13-14; Ef 2:16; Ef 1:23; Ef 5:26; Rm 12:5; 1 Kor 12:12; 1 kor 12:3-13; 1 Kor 10:16; 1 Kor 12:4; 7-11; Rm 12:4-8; 1 Kor 12:4-30)

[viii] Lihat Kis 2:1-4; Rm. 8:22-23; Wahyu. 21:1; Ef 2:21-22; 1 Ptr 2:5; Kis 1:8; Ef 4:1-3

[ix] Lihat Kej 1-2; Kel 19:4-6; Hos 2:18-23; Kej 3-4; Rm 1:18-3:20; wahyu 21; 1 kor 10:16; Gal 2:9; Rm 15:26; 2 kor 8:3-4; Kis 2:42-45; 1 Yoh 1:3. Juga dituliskan bahwa The biblical images already treated, as well as others such as “the flock” (Jn 10:16), “the vine” (Is 5; Jn 15), “the bride” of Christ (Rev 21:2; Eph 5:25-32), “God’s house” (Heb 3:1-6), “a new covenant” (Heb 8:8-13) and “the holy city, the new Jerusalem” (Rev 21:2), evoke the nature and quality of the relationship of God’s people to God, to one another and to the created order. The term koinonia expresses the reality to which these images refer.

Pdt. Mindawati Perangin angin

Tidak ada komentar: