Sabtu, 26 Desember 2009

Wawancara Harian Perjuangan Dengan Pdt Minda Perangin angin Di saat Sidang Raya PGI

Wawancara Harian Perjuangan Kepada Kami Menjelang dan Sesudah Sidang Raya PGI di Mamasa November 2009. Inilah transkrip yang mereka kirimkan kepada kami dan kami muat dalam Blog kami,



KONSENTRASI KE GBKP BUKAN PGI

Pendeta Mindawati, itu nama yang dikenal di lingkungan rohaniwan Indonesia khususnya GBKP. Namun di Mancanegara ia dikenali sebagai Revd. Mindawati Perangin-angin PhD
Chairperson of Human Resources Development, Personnel, and Ecumenical Relation of The Karo Batak Protestant Church.Di sela - sela kesibukannya, ia menerima wawancara wartawan HU Perjuangan Drs Jenda Bangun dengan multitema pembicaraan yang dikemas dalam dua edisi penerbitan.
Inilah petikan wawancara pertama.

JB : Apa kabar dan apa kesibukan yang sangat mendesak sekarang ?

MP :Baik-baik saja, Terima kasih. Kesibukan yang sangat mendesak sekarang bagaimanapun menyelesaikan semua tugas menjelang sidang Sinode 2010. Karena mandat penugasan kan lima tahun. Namun disamping itu toch kesibukan lainnya sebagai seorang yang bekecimpung juga dalam konteks nasional dan internasional tidak bisa diabaikan. Juga kesibukan lokal di GBKP dan kesibukan sebagai seorang pendeta, khususnya di saat bulan Natal, Desember ini. Cuma bagaimanapun sibuknya toch kita kan harus mampu me”manage” tidak saja antara prioritas kerja tapi juga antara kerja dan keluarga. Semisal, ini kami baru pulang dari Sidang Raya PGI, di Mamasa. Selesai tanggal 24, lalu bermobil ke Makasar lebih kurang 11 jam, tiba di Makasar sudah lewat tengah malam dan itu sudah tanggal 25. Dan harus tiba di airport Makasar jam 5 pagi, karena ambil flight pertama ke Jakarta, karena ada pekerjaan siangnya tanggal 25 di Medan. Lalu tanggal 27 harus terbang lagi ke Batam untuk beberapa hari ceramah di semua GBKP di Batam. Dalam hal ini kita juga harus mampu menyediakan waktu buat diri kita sendiri agar kesehatan fisik dan mental terjamin. Biasanya ini yang terabaikan, dikorbankan sebagai prioritas terakhir. Kami dalam proses belajar untuk memberikan porsi ini sejajar dengan porsi lainnya.

JB :Kami mendengar Anda disebut – sebut sebagai salah satu kandidat kepengurusan PGI Pusat, apa benar ?

MP : Wah pertanyaan keduanya kok terlalu to the point ya? mbok pakai intro dulu, selain menanyakan apa kabar, kan enak juga jika ada dulu pertanyaan lainnya, sebelum masuk kedalam topik ini, ha-ha-. Kami senang anda bertanya tentang hal ini, walau terus terang kami “kaget” juga disodok dengan pertanyaan ini. Kalian wartawan-wartawan kupingnya ada dimana-mana ya.

Ceritanya begini. Sejak setahun yang lalu sebenarnya sudah didengungkan para perempuan agar Sekum PGI periode 2009-14 haruslah perempuan. Walaupun dalam pemilihan Sekum periode 2004, GBKP sudah mulai mau masuk ke ajang pemilihan Sekum. Cuma waktu itu kandidat dari Sumut cukup banyak, antara lain Dr. Langsung Sitorus, Dr Einar Sitompul dan Dr. Richard Daulay. Karena kita yang paling muda diantara kandidat, maka dimintalah kita mundur. Pdt N. Keliat yang waktu itu Sekum GBKP yang mewakili menjadi team nominasi, mainnya manis dan bijaksana, GBKP mundur, apalagi Dr Daulay mengatakan tidak boleh calon Sekum yang belum 45 tahun, walau itu bau canda, tapi kami sangat menghargai kandidat yang maju saat itu.

Pemilihan tahun ini agak lain, dalam arti setahun sebelumnya kita sudah mulai didekati para perempuan untuk mau jadi Sekum PGI. Namun kami tidak pernah memberikan jawaban yang pasti, karena panggilan tugas di GBKP dan berpikir ada senior perempuan yang lebih berhak yaitu Pdt Ery Lebang dari Toraja.

Kami secara pribadi berpikir sangat serius akan peran perempuan di PGI, mengingat dampak dari tampilan perempuan yang pernah menjadi Sekjen Dewan Gereja Nasional di Negara-negara lain. Dan kesadaran kami bahwa perempuan mempunyai caranya sendiri dalam memimpin, yang dengan manis dinyatakan oleh Pdt Karel Erari dari GKI-Papua dalam diskusi kelompok di Penelahan Alkitab di kebaktian pagi tanggal 21 November di Sidang Raya di Mamasa kemaren, “sebagai ciptaan yang terakhir, she must be better than the previous creation, that was Adam.”
Walau waktu mendengar statementnya tentang perempuan yang memang banyak diutarakannya - yang kami pikir disimak oleh ketua umum GBKP, Pdt J, Peranginangin sebagai anggota kelompok diskusi- kami tertawa, karena mengingatkan kami akan advisor (pembimbing studi) kami di Amerika, Prof. Phyllis Trible yang merupakan perempuan kedua menjadi Presiden Biblis (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) sedunia setelah Prof. Elisabeth Fiorenza yang juga adalah sahabat baik kami, yang pernah mengutarakan hal ini dalam bukunya yang sangat popular Text of Terror. .

Pandangan kami tentang perempuan pernah kami tuliskan untuk hari ulang tahun Dewan Gereja Asia 50 tahun. Jadi kami hingga saat ini, ketika kami menjawab pertanyaan-pertanyaan anda, walau Sidang Raya PGI sudah selesai, dan memilih lelaki, kami masih tetap menganggap perlunya perempuan yang mampu, trampil dan tegas disitu. Ketika kami men-sms beberapa orang peserta PGI di Sidang Raya kemaren tentang hal ini, mereka bertanya, “apa ibu Minda mau disitu, jika ya datanglah cepat kesini,” kami men-sms bukan berarti kami yang mau disitu, kan banyak perempuan lain, dan kami tidak bisa hadir di Sidang Raya secara penuh, karena Sidang Raya ini took more than a week , mana perjalanan saja menghabiskan waktu bisa 3-4 hari dan di masa kami harus konsentrasi menyelesaikan Crash Program. Berdasarkan ini kami pikir kami harus dengan bijaksana menyikapinya.

Beberapa kali dalam pertemuan di Jakarta sejak tahun lalu hal ini disampaikan ke kami. Kami mengatakan bahwa konsentrasi kami ke GBKP bukan ke PGI, apalagi setelah kami diskusi dengan intens dengan mantan ketua Moderamen GBKP Pdt Em. A Ginting Suka. Dalam Konven Pendeta se GBKP di Sukamakmur ketika Pdt Erik Barus bertanya langsung apakah kami mau dicalonkan jadi Sekum, kami bilang tidak. Pdt Erik Barus saat itu juga mengatakan dirinya tidak mau maju, cuma menjelang Sidang Raya dia mengambil keputusan untuk maju jadi calon Sekum.

Kami diundang makan oleh beberapa orang di Medan, di SMS- in beberapa orang, termasuk Pdt GBKP untuk mendukung pencalonannya, kami terima dan mengatakan ya. Yang paling terkahir men-sms kami tentang pencalonan ini adalah Dr SAE Nababan, ketika kami mendiskusikan tentang keberangkatan ke Sidang Raya, karena sms Dr Yewangoe haruslah kami hadir di tgl 16-24 yang kami pikir tidak mungkin. Mahasiswa Crash Program harus dibimbing masuk dalam proposal penulisan tesis, yang jika tidak dilakukan akan berdampak banyak pada pergeseran jadwal mereka, yang tidak mungkin lagi dilakukan. Karena semua Moderamen ke Manado, maka kami harus menangani keduabelas siswa sendiri. Inilah kami prioritas untuk diselesaikan, apalagi mengingat Ketum dan Sekum GBKP sudah ada di sidang dari awal, dan kami berpikir pekerjaan di Sidang Raya baru mulai sibuk biasanya di hari terakhir ketika masuk kelompok dan seksi, dan kami tahu kami selalu dapat tugas jika tidak sebagai ketua kelompok pasti sekretaris kelompok, dan dugaan kami betul. Kami dipilih sebagai sekretaris seksi Dokumen Keesaan Gereja (DKG, kali ini khusus dokumen PBTPB) jadi hari-hari kami selama disana disii dengan kerja.

Kembai kita ke cerita sms Nababan. Mulanya kami katakan kami datang tanggal 17 tapi pulang tanggal 22, karena tanggal 23 kami harus mimpin kursus, lalu Nababan mengatakan, wah kalau mau jadi calon anggota MPH harus hadir sampai selesai. Lalu kami katakan:
a/ tidak bisa kami menghabiskan waktu di Sidang Raya selama 11 hari, karena selain Crash Program harus ditangani, ada juga kursus yang harus dilakukan.
b/. calon ke MPH PGI yang diprioritaskan adalah Pdt Erik Barus yang mau jadi full timer PGI di Sekum dan Pdt Rosmalia Barus yang juga mau jadi full timer di Wasekum. Lalu kalau ada yang part timer itu boleh kami, karena sejak dulu GBKP selalu berperan di gerakan ekumene, yang jelas kami tidak mau dan tidak boleh sebagai full timer di PGI.
Makanya nama yang GBKP berikan adalah tiga (3). Pemberian nama dari GBKP dalam jumlah 3 pun banyak sekali membingungkan orang. Yang kami sendiri tidak bingung, karena memang tidak konsentrasi kesitu. Walau belum diputuskan di sidang Moderamen akan ke-3 nama itu, namun sudah dipercakapkan di Konven pendeta, atas saran Erik yang mengatakannya ke Pdt Panji, Simon dan kami: “masukkan saja 3 nama dari GBKP yaitu Pdt Erik, Rosmalia dan Minda.
Latar-belakang pemikiran waktu itu adalah hanya Rosmalia yang mau jadi fulltimer Wasekum PGI, sedang Erik dan kami mengatakan tidak mau. Memajukan nama 3 hanya sekedar berjaga-jaga saja, dengan pikirannya sedikitnya GBKP bisa mendapat jatah part timer, yaitu salah satu Ketua di jajaran MPH.

Rupanya perkiraan Pdt Erik salah, kalau kami sendiri tidak memperkirakan apapun sebelumnya namun memberikan hak mutlak penuh ke Panitia Nominasi. Kenapa kami bilang perkiraan Pdt Erik salah, karena gereja lain menanggapi tiga nama dari GBKP dengan bingung, “kok ada 3 nama?” Sehingga saya katakana ketika orang menginginkan penegasan, jika harus memfokuskan ke satu nama, fokuskanlah ke Pdt Erik Barus, jadi sekum PGI.
Ini kami katakana baik lisan, telepon maupun sms. Namun ketika kami tiba di Sidang Raya, banyak yang datang bertanya, “ibu minda kok mundur dari pencalonan?” Kami bingung kok ada kata mundur dan pencalonan apa? “Tidak ada GBKP yang mundur, kami bilang. Pdt Erik maju ke Sekum ini prioritas pertama. Jika terjadi sesuatu, Pdt Rosmalia Barus prioritas kedua, karena dia juga mau jadi full timer Wasekum PGI. Kami hanya part timer, jika memungkin saja, dari pada GBKP tidak duduk dimana-mana.
“Wah susah itu” kata mereka, “jika Gereja sudah mencalonkan satu nama untuk Sekum, kursi lainnya tidak lagi.” “Ya tidak apa apa.”, kami bilang, yang jelas GBKP fokus ke Pdt Erik jadi Sekum.” Inilah sebenarnya keadaannya. Jadi jika Pdt Erik pun tidak terpilih jadi Sekum PGI dan GBKP tidak mendapat kursi apapun dalam periode 2009-2014, ada ceritanya sendiri.

JB : Lalu , Anda memilih mengabdi terus di GBKP ?

MP :Setelah mendengar penjelasan di atas anda sudah tahu jawabannya bukan?

JB : Atau ada yang belum terselesaikan sepanjang periode tugas di bidang SDM GBKP ?

MP : Bukan hanya karena ada yang belum terselesaikan dalam masa tugas kami hingga tahun 2010 maka kami mengambil keputusan untuk tinggal di GBKP, tapi dari awal sudah kami katakan bahwa kami pulang dari Amerika untuk kembali ke GBKP bukan PGI. PGI adalah bagian dari hidup kita bernegara dan berbangsa yang bisa dilakukan juga di GBKP.
Inilah kerinduan kami dari dulu agar GBKP mampu berperan dan berindentitas lokal, nasional dan internasional. Kalau dibuka tulisan dan ceramah-ceramah kami sejak kami mulai bekerja di GBKP siapa yang paling mendengungkan hal ini? Siapa yang mulai mempertanyakan identitas kita? Siapa yang mengajak kita untuk me-dekonstruksi- dan rekonstruksi untuk mampu berdampak di konteksnya kini dan nanti- siapa yang membangunkan GBKP ini untuk mulai sadar akan siapa dia dan mau kemana dia? Siapa yang mengajak kita untuk membayangkan GBKP 15-25 tahun kedepan dan menegaskan perlu persiapan itu dilakukan sejak sekarang?
Tugas Moderamen yang ada kini bukan untuk konteks kini, konteks kini harusnya sudah dipersiapkan oleh Moderamen 3-4 periode yang lalu, Moderamen kini harus mampu mengantisipasi bagaimana GBKP 15-25 tahun yang akan datang dan mempersiapkan kader kader muda dan juga teologianya untuk itu. Jadi prinsip kerja kita adalah mempersiapkan hal Nanti, menghadapi hal Kini dan berpijak dari analisa kritis akan hal lalu.

Namun yang kami lihat, yang ada kini adalah kerja untuk masa kini dan lalu, sehingga tidak heran Permata-Permata dan orang-orang tua muda muda (usia 30-45) tahun merasa GBKP sudah tidak up todate- lagi, apalagi nanti 5 tahun yang akan datang dan tahun-tahun seterusnya!.
Hasil penelitian GBP kita menunjukkan hal itu. Melihat realita yang ada ini, bukankah sudah selayaknya kita atau kami fokus secara utuh penuh ke GBKP, khususnya dalam rangka pengembangan SDM dan Teologianya? Mengenai dana bagi kami, bukanlah faktor yang signifikan, karena dana adalah dampak dari kualitas daya, yaitu manusianya. Keseretan dana di GBKP dikarenakan mind set SDMnya, dalam bahasa teologis itu adalah penampakan iman warga jemaatnya. ( Bersambung Minggu Depan )




TUJUAN SAYA AGAR GBKP LEBIH BERMAKNA.


Pendeta Mindawati, itu nama yang dikenal di lingkungan rohaniwan Indonesia khususnya GBKP. Naun di mancanegara ia dikenali sebagai Revd. Mindawati Perangin-angin PhD
Chairperson of Human Resources Development, Personnel, and Ecumenical Relation of The Karo Batak Protestant Church.Di sela - sela kesibukannya, ia menerima wawancara wartawan HU Perjuangan Drs Jenda Bangun dengan multitema pembicaraan yang dikemas dalam dua edisi penerbitan.
Inilah petikan wawancara kedua.

JB : Kenapa tidak selesai, bukankah mitra Anda disana cukup berpengalaman bahkan ada yang pernah bertugas di Jerman ?

MP : Wah-wah kok pertanyaan melenceng begini--- asal anda bukan provokator saja ya, ha.ha. kami minta ampun dekh jika mau diobok-obok lagi. Masih ingat soal SKS kemaren, seusai SKS anda kan yang mewawancarai kami, dan cara-cara menjelang SKS itu kini dipakai lagi persis caranya sama menjelang sidang sinode 2010. Kami pikir cara ini tidak mendidik, bukan hanya ke generasi penerus tapi juga ke diri kita sendiri, sehingga kami sekarang lebih hati-hati walau masih tetap mempertahankan prinsip bahwa kami datang ke GBKP untuk bekerja meng-up-date-in nya.
Kami masih ingat sekali, ketika surat pengunduran diri dicabut, kami dan Ketum berbicara, waktu itu dalam konteks pembentukan Crash Program, dicuplik hanya sedikit saja, …” lihat kan tanpa kamu toch GBKP berjalan, dalam hal rutinitasnya berjalan, Cuma untuk hal-hal yang baru dan mengenai mutu, itu adalah tugasmu, itulah peranmu.” Kami pikir dulu dan hingga kini, itu adalah komentar dan penilain yang jujur.

Pertanyaan anda ini mau kami hubungkan dengan semua pertanyaan anda disaat usai SKS kemaren yang kami masukkan dalam dua blog kami, Wordpress dan Blogspot, jadi orang bisa membacanya sebagai reference.

Beberapa bulan yang lalu, ada ketua klasis yang membuka ke kami, bahwa aktor keramaian di SKS ya Moderamen sendiri. Ha-ha—kami sudah duga, Cuma ketika disidang Moderamen kami buka hal ini minta supaya ada keterbukaan agar kerja team selanjutnya enak, tidak ada seorangpun yang berbicara walau sudah diundang oleh Ketum.
Cuma ada sesorang yang mengatakan bahwa tuduhan itu tidak benar. Yach melihat kondisi team begini, maka diperlukan sekali masinis yang harus tampil bijak dan berpikir untuk GBKP ke depan. Apalagi menjelang sinode 2010. Fokus kita adalah GBKP ke depan, tidak ada pribadi atau kelompok, like atau dislike, bagaimana GBKP bisa berdampak kini dan ke depan. Berbicara kini saja bisa dikatakan bahwa kita belum memenuhi tugas yang dimandatkan GBP (Garis Besar Pelayanan) 2005-2010, itu nampak dalam hasil penelitian GBP yang dibuat dalam kerangka penyusunan GBP 2010-15.
Hanya di konteks Metropolitan GBKP bisa dikatakan masih ok dalam jumlah kehadiran jemaat dan kolekte, tapi di kota, semi kota sudah mulai warning, di desa dan desa tertinggal amat sangat diprihatinkan. Persekutuan kategorial juga sangat mengkawatirkan, Moria yang selama ini dibanggakan sudah mulai terlihat menurun, Permata lampu merah di semua wilayah, Mamre hampir antara ada dan tiada. Aspek spiritualitas jemaat masih bersifat hukum dan anjuran, bukan kesadaran, dalam arti kami hendak mengatakan bahwa ajaran kita masih bersifat dogma yang harus diingat dan dihapal, belum menjadi kebudayaan. Sehingga tidak heran jika pola tindak, pikir dan ucap berbeda. Maka bisa dikatakan bahwa visi GBKP yaitu “Mewujudkan warga yang hidup setia kepada Tuhan,” yang sudah dimulai sejak tahun 2000, masih belum tercapai. Sehingga bisa saja visi ini masih dipakai terus dengan penjabaran misi yang diubah dalam GBP 2010-15. Evaluasi tentang alasan tidak pencapain bagaimanapun akan dilakukan, dan berdampak pada pen-shape-an program kedepan.

Mungkin anda bertanya kenapa pertanyaan anda tentang pekerjaan dan team work namun kami jawab dengan menjelaskan sekilas keadaan team dan GBP. Hal ini kami lakukan agar semua kita tahu bahwa tugas team Moderamen adalah melaksanakan program yang adalah misi untuk mencapai visi GBP 2005-2010. Sehingga jika ada pertanyaan mengapa belum tercapai pemenuhan visi GBP, karena dalam melaksanakan program yang tertuang dalam misi belum terjadi kesepakatan kerja dalam team sendiri karena “person behind the gun” belum terbiasa kerja berlandaskan job description masing-masing dan Masinis juga masih gamang mengarahkan gerbong ke satu tujuan yang jelas.
Sifat kerja yang keroyokan (digumuli secara ramai-ramai) masih sangat dominan dan dipikirkan sebagai yang wajar. Takutnya saya malah dimutlakkan, karena dipikirkan sebagai yang berazas kekaroan yaitu musyawarah dan rembuk bersama. Padahal ini adalah tanda cara kerja yang belum mengerti akan keprofesionalitasan kerja yang berlandaskan job description. Komposisi team yang ada kini yang beragam, ada yang mengerti ada yang tidak dan dengan pemimpin yang tidak mampu menerangkan dan tegas, kacaulah. Jelas ada yang tersinggung jika terjadi “passing through”, dan banyak sekali ini terjadi.

Struktur yang ada sekarang sebenarnya mengharuskan kita memilih orang yang professional, bukan berdasarkan lobi, like and dislike apalagi kade-kade (sada kuta, sada marga) dll. “The right person at the right place”, sehingga semua orang harus mempunyai visi dan misi, bukan lobbi sana-sini apalagi melakukan “Character assassination”.

Jadi ketika anggota team yang terpilih tanpa visi dan misi asal masuk saja dalam komposisi Moderamen, atau Klasis atau juga BP Runggun, maka ybs akan bingung melandaskan dan mewujudkannya programnya atas GBP, apalagi jika tidak di back-up oleh ketuanya. Lihatlah hasil penelitian GBP tentang pandangan jemaat tentang GBP:

JB : Kalau demikian program SDM selama ini belum tersosialisasikan seutuhnya ?

MP : Tidak juga dan bukan ini persoalannya. Yang patut menjadi perhatian ke depan bukan per bidang, tapi orang-orang yang mau masuk sebagai pemegang mandat hasil sidang sinode, menguasai bidangnya, serta memiliki visi dan misi di bidangnya secara khusus dan umum (GBKP) secara keseluruhan. Kemampuan dan tenaga Masinis sangat penting di dalam menggerakkan dan menibakan kereta di tempat tujuan yang tepat.

JB : Maaf, kalau ada “trouble” dalam kinerja ini bersifat tim atau sendiri ?

MP : Semua sudah saya jelaskan di atas, tidak perlu saya ulangi lagi.

JB : Anda tentu masih kuat dengan sistem yang ada ?

MP : Ha-ha jelas, wong ketika ini masih dalan bentuk kerangka kan team saya yang memberikan dagingnya. Cuma waktu itu kita belum terlalu sadar bahwa sistem struktur baru kita menuntut orang yang professional, konseptor, tapi juga mampu sebagai pelaku jika perlu. Yang saya dengungkan hingga kini adalah jika kita mempertahankan struktur yang ada tanpa membenahi “person behind the gun”nya, kita seperti naik mobil BMW tapi membuang tisu atau sampah dijalan. Dalam arti itu seperti tongkrongan (struktur) keren, tapi “mind set” pengemudinya nol. Tidak cocok.

JB : Bagaimana kalau Anda dicitrai sangat teoritis ?

MP : Ya wajar saja, wong tugas saya sejak datang adalah mengkonsep-konsep-dan konsep—wong sejak mantan Ketum A. Ginting Suka kan tidak banyak konsep yang diperbaharui, padahal teologia itu harus acap diperbaharui. Lihat saja sudah berapa lama kita melaksanakan PJJ, Pekan-pekan. Pernahkah ada evaluasi secara menyeluruh, tentang apakah masih layak, di konteks manakah? Methodenya bagaimanakah?

Kita terlalu takut atau malas, melakukan sesuatu yang baru. Saya memunculkan banyak konsep yang baru, jelas berdasarkan pengalaman dan analisa saya yang belajar, ceramah dan konperensi dimana-mana. Semuanya hanya bertujuan agar GBKP lebih bermakna. Itu juga yang dikatakan Ketum ketika saya balik dari pertapaan bukan? (lihat poin 5 di atas). Dalam Seminar Teologia acap dipertemukan antara teoritis dan praktis. Perlu saya katakan di sini bahwa kita sudah terlalu jauh jatuh dalam masalah praktis sehingga sudah banyak yang lari dari landasan teologis yang mencirikan identitas kita.

Hal-hal inilah yang saya upayakan untuk membenahinya. Perlu disadari bahwa Gereja bukan partai politik atau LSM, Gereja adalah milik Kristus yang berdasarkan Alkitab. Sehingga segala sesuatu ada dasar teologisnya yang beranjak dari pandangan “ekkesiologia”nya.

JB : Maksud kami, apakah Anda siap bertemu “ngawan” dalam konsep praktis dengan segala kondisi yang tercipta ?

MP :Ya Jelas saja, itu kan bergantung pada kondisi pekerjaanya. Jika kondisi pekerjaan masih menuntut perlunya konsep-konsep dasar, ya habislah waktu kita untuk mengkonsep. Jika kondisi sudah mapan dengan konsep, sekarang membutuhkan prakteknya ke lapangan, ya mulailah praxis dilakukan sambil melakukan analisa konsep yang dibuat sebelumnya. Inilah makanya ada “job description”, program kerja lima tahunan yang dibagi per tahunan. Saya malah mengusulkan bagaimana jika GBKP membuat program kerja 15-25 tahunan yang dibagi dalam pola lima tahunan yang dijabar tahunan?

Dalam praxis banyak sekali hal-hal yang kasuistik. Namun bagaimanapun semua hal yang praxis yang kasuistik ataupun tidak kasuistik kan harus diteoritiskan kembali bukan? Dalam praxis kita dirambui oleh Tata Gereja, GBP, Alkitab, Konteks dan tradisi Calvinis. Kepraktisan kita biarlah dalam koridor ini. Yang menjadi percakapan kini, dan sangat hangat semisal di Seminar Teologia adalah apakah kepraktisan kita ini masih menampakkan kecirian GBKP kita. Inilah pergumulan kini. Baik juga kita mulai merancang mana yang sentral, hal yang substansi dan mana yang praktis, hal hal metode pendekatan yang bisa diotonomikan.

Kalau pertanyaan anda lebih ke arah pola pikir dan sikap yang praktis dan kondisi jemaat yang beragam, mengapa tidak. Kalau saya suka roti bukan berarti saya tidak suka atau anti cimpa kan? Ha-ha-- (*)