Jumat, 08 Maret 2013


                    GEREJA DIANTARA IDENTITAS DAN SCHIZOPHRENIA
                                         
Apakah tidak ada tempat buat para “guru ” (1) di Gereja suku karo (GBKP) khususnya dan gereja suku (2) lain , umumnya..

“Saya dulu anggota gereja Karo (GBKP )3, tapi sekarang Katolik.”  cetus ibu Kemit dalam percakapan kami. “Wah, mengapa?” tanya saya..
“Karena gereja Karo menginginkan saya untuk meninggalkan pekerjaan saya sebagai yang dimengerti menduakan Tuhan.”

Jawaban ini mengingatkan saya kepada beberapa “dukun” yang saya wawancarai hampir satu dekade yang lalu, disaat bergumul untuk mendekonstruksi dan rekonstruksi teologia Gereja Karo. Saat itu memang tidak seorangpun dukun yang saya wawancarai adalah anggota GBKP. Mayoritas mereka Islam.

 Mempelajari budaya Karo bertanyalah pada para “Guru Karo.”.

Mendekonstruksi dan rekonstruksi teologi gereja Karo (baca: gereja suku) haruslah mengunjungi kembali budayanya. “Jika mau mengenal budaya Karo, wawancarailah “guru” atau dukun Karo”, karena merekalah yang sangat menguasai ritual Karo. Karena Karo beragam, maka wawancarailah guru Karo yang berada di Langkat, dataran tinggi Karo, Deli serdang dan Lubuk Pakam, agar representatif.”  Anjuran Anthropolog Payung Bangun inilah yang melandasi perkenalan saya dengan “ranah” ini. “Ranah” yang tak dikenal tapi dikenal.

Anjuran yang sekaligus berisi pernyataan ini menyentak saya waktu itu, bahkan hingga kini. “guru atau dukun Karo” lah yang menguasai budaya Karo karena merekalah yang melaksanakan dan/atau yang memimpin ritual Karo.

Ritual adalah essence dari upaya penyelarasan  mikro kosmos (manusia) dengan makro kosmos (alam/nature).

Ritual Karo dilakukan tidak hanya berdasarkan dan untuk siklus kehidupan manusia saja tapi juga untuk siklus alam. Maka, semua  ritual adalah penyelarasan mikro dan makro kosmos. Sehingga bisa dikatakan bahwa para “guru/dukun Karo” lah yang memimpin penyelarasan mikro dan makro kosmos, sehingga semua tatanan berada pada tempatnya (in order).  Pengertian (atau bisa juga kita sebut belief) seperti ini nampak di komunitas yang hidup di dan bersama alam, Komunitas seperti ini tidak mengenal konsep Tuhan yang monotheis, dosa, hidup baru, bertobat, Maranatha, dll. Jangan berpikir bahwa komunitas seperti ini hanya ada pada zaman dahulu kala. Kini juga. Mereka tersebar disana sini, di semua benua.

Dipilih Dibata (4) warisan atau belajar adalah cara untuk menjadi guru karo dan guru karo mempunyai peran yang sentral dalam Kepercayaan Karo, kiniteken sipemena (the original belief).

“Dari kecil saya sudah mempunyai kemampuan untuk mengetahui sesorang yang akan mati.”
Kata ibu Kemit ketika saya tanya bagaimana ia bisa menjadi dukun. Kalvinsius Jawak dalam tesis Masternya menuliskan bahwa Guru dalam agama suku Karo adalah yang dipilih oleh Dibata Dibata (Kalvinsius Jawak. Yahweh Dan Dibata, UKSW, Salatiga, 2009).

“Kemampuan yang saya miliki tidak saya gubris, apalagi bapak saya adalah Penatua (5)  di GBKP. Namun di usia empat puluhan, suara bisikan makin keras di telinga saya agar saya mau jadi guru untuk mengobati orang. Tetap saja  saya enggan. Akibatnya, berbagai penyakit datang silih berganti, tanpa henti, sampai bosan keluar masuk rumah sakit. Akhirnya saya menyerah dan berkata ke suara yang acap berbicara di kuping saya untuk disembuhkan dan mau bersamanya untuk mengobati manusia.” 

Dua tahun adalah proses ibu Kemit melewati tahap pembentukannya menjadi “guru,” dimulai dari sakitnya hingga melewati kondisi yang diilihat orang “normal” hampir seperti kurang waras, dikarenakan beliau hanya berinteraksi dengan suara yang berbicara dikupingnya, yang tidak bisa dilihat dan didengar oleh orang lain khususnya yang masih bergantung pada panca indra.

Dari cerita tentang latar belakang ibu Kemit, diketahui bahwa beliau adalah cucu dari seorang “guru karo” juga, sehingga besar kemungkinan bahwa keberadaannya sebagai “guru Karo” kini, adalah warisan dari nenek dan sekaligus juga adalah pilihan Dibata Karo. Karena biasanya kemampuan sebagai “guru”, khususnya guru mbelin (6) , diwariskan keketurunannya bergenerasi.

Peran puasa dan meditasi bagi guru karo.

“Apakah ibu acap puasa dan meditasi  dalam proses dan setelah menjadi “guru”?” tanya saya. “Tidak juga” jawabnya.

“Saya akan mutih atau ngebleng (jenis puasa Kejawen) jika saya sedang dalam pekerjaan mencari barang yang hilang, tapi kalau untuk mengobati penyakit, cukup suara itu yang membimbing saya. Semua obat obatan dapat diambil dari tumbuhan yang ada di Gunung Sibayak (7) . Namun meditasi harus dijalani, karena inilah cara berkomunikasi dengan Dibata Dibata lain yang telah memilih saya.”

Kegamangan GBKP dan gereja suku lainnya dalam berinkulturasi.

Dari pemaparan isi percakapan di atas ada beberapa hal yang hendak saya angkat yaitu:

1. Katolik setelah konsili Vatican II sangat terbuka dengan kebudayaan lokal, sehingga dengan luwes
    berhibridisasi dengannya tanpa merasa menjual diri, walau masih nampak akan kedominanan Kristus
    di atas kebudayaan lokal (Christ above culture, Richard Niebuhr; lihat, Pengaruh Kekristenan Pada 
    Kebudayaan Simalungun, Kolportase GKPS, 2003.). Walaupun demikian dengan keterbukaan Katolik
    akan keberadaan roh roh lokal, dan tidak mengabsolutkan bahwa roh hanyalah roh kudus, telah memberi
    tempat bagi para “guru” tidak hanya dari Karo tapi juga daerah lain untuk menjadi jemaatnya.

2. Dari hasil pertemuan Gereja-gereja Lutheran yang ada di Asia dan Afrika yang membicarakan tentang
    Ancestors, Spirits and Healing in Africa and Asia: A Challenge to the Church yang
    diselenggarakan di Malaysia pada tahun 2005 nampak bahwa gereja gereja Lutheran di Afrika telah lebih
    dulu mampu berinteraksi dengan keberadaan roh roh lokal dalam hal ini roh leluhur, dari pada gereja
    gereja di Asia. Sayang sekali tidak ada dalam laporan konperensi itu catatan dari gereja suku lainnya yang
    ada di Sumatera Utara semisal HKBP (8) , GKPI (9)  ataupun GKPS (10) yang berkonteks sama
    dengan GBKP.

3. Penampakan poin 1 dan 2 di atas tidaklah terlalu mengherankan karena di AAR (American Academy of Religion) yang saya hadiri di tahun 2011 di San Fransisco saja, para Panelis yang berbicara tentang keberadaan dan peran roh di Indigenous People, walau mereka sendiri adalah asli Indian Canada ataupun Amerika juga mencoba “mengkristenkan” roh leluhurnya. Jadi tetap nampak aspek Kristus diatas kebudayaan. Di sisi lain jika saya berdiskusi dengan para Anthropolog tentang keberadaan dan peran roh di kepercayaan alam (nature belief), mereka memang tidak men- “teologisasikan” roh, mereka mendiskripsikan penampakan penampakan yang ada, tapi tidak mempercayai keberadaan dan kekuatannya. Saya pikir jika kita bertahan hanya di phenomenology saja, pengetahuan tentang apapun tidak akan utuh dan menyeluruh.

4. Kata dipilih adalah kata Alkitab, seperti Israel dipilih oleh Allah, begitu juga nabi Amos, Yesaya dll. Acap kata dipilih diganti oleh para hamba Tuhan kini dengan kata dipanggil. Jadi ada suara yang memanggil. “Guru” dipanggil langsung oleh suara yang berbicara dikupingnya. Jika hendak berkomunikasi dengan para pemilihnya (para roh/Dibata) Guru harus bermeditasi bahkan puasa. Dengan dan melalui roh/tendi-lah “guru” “berkomunikasi dengan roh roh leluhur dan Dibata-Dibatanya, dan dengan roh/tendi juga kita berkomunikasi dengan siempunya roh/tendi kita, apapun kita sebut namaya. Metode inilah yang bisa digunakan sebagai jalan spiritualitas. Allah/ Tuhan adalah roh. Maka jika ingin berkomunikasi dengan Allah yang adalah roh maka,
manusia harus menggunakan rohnya untuk masuk ke frekwensi roh Allah. Biasanya dengan meditasi. Jika kita adalah yang dipilih oleh Allah, maka untuk menyatukan frekwensi denganNya, tidaklah terlalu susah. Tapi jika pengenalan kita padaNya melalui belajar, maka diperlukan ketekunan/disiplin dalam meditasi dan puasa untuk menyatukan frekwensi roh kita denganNya. Melalui pengertian ini dengan mudah kita    memahami apa yang terjadi di hari Pentakosta; puasa empat puluh harinya Yesus yang kemudian dibimbing oleh roh untuk dicobai di padang gurun; konsep tentang anak anak roh yang banyak di injil Yohanes dan juga surat Paulus. Juga tentang mujizat yang dilakukan Yesus dan kemudian oleh murid muridnya setelah hari Pentakosta.            
 
5. “Guru Karo” dipilih oleh Dibata Dibata. Sebenarnya kata dan konsep Dibata bukanlah asli kepercayaan Karo (saya tidak menggunakan kata agama Karo). Kepercayaan Karo dulu disebut perbegu, asal kata brgu yang berarti roh atau jiwa yang kekal (Kalvinsius Jawak). Perbegu bukan penyembah setan atau iblis atau begu ganjang, tapi yang Menghormati atau mengakui roh, khususnya roh leluhur dan roh alam (nature spirits).
Jika begitu, bukankah sebenarnya orang Kristen juga Perbegu karena mereka mempercayai roh Kudus?
     Kata roh dalam roh kudus diterjemahkan kedalam alkitab bahas karo dengan kesah bukan tendi (11) , sedangkan dialkitab bahasa Toba dan Simalungun diterjemahkan dengan .   Tondi Parbadia dan Tondui Na Pasing (A. Ginting Suka, Jurnal Teologia Beras Piher, GBKP). Jelas penggunaan kesah dan bukan tendi disini adalah untuk menghindari pengertian negatif kata tendi yang dimengerti oleh orang karo akan berubah menjadi begu jika manusia mati. Pergeseran pengertian begu dari positif kenegatif muncul ketika konsep roh dimonopoli oleh roh kudus.

6. Mungkin karena kurangnya referensi, saya tidak menjumpai konsep kepercayaan karo akan Tuhan seperti yang dimengerti sebagai Yahwe pencipta, juruslamat dll. Apakah konsep Si Mada Tinuang bisa disebut asli karo? Dibata simada kuasa, sinepa langit  ras doni atau Simula Jadi na bolon, bukanlah konsep asli Karo. Pembagian atas tiga dunia dan memiliki Dibata masing masing (Kaci Kaci, Banua Kling dst) juga bukan
asli Karo. Yang asli Karo saya pikir adalah pengertian bahwa tidak adanya pemisahan antara dunia manusia dan dunia roh di alam semesta. Manusia, roh dan alam adalah integral, sehingga silaturahmi berlangsung terus, walau roh berada dimensi yang melampaui panca indra. Pengertian ini dikategorikan oleh EB Taylor sebagai animisme. Cara pandang seperti ini biasanya tidak mengenal konsep sejarah, karena tidak mengenal konsep waktu, jadi masa lalu, kini dan nanti saling bersinggungan. Kemudian Hindu lah yang memberikan personifikasi pada roh roh sebagai makhluk yang memiliki kepribadian dan akal. Inilah konsep Dibata, deva, dewa yang adalah cikal bakal Politeisme. Konsep Terjadinya Alam Semesta yang dikenal oleh orang karo
kini (lihat blog Rudang Rakyat Sirulo) menurut saya adalah hasil hibridisasi yang cantik setelah terjadi persentuhan antara Karo, Toba dan Hindu.

 7. Pengambil alihan kata Dibata dari konsep Hindu untuk disandingkan atau menggantikan kata ataupun pengertian begu (roh) tidak menjadi masalah bagi kepercayaan Karo, karena inti pengertian Karo akan roh/tendi tadi masih disitu. Karena tendi/roh adalah unsur terpenting di mikro dan makro kosmos, dan juga
sekaligus sebagai media yang menghubungkan keduanya, maka tidak heran jika peran guru karo sangatlah penting di Karo. Apakah kemampuan menyembuhkan dan kesembuhan yang diberikan oleh Dibata/begu Karo ini tidak sesuai dengan atau melanggar otoritas Dibata agama agama lain, seperti Kristen atau Islam? Jika Kristen dan Islam percaya bahwa semua yang ada di alam semesta ini baik yang nampak maupun yang tidak nampak adalah ciptaan Tuhan/Allah, lalu bukankah itu berarti bahwa begu/Dibata Karo juga dalam “pengawasan” Dibata Kristen dan Islam?

     “Apakah kam (12)  berpikir atau percaya bahwa Dibata Kristen “mengamini” pilihan 
     Dibata Karo atas ndu (13)  untuk menjadi “guru karo” ini nde (14) ?”   tanya saya kepada ibu Kemit di penghujung pertemuan kami. “Ya, atas persetujuan  dan perintahNya lah maka ini terjadi.” Kata ibu Kemit dengan yakin. Nampak di wajahnya ekspresi kebebasan yang tidak dikungkung oleh dogma-dogma agama kitab.      

8. Siapa bisa menyangkal bahwa semua agama yang ada di tanah air Indonesia ini adalah yang datang dari luar (import). Agama ini datang bergandengan dengan kekuasaan dan perdagangan (kuasa dan uang). Semua agama import ini berhasil mendapatkan apa yang diinginkannya. Indonesia mengalami kejayaan kerajaan
    Hindu sejak Kutai di Kalimantan hingga Majapahit di Jawa dengan Sumpah Palapa Gajah Mada. Budha berhasil dengan kejayaan Kerajaan Mataram Budha dan Sriwijayanya, candi Borobudurlah salahsatu buahnya. Islam berhasil dengan kejayaan kerajaan Islamnya dengan Kerajaan Mataram Islam, Demak dengan wali songonya, Samudera Pasai di Aceh. Kristen dengan Belandanya yang telah mengurasi kekayaan
ibu pertiwi dan menciptakan Belanda yang makmur kini.  
     Dampak dari Gerakan 30 September adalah semua orang di Indonesia harus beragama resmi kepercayaan yang bersifat personal menjadi institusi yang dikontrol Negara. Peraturan dikeluarkan dengan ancaman yang mengerikan, yang tidak beragama resmi adalah anggota atau simpatisan PKI. Di saat inilah anggota GBKP melonjak drastis. Mengapa pilihan jatuh ke GBKP? Karena saat itu institusi keagamaan yang ada di Karo dan yang bernama Karo adalah GBKP. Islam ada, tapi orang Karo suka makan babi yang diharamkan Islam. Alasan praktis, untuk perut dan keamanan diri. Sedih jika dikatakan ini yang dibuahkan oleh roh kudus, karena dampak dari pelonjakan kuantitas belum nampak di pelonjakan kualitas. Orang Karo yang “beriman” pragmatis dihadapkan pada agama Kristen yang penuh dengan dogma yang complicated dan
tradisi/budaya yang kurang dikenal. Makanya agama Kristen kurang diminati orang Indonesia yang merasa sangat nyaman dipendekatan kultural. Lalu menjadilah Indonesia sebagai negara yang berpenduduk Islam terbesar di dunia.
      Banyak orang karo yang kental dengan Perbegu lebih memilih menjadi Hindu, karena Perbegu dan Hindu sudah menghibrid menjadi dua tapi satu. Hampir semua kepercayaan suku menghibrid dengan halus dan mulus dengan Hindu dan Budha. Karena Budha adalah Hindu mulanya. Tidak sejauh Kristen yang adalah transformasi agama Jahudi. Kejawen (agama jawa) juga begitu. Jika.ketika kepercayaan Karo atau
jawa “kawin” dengan Hindu dan Budha mereka tidak merasa kehilangan identitas (jati diri). Namun merasa “tidak berarti” ketika harus menjadi Islam apalagi Kristen.
    “Pertarungan”  Kejawen Hindu/Budha dengan Islam sangat nampak dipercakapan antara Sabdo Palon dengan raja Prabu Brawijaya V. Kepercayaan Karo cukup lama bertahan sebagai identitas Karo karena Majapahit tidak mampu menaklukkan kerajaan Haru dan Putri Hijau di Delitua cukup lama mempertahankan keeksistenan kerajaannya  dan mampu bertahan dari pengaruh dan ancaman kerajaan  Islam dari Aceh. Namun kini, identitas Karo itu hanya dimiliki oleh segelintir orang, jika disebut mayoritas adalah para “guru Karo.”  Identitas itupun harus dibajui oleh agama resmi negara, jika mau dianggap sebagai bagian dari masyarakat.

Tamu kok mau jadi tuan rumah.

Saya ingat komentar Pdt Em. A. Ginting Suka (15)  beberapa tahun yang lalu atas satu tulisan yang dimuat di jurnal Beras Piher. “Saya menangis ketika membaca kutipan yang kam muat di Beras Piher itu” katanya. “Mengapa.Ma (16)” Saya balik bertanya. “Cerita itu mengingatkan saya kembali akan tempo dulu. Saya merasakan sekali cerita itu. Dan saya merasa ada di dalam cerita itu,” Katanya. Oh ," kata saya. "Jadi apakah Mama hendak mengatakan bahwa kita orang Kristen atau dirindu ini adalah seorang schizophrenia,   tendi/roh ndu Karo tapi tubuhndu dan bajundu Kristen.” Saya bilang. “Ya, ya,” dikatakannya.  Artikel yang dibaca beliau adalah bagaimana satu keluarga melakukan perumah begu (upacara pemanggilan roh orang mati) untuk memanggil arwah kepala keluarga (suami/bapak) yang telah lama tidak pulang ke rumah. Masyarakat berspekulasi bahwa bapak tsb dibunuh karena anggota PKI.

Schizophrenia jika disadari tidaklah menjadi penyakit yang membahayakan. Cuma seperti duri dalam daging. Jika kepercayaan suku dan kekristenan bukan seperti minyak dan air yang sama sekali tidak bisa dihibridkan, mengapa tidak berupaya mengolahnya menjadi sesuatu yang baru yang bisa digunakan sebagai identitas gereja suku tsb. Ajaran Yesus harus dibudayakan, sehingga keduanya berdialektikal. Islam sudah mencobanya, maka timbullah istilah Islam abangan dan Santri. Ada Syeh Siti Jenar. Katolik sudah memulainya dengan membuka pintu bagi para “Guru” menjadi anggota persekutuan dan pengadopsian beberapa ritual. Schizophrenia akan menjadi parah, jika tamu memaksa diri untuk jadi tuan rumah.


  1. Guru Karo adalah seorang yang bukan hanya mampu mengobati penyakit tapi juga yang memimpin ritual kepercayaan  Karo. Karo adalah salah satu suku di Sumatera Utara yang tidak hanya mendiami Kabupaten Karo di Sumatera Utara tapi juga menyebar di seluruh Indonesia.
  2. Mayoritas gereja di Indonesia adalah  gereja suku, sehingga penggunaan bahasa suku/daerah masih sangat dominan. Pengaruh budaya suku dalam  kehidupan gereja suku itu bergantung seberapa dalam gereja tersebut mengerti akan arti gereja dan identitas mereka (inkulturasi).
  3. GBKP adalah singkatan Gereja Batak Karo Protestan yang beranggotakan lebih dari 300.000 yang berpusat di Kabanjahe dan mempunyai jemaat dari Aceh hingga Sulawesi.
  4. Dibata adalah kata yang diadopsi dari pemahaman Hindu akan Deva/dewa oleh, tidak hanya Karo tapi juga Toba, Simalungun, dll.
  5. Penatua adalah pembantu Pendeta dalam melayani di gereja.
  6. Guru/Dukun besar.
  7. Gunung Sibayak adalah salah satu gunung yang ada di Kabupaten Karo Sumatera Utara
  8. Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang berpusat di Pearaja, Tarutung, yang anggota jemaatnya dominan bersuku Toba.
  9. Gereka Kristen Protesta Indonesia (GKPI) berpusat di Siantar anggta jemaatnya dominan bersuku Toba
  10. Gereka Kristen Protestan Simalungun (GKPS) yang berpusat di Siantar anggota jemaat dominan bersuku Simalungun.
  11. Kesah adalah nafas sedangkan tendi adalah roh yang mengaktifkan nafas dan jiwa.
  12. anda
  13. mu
  14. Nde, singkatan dari nande yang berarti ibu.
  15. Mantan Ketua umum GBKP dan memimpin GBKP selama hampir 30 tahun.
  16. Ma, singkatan dari mama yang artinya paman dari pihak ibu

Kamis, 26 Agustus 2010

BARACK OBAMA DENGAN KONTROVERSI PEMBANGUNAN ISLAMIC CENTRE DI GROUND ZERO, NEW YORK, AMERIKA SERIKAT

Kami mengikuti perjalanan perkembangan pemilihan calon presiden Amerika yang dimenangkan oleh Obama, sejak ia masih sebagai calon dari Demokrat sebagai saingan Hillary Clinton. Ketika pemilihan umum itu terjadi, kami berada di New York. Kami masih ingat, sampai tengah malam saat itu, kami masih berpikir ia tak kan menang, mengingat bagaimana Amerika yang cukup rasis, walaupun negaranya adalah yang paling getol berbicara tentang Demokrasi. Kami tidak sekedar cuap, karena kami tinggal disitu selama sembilan tahun. Selama masa kampanyenya pun, dalam diskusi kami dengan perwakilan kulit putih dari belbagai golongan, gema rasisme itu masih bergaung. Kemenangannya adalah kemenangan partai Demokrat, karena orang Amerika sudah “muntah” dengan kebijaksanaan Bush dari partai Republik. Kemenangan Obama atas Hillary, karena orang mau “a new fresh person.” Hillary dipikirkan sebagai “the continued Clinton.” Pengaruh Clinton masih sangat besar hingga kini, bisa dilihat dari perkawinan Chelsea yang baru berlangsung (link dengan “the jewish heritage”).


Kita tahu bahwa Obama tidak sama dengan SBY. Ini tidak hanya karena faktor perbedaan usia dan latarbelakang, tapi juga perbedaan cara dan konteks berpolitik. Obama berani mengambil keputusan yang tidak popular, terbuka dan berdialog dengan kepentingan publik. Wajar, karena ia dari partai Demokrat, hampir sejajar dengan symbol PDIP untuk wong cilik, di Indonesia. Dalam hal ini sebenarnya jika PDIP secara serius fokus pada kebutuhan rakyat, besar kemungkinan partai ini akan “gets more voters” untuk pemilihan umum di Indonesia yang akan datang. It is a time orang merindukan pemerintah yang pro-rakyat.


Cuma, untuk vote Obama kali ini terhadap pembangunan “Islamic centre” di “ground zero” meragukan kami, karena menurut kami kebijaksanaan ini tidak memecahkan atau menjawab masalah yang ada, karena “the root of the problem” adalah paradigma politik luar negeri Amerika. Coba kita simak latarbelakang timbulnya “the ground zero”, “who was the actor?” (lepas dari tidak bisa disangkal bahwa ini adalah buah yang dipetik dari permainan politik luarnegeri Amerika dengan CIAnya, dll). Di sini kami tidak mau mengangkat pemerintah yang diwakili oleh Obama, tapi masyarakat banyak, “the people.” Banyak sekali “innocent peoples” yang mati karena peristiwa yang disebabkan kesalahan politik luar negeri negaranya. Sekarang Negara tidak mau mendengar suara rakyat yang adalah “victim” (korban) dari pada kebijaksanaan mereka.


Dua bulan setelah “Nine Eleven”, terjadi, kami ke New York dan menginap di Soho. Kami suka jalan dari Soho hingga ke “downtown” (lokasi ground zero) karena meliwati China and Italian towns yang banyak makanan dan barang pernak pernik lainnya, juga “the second hand book store”, Strand. Saat itu Nampak di sudut sudut jalan, orang membuat monumen - dengan dipenuhi gambar-gambar korban the Nine_Eleven dengan kata-kata penghiburan mereka, bendera Amerika, lilin-lilin, sahdu sekali- peringatan terhadap orang orang yang meninggal di peristiwa itu.. Hari ini menjadi hari perkabungan nasional. Jika anda masuk ke gereja (namanya kami lupa) yang berlokasi sangat dekat dengan “the ground zero”, disinilah korban korban dibawa, bahkan ada yg dikubur disitu. Kalau anda lihat ke dalam sudah hampir seperti museum the ground zero. Memory ini sangat kental, bahkan masih sangat kental di masyarakat sekitar.
Amerika berbeda dgn Indonesia. Nyawa org dihargai (jangan bilang, lho kok infasi ke Irak? Bedakan antara pemerintah dan rakyat). Mereka tidak seperti kita yang baik pemerintah maupun rakyatnya sudah mengidap memory lost—(kalau rakyat mungkin karena apatis, yang lainnya karena tidak tahu malu), orang Amerika itu mengingat lama, dan ada ketulusan dalam ingatan. (ukh, sy seperti pro Amerika sekali ya).


Persatuan Gereja Amerika (NCC-USA) berkomentar tentang rencana pendirian ini
“For thousands of families, Ground Zero in southern Manhattan is holy ground. Thousands lost someone they love in the terror attacks of September 11, 2001, and hundreds of thousands know someone who was directly or indirectly scarred by the collapse of the World Trade Center. The emotional investment in Ground Zero cannot be overestimated.
That is precisely why Ground Zero must be open to the religious expression of all people whose lives were scarred by the tragedy: Christians, Jews, Sikhs, Buddhists, Hindus, and more. And Muslims.”


Kami tidak mengutip semuanya, tapi dalam “statement of affirmation” dari Sekretaris Jendral NCC-USA ini beliau mengajak semua khususnya orang Kristen di Amerika untuk mengaminkan pembangunan centre ini dengan menuliskan beberapa nama korban yang beragama Islam.


Pernyataan Sekjen NCC USA di paragraph satu kami pikir tidak kena mengena jika dipakai sebagai dasar alasan di paragraph dua:
“That is precisely why Ground Zero must be open to the religious expression of all people whose lives were scarred by the tragedy: Christians, Jews, Sikhs, Buddhists, Hindus, and more. And Muslims.”

Kami khawatir, sebagai institusi, NCC USA kembali harus melakukan “politically correct,” dan harus mengikuti trend (in the post-post modern era we have to be inclusive). Pertanyaan kami kembali, apakah pendirian ini memecahkan masalah yang ada? Atau malah merugikan dengan menyakitkan perasaan masyarakat yang merasa hal ini adalah miliknya, dan menjadi boomerang bagi partai Demokrat kelak. Apakah dengan meluluskan pendirian ini bisa menjinakkan “teroris” yang sebenarnya isunya dipakai sebagai bahan propaganda politik dimulai oleh Bush dan serikatnya, lalu diikuti oleh Obama dan SBY?


Kami sendiri tidak setuju jika hal ini dipolitisasi baik oleh lawan politik Obama, baik oleh Obama sendiri, ataupun siapa saja. Sangat keterlaluan jika ini dilakukan. Mengambil keuntungan di atas nyawa nyawa orang yang tidak bersalah. Tidak ada yang dipecahkan dengan pendirian ini. Janganlah kita sekedar melakukan “politically correct” for the sake of pluralistic society and religion. Ini bukan jawaban yang menyentuh akar masalah. Tapi perubahan paradigma politik luar negeri Amerika Serikat sedikitnya akan memberikan sedikit kesejukan bagi tatanan hidup dunia. Kami hanya mau kita merasa apa yang dirasakan oleh keluarga yang ditinggalkan, juga oleh masyarakat yang mengalaminya disana. Jawaban ada dimereka.


Pdt Mindawati Perangin angin Ph.D

Senin, 22 Maret 2010

KEBENARAN TIDAK PERNAH KALAH DARI KETIDAK BENARAN.

KEBENARAN TIDAK PERNAH KALAH DARI KETIDAK BENARAN.

Orang mengamini pernyataan ini tapi tidak hidup di dalamnya. Mengapa? Karena kita tidak sabar. Kita mau semuanya cepat terselesaikan. Sehingga mata ganti mata gigi ganti gigi. Hasilnya? Perpecahan dan kekacauan. Mengembalikan keadaan menjadi normal sudah memerlukan waktu yang lebih lama. Dan jika sudah ada luka, bekas itu tidak akan pernah sirna. Itukah maunya kita? Ketika kita katakana keledai tidak akan terperosok ke dalam lubang untuk kedua kalinya? Kita bukan hanya dua kali, bahkan berkali-kali.

Ketika manusia penuh ambisi, ia buta dan tuli. Makanya Yesus mengatakan ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat. Yang buta dan tuli ini bukan orang bodoh, bukan orang yang tidak mengenal rumah Allah, bukan yang bukan aktivis keagamaan, bahkan merekalah biangnya. Mereka pintar dalam kebodohan; mereka suci dalam kemunafikan; mereka aktivis Tuhan dalam kepalsuan, merekalah yang menyalibkan Ia.

Sejak awal Yesus tahu merekalah yang acap menggunakan firman Tuhan untuk menghukum sesama, dan mencari cari kesalahan siapa saja. Musuh utama mereka adalah yang tampil utama. Mereka tidak mau disaingi karena mereka mengclaim dirinya merekalah yang terutama dan yang harus menempati posisi itu. Dicarilah berbagai cara, dan mengkondisikannya yang berpuncak di Golgotha. Jangan bilang Allah membiarkan atau cuci tangan? Itu Pilatus. Allah memakai kebutaan mereka untuk menggenapi rancanganNya. Dinilah kemahakuasaan Allah, yang saat itu juga adalah keterbatasan manusia. Ketika manusia mengatakan bahwa ia menang, ternyata ia kalah; Bahwa ia tinggi padahal ia rendah.

Yang dihina, disiksa, dinista, yang di claim sebagai pembohong, pengacau, sok hebat, sok pintar, sok berani, sok apalagi--- dibalikkan menjadi--- ya mulut yang sama menyatakan, Ia anak Allah.

Penyerahan diri Yesus pada Penciptanya yang utuh penuh membuat pemenuhan rancangan Allah menghasilkan buah yang lebat sekali. Inilah intinya. Yesus tidak bereaksi atas semua yang dicerca padanya. Ia mengerti kelemahan manusia, untuk itu Ia datang, sehingga jika ia bereaksi atas semua ketidakbenaran yang ditujukan padanya ia sudah tidak Yesus lagi, ia sudah menjadi sama seperti mereka. Keimanan yang utuh penuh menghasilkan pernyataan, “Bapa ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat”.! Yesus percaya Bapanya adalah Tuhan yang hidup yang tidak akan membiarkan Golgotha sebagai penghinaan, tapi puncak kemuliaan sebagai titik tolak perubahan yang radikal, yaitu pandangan dan pola pikir manusia direbut Allah menjadi pandangan dan pola pikir Allah.

Dalam konteks dimana ketidakbenaran sangat berkuasa karena dimiliki banyak orang dan yang berkuasa, jangan gentar. Tidak ada hal yang baru bukan? Percayalah:
1.Mereka dalam keadaan buta dan tuli, anda berteriak mereka tidak dengar, anda
bertindak mereka tidak lihat.
2.Waktu akan menjawabnya, biarkan Allah kita yang hidup memainkan perannya. Dalam
semua situasi Allah disitu dan waktu Allah adalah yang terbaik buat kita semua.
3.Jika kita bereaksi atas semua ketidakbenaran yang dinyatakan pada kita, kita akan
menjadi sama dengan mereka, dan akan jatuh pada ketidakbenaran juga.
4.Dalam konteks begini anda menjadi sendiri, tersingkirkan dan terpojokkan, juga
tidak ada hal yang baru. Yesus juga ditinggal para murid yang sebelumnya mengklaim
sangat menyayanginya. Ingat Allah mu yang setia tidak pernah meninggalkan diri
kita.
5. Perbanyak berdoa dan bersekutu denganNya, sehingga kita mampu bertahan sampai Ia
mewujudkan rancanganNya.

Selamat melakukan perenungan menjelang Jumat Agung. Renungkanlah, apakah sebenarnya diri kita adalah bagian dari yang menyalibkan Ia.

Jumat, 12 Maret 2010

Let The Church Be The Church

Let The Church Be The Church



1. Hubungan Let the church be the church dengan GBP GBKP 2010-2015.

Let the church be church, Biarlah gereja tetap sebagai gereja, dalam arti biarlah gereja setia pada hakikatnya sebagai gereja. Mengapa ini menjadi judul tulisan kami? jawabannya adalah karena pernyataan inilah yang dikumandangkan sebagai dasar teologis Garis Besar Pelayanan (GBP GBKP) 2010-2015 yang akan dibahas di Sidang Sinode GBKP yang ke XXXIV pada tanggal 11-18 April di Sukamakmur. Jadi bagi seluruh jemaat GBKP umumnya dan peserta sidang Sinode khususnya, ada baiknya
Jika dasar pemikiran teologis ekklesiologis visi GBP GBKP 2010-2015 sudah disimak lebih dahulu sebelum kita putuskan di sidang Sinode bulan depan.

2. Let the church be the church sebagai dasar visi dan misi GBP GBKP 2010-2015.

Let the church be the church adalah dasar dari visi GBP GBKP lima tahun ke depan yaitu: BERLAKU SEBAGAI TUBUH KRISTUS.

Pengertian Berlaku sebagai tubuh Kristus dijabarkan dalam empat poin pengertian yaitu:

1. Terjadi transformasi pribadi tiap orang menjadi murid Kristus.(manusia baru)
2. Mendudukkan pengertian Gereja yaitu gereja adalah orangnya (being as a church).
3. Gereja mampu berdampak di dan bagi dunia (church is in the world and for the world) baik dalam relasi antar-gereja (intra church) dan antar-kepercayan (inter-faith)
4. Meningkatkan solidaritas, dan mengerti serta memberlakukan apa artinya solidaritas Kristus bagi seluruh ciptaan (church of the poor dan concern pada integration of creations yang menegakkan kebenaran dan keadilan).

Visi GBP 2010-2015 yang dijabarkan dalam empat (4) poin di atas diwujudkan dalam
a/ enam (6) misi yaitu:
1. Meningkatkan Spiritualitas Jemaat
2. Meningkatkan Teologia dan Peribadahan Jemaat
3. Meningkatkan Sikap Solidaritas Berdasarkan Penghargaan Terhadap Kemanusiaan
4. Meningkatkan Penegakan Kebenaran, Keadilan, Kejujuran dan Kasih
5. Meningkatkan Kwantitas Jemaat yang Terpercaya (kwantitas yang berkwalitas)
6. Meningkatkan Perekonomian Jemaat

Dan b/: THEMA sidang sinode 2010 yaitu : GALATIA 6:2a : Bertolong Tolonganlah Menanggung Bebanmu dan Sub Thema: Bersama-Sama Dengan Seluruh Jemaat Kita Tingkatkan Kehidupan Spiritualitas dan Solidaritas Untuk Kemandirian Teologia, Daya Dan Dana.

Keenam (6) misi GBP di atas diimplementasikan dalam lima (5) program tahunan yaitu:

1. Tahun 2011 : Meningkatkan Teologia Dan Spiritualitas (Mutu Ibadah)
2. Tahun 2012 : Meningkatkan Solidaritas Internal GBKP.
3. Tahun 2013 : Meningkatkan Solidaritas Eksternal (Ekumene Gereja Dan
Masyarakat)
4. Tahun 2014 : Meningkatkan SDM
5. Tahun 2015 : Meningkatkan sosial, Ekonomi,dan Budaya Jemaat



2. Apa dan mengapa let the church be the church sebagai dasar gerak kita lima tahun ke depan.

Mengapa Let the church be the church diangkat sebagai dasar visi lima tahun kedepan kita? Jawabannya adalah Karena latarbelakang pernyataan yang dikeluarkan oleh konperensi misi dan penginjilan sedunia ini yang mau menegaskan kembali agar gereja kembali ke barak (back to basics), mengena ke konteks GBKP yang berada dalam kegamangan untuk mengeksis dalam tiga konteks yaitu lokal, nasional dan global. Kegamangan dalam berupaya untuk tetap eksis di dunia ini membuat GBKP sudah hampir menjadi sama dengan dunia padahal gereja bukanlah bagian dari dunia walau ia ada di dunia namun ia harus untuk dunia (the church is in the world but not of the world but for the world).

Keberadaan gereja seperti ini memerlukan pelayan yang berintegritas yang harus selalu tinggal di dalam pemiliknya (Kristus), seperti ranting yang tidak akan bisa hidup jika lepas dari pohonnya. Jika tidak begini maka gereja sudah tidak menjadi gereja lagi, tapi institusi social, Serikat Tolong Menolong (STM); LSM atau bahkan organisasi politik. Hal inilah yang disoroti dan awal dari munculnya gereja-gereja evangelical versus gereja-gereja ekumenikal.

Keberadaan gereja di dunia bukan berarti kita kompromi atau menjadi sama dengan dunia. Salah besar!. Tapi bagaimana gereja harus menempatkan dirinya di dalam dan menjalin relasi dengan dunia.

Disatu sisi pernyataan ini mengharuskan kita untuk selalu memperbaharui metode pendekatan (methode approach) kita agar keberadaan gereja berdampak (church for the world). Disini gereja harus berorientasi pada kebutuhan (the need) orang yang kita layani, sehingga Agenda gereja (program dan prioritas kerja) harus selalu berubah berdasarkan need konteksnya/jemaatnya karena misi gereja tidak pernah berubah. Pola pelayanan dan ibadah yang belum terlampau memperhitungkan perubahan dalam masyarakat memerlukan terobosan dan inovatif. Di era global dimana dunia adalah pasar (market) membuat kehidupan menjadi sangat keras dan kompetitif, individualisme dan koncoisme meroket. Manusia yang tidak mampu beradaptasi dengan perubahan akan tersingkir. Di konteks begini manusia membutuhkan sentuhan personal dan ruang untuk bisa mengekspresikan rasa yang terkebiri selama ini. Sehingga pola ibadah dan pelayanan haruslah mengakomodasi kedua aspek ini, Juga jadwal kegiatan GBKP haruslah disesuaikan dengan kalender kerja masyarakat yang telah berubah. Pembinaan haruslah ditingkat dan pengadaan kurikulum yang berkesinambungan dari Ka-Kr hingga Moria-Mamre haruslah diadakan juga layak mulai dipikirkan untuk
Metode pembinaan yang memperkuat basis di sektor-sektor sehingga peranan penatua dan diaken sangat penting.

Disisi lain pada saat yang bersamaan gereja harus mampu menjabarkan Tuhan yang tidak berubah di konteks dunia yang terus berubah. Ini berarti gereja bukan sekedar mengiyakan apa yang dunia katakan, malahan gereja harus mengatakan apa yang terbaik bagi dunia dalam terang apa yang direncanakan dan dikehendaki Allah bagi dunia ini. Dan ini sering kali berarti harus menentang dan menantang roh-roh zaman yang cenderung menghanyutkan dunia. Disinilah gereja harus mampu memberikan alternative lain kepada dunia melalui pelayanan,kesaksian dan persekutuannya. (sehingga tidak perlu memunculkan aliran fundamentalisme dalam gereja). Untuk ini gereja harus menguasai “bahasa” dunia, dalam arti sosal, politik, ekonomi dan budaya dll

Berdasarkan kedua sisi ini maka gereja haruslah multi purposes dalam arti harus menampilkan ibadah dan diakonia yang menjawab kebutuhan jemaatnya dan inilah marturianya; dan koinonianya hendaklah menjadikan setiap jemaat menjadi being as a
church sehingga mampu mewujudkan dalam tingkah laku, tutur kaya, sepak terjang yang menyatakan kasih Allah kepada dunia ini, dan berani memberitakan injil yang menuntut dan harga pasti bukan membuai (etika yang either or, istilah kami, bukan both and). Disinilah maka kita tampilkan GBKP sebagai church of the poor not for the poor dan menempatkan Meningkatkan Penegakan Kebenaran, Keadilan, Kejujuran dan Kasih
tetap dalam misi GBP lima tahun ke depan.

Ingatlah bahwa gereja adalah alat bukan tujuan. Gereja adalah alat Allah untuk mewujudkan misinya menghadirkan kerajaanNya di atas dunia ini (bandingkan: Sehingga tercipta langit dan bumi yang baru wahyu 21). Sehingga gereja hanya menyampaikan maunya Allah, bukan maunya kita. Sebagai alat, gereja hanya menjadi penting jika ia menjalankan fugsinya yaitu menyampaikan misi Allah, pembawa kabar baik (euanggelion). Sehingga jika gereja tidak berfungsi seperti ini ia menjadi insignifkan. Gereja bukanlah bertujuan untuk dirinya sendiri; memperbesar dan memperkuat dirinya sendiri. Sikap seperti ini berlawanan dengan sikap solidaritas yang ditunjukkan Allah dalam memberikan anakNya tunggal (Yoh 3:16) dan Golgotha. Tapi Gereja sesuai dengan pengertian ek-kalio, dipanggil keluar maka setiap jemaat as being a church dipanggil untuk mewujudkan kerajaan Allah di dunia melalui tiap pribadi anggota jemaat yang mengakui dirinya sebagai pengikut Kristus haruslah hidup berdasarkan injil (hakekat manusia baru yang hidup dalam roh- being as a church).

Jika tiap jemaat berpola tindak seperti ini maka akan terwujud persekutuan gereja yang hidup di dalam dan dengan Kristus, dimana iman harus diekspresikan; Seseorang tidak dapat mengclaim mendengar suara Tuhan tanpa mampu mendengar ratapan seluruh ciptaan; Seseorang tidak dapat mengatakan telah menerima terang tanpa memancarkan terang itu. Disnilah Gereja sebagai tubuh Kristus mewujudkan ulang kuasa kristus, sehingga pelayanan gereja menjadi kesaksian.

Berdasarkan pemaparan di atas maka GBKP lima tahun ke depan haruslah menjadi
bukan yang eksklusif dan ekspansif tapi inklusif, inspiratif dan rekosiliatif, disinilah ia berperan dengan gaya yang menghamba siap mengabdi kepada semua dan haruslah ia:

1. Berkesadaran identitas yang kokoh (teologia kontekstual dalam hubungan let the church be the church).
2. Memiliki visi yang jelas (agar mampu mempertahankan identitasnya sebagai
gereja)
3. Peka dan tanggap dalam perubahan situasi (church for the world)
4. Oikumenis (gereja sebagai milik Kristus, church of Christ)
5. Kepedulian sosial dan berwawasan kebangsaan yang tinggi (solidaritas yang
kontekstual)
6. Kepemimpinan yang efektif, aspiratif, partisipatif dan kolektif (management
kepemimpinan)
7. Partisipasi warga jemaat yang luas (being as a church)
8. Spiritualitas yang bersolidaritas (berketaatan penuh kepada Allah dan kasih
kepada manusia)



Selamat bersidang sinode. Wujudkanlah being as a church , BERLAKU SEBAGAI TUBUH KRISTUS selama mengikuti persidangan ini, sehingga segala sesuatu yang terjadi selama sidang sinode GBKP yang ke XXXIV ini adalah dari dan untuk kemuliaan nama sipemilik gereja saja, yaitu Kristus Tuhan kita. Amin.

Jumat, 19 Februari 2010

Catatan at the Changi Airport, Singapore

Dear all,
Karena ada waktu (abis nge FB di Changi airport, daripada shopping kan bagus kerja atau nge FB)- saya mau share beberapa komentar.
1. Gembira sekali ada Galeri buku Karo, bagus jg jk tdk hanya GBKP oriented tp semua yg ada karonya, semisal penulisnya org karo buku atau artikel apa saja, rsd. Turang Martin, engkai la upayaken ndu kerina buku enda banci ibaca online?
2. Saya sbgai seorg pemula FB jadi ketawa ktka melihat home FB ini jadi aneka warna, dalam arti semua kita share our friends. Semisal semua teman saya menjadi teman kalian. Yg saya ketawa krn byk teman sy yg diluar complaint katanya, lihatlah apa yg sy kopi: "I went on your Facebook – BUT GUESS WHAT – it’s all in Indonesian!! I enjoyed some of the pictures..."--- ha ha kalau lah mereka tau bahwa di dalam itu juga banyak bahasa karo--. Sebentar alumni SMP Neg I n SMA Neg I Medan jg akan menuliskan Minda, it is too much in Karonese! padahal tanpa setahu saya, cita-cita saya yg memadukan 3 konteks yg bisa berdialektika resiprok tercipta dalam FB ini! Tanpa saya duga mulanya- bahkan dialog intra church n inter-faith ada di FB ini-- kaya sekali. Tanpa kita mendiskusikannya tapi kita sdh live in the pluralistic way of life, itu hanya bisa terjadi krna our way of thinking sdh begitu! Jadi selamat ber FB n gunakanlah fasilitas ini utk mengembangkan dirimu. Ingat always Do Your Best. N today must be better than yesterday n tomorrow must be better than today!

Saya mau ke Bookstore dulu liat buku terbitan terbaru yg lagi dipromosikan oleh mega-industri-- ukh, untuk menentukan buku yg bagus pun masyarakat sudah didikte industri, mau lagi didikte!


Komentar:

Saya juga baru seminggu ber-FB, belum mahir memaksimalkan pemanfaatannya. Pada dasarnya saya lebih suka "konsultasi" dengan "tulang" Google, baca situs-situs web dan kirim tanggapan, kirim email, baca blog. Diskursusnya fokus dan informasinya bermanfaat. Setelah kasus Prita, saya masih menimbang. Tetapi ketika muncul kasus buku "Gurita Cikeas", ... See moreusulan Gus Dur jadi pahlawan, komentar penginjil Pat Robertson tentang gempa Haiti yang dikaitkan dengan "divine curse", dan sederet skandal yang terjadi di tanah air, saya mulai tanya kiri-kanan. Pertimbangan lain, kini kita memasuki era global serba digital dan multi-media. Salah satu ciri masyarakat era ini adalah afiliasi dan sosialisasi dengan komunitas maya. Connecting, networking, communicating, informing dan sharing issues. Termasuk, bagaimana kalau Minda berkiprah di lingkungan nasional di masa-masa mendatang dan bukan "glocal" (global-local) dan kita dukung? Jujur saja, kalau FB dimanfaatkan sekadar "asbun" (asal bunyi), mubazir, cuma buang waktu. Have a nice trip!
27 January at 14:33 · (Rainy MP Hutabarat).

Hi Rainy,

Senang sekali bisa komunikasi lagi dgn teman senat mahasiwa STT Jakarta dulu. Dimana teman lama kita dulu? Nona Risakota, Novembri dl yal? Masih nulis mbak? Saya kamu sebut glocal? Ha--ha dari kabanjahe tembak New York, Amsterdam, london dll ya-- tulisan saya kan selalu menyentuh aspek nasional.

Saya ini kan sebenarnya akedemisian, dan kalian yg jatuh dalam politik kepentingan, sehingga mengorbankan idealisme. Dan itu kan sangat berdampak bukan hanya ke wibawa kekristenan di tanah air ini tapi juga bargaining power kita. Masak kekacauan dalam penegakkan Pancasila n UUD 45 tidak bergigi lagi kita. We have been depending too much on the moderate wings NU and Muhamadiyah statement's. SDM kita kacau balau, dan kita biarkan begitu, malah kita berkontribusi untuk itu ketika memilih pimpinan yang kita tahu sebenarnya belum atau kurang layak bukan. ... See more

Dimanapun saya berada saya hanya mau memberikan yang terbaik yg saya miliki, no matter where it is. Dan saya memang merasa tertantang di GBKP. Teman saya banyak yg bilang kok mau Ph.D Amerika tinggalnya di Berastagi. Inikan pertanyaan org2 yg belum tau bahwa dalam konteks global begini yg diperkuat adalah sektoral lokal agar mandiri dan mampu tidak hanya survive tapi berdampak dalam arus kekuatan multi-cooperation. Kelompok Amerika Latin telah membuktikannya, why dont we try?

Wah jika tdk di stop saya akan bisa buat ceramah di note saya utkmu. Saya kangen kita bertemu diskusi, dimana lagi kelompok intelektual kristen yg ada dulu ya? keep in touch via FB, nanti setiba di Vienna sy akan FB kamu lagi. Salam buat semua teman dulu. Kirimin aku semua buku yg kamu tulis with no charge! mauliate godang inang
27 January at 15:45 · (Minda P)

Komentar atas Komentar

Tidak tau mengapa ketika menunggu telepon dari seorang yang berjanji menelpon malam ini, saya iseng membuka google dan mencek nama saya sendiri. lalu saya berhenti dibagian yang mengkomentari tentang artikel yang saya tulis yang berjudul Kemandirian Daya dan Teologia...di group itu diberi judul GBKP dan kekaroan Jemaatnya. Karena tertarik saya membuka bagian itu dan ternyata bagian itu adalah dan menjadi topik diskusi yang cukup panjang di GBKP yahoo group yang memang jarang saya baca. Saya baca komentar-komentar itu. Banyak yang bersifat praktis dan emosional yang acap saya katakan sikap seperti ini hanya membawa kita "no where." Dwipa cukup mengerti arah artikel, namun di penghujung, jatuh kepada masalah pendekatan yang adalah metode bukan substansi. Untuk mengerti apa yang dimaksudkan seorang penulis, adalah sangat menolong jika membaca keseluruhan artikelnya, dan membaca semua tulisannya. Sehingga bisa menangkap intisari atau pokok pikiran yang ditawarkan. Tulisan saya biasanya mengajak orang untuk melihat dan mempersiapkan GBKP ke depan (church with the future). GBKP yang ada kini seharusnya sudah disiapkan oleh para pemikir GBKP yang bekerja 15-20 tahun yang lalu. Untuk mengkaji bagaimana GBKP nanti agar ada dan bermakna haruslah memadukan pemahaman ekklesiology dengan analisa konteks dari sudut anthropologi, sosiologi, psikologi, ekonomi dan politik. Met malam.

Well, senang membaca tulisan singkat ini Mam. Prof. Augustine and MP memberi saya banyak pemahaman ttg de-contextualizing dan re-contextualizing theology. Saya menyadari tugasndu dan teolog GBKP tidak ringan untuk merekonstruksi Teologia Karo bagi GBKP. Tuhan tetap sinampati.
10 December 2009 at 17:39 Erdian Sembiring Kembaren

Kerajaan Allah vs Kerajaan dunia? Antagonis Atau Dialektikalkah?

Kerajaan Allah vs Kerajaan dunia? Antagonis Atau Dialektikalkah?

Perwujudan Kerajaan Allah yg dicitakan Yesus bisa dimengerti seperti konsep invisible church, dan kita yg berada dalam kerajaan dunia, dalam pengertian Calvin haruslah lebih menekankan konteks visible church. However pola pikir, ucap dan tindak dlm konteks visible church harus dalam terang dan arah invisible church ini.

Maka, jika kita setuju bahwa kerajaan Allah bukan antagonis kerajaan dunia, tapi berdialektika, nah ini!! Gereja harus berperan sekali di dalam menerangi arah kerajaan dunia agar perlahan tapi nyata tertransform menjadi kerjaan Allah, kan ini misi pengikut Kristus seluruh dunia, yaitu mewujudkan visi itu, yaitu mewujudkan kerajaan Allah di atas dunia ini.

Nah persoalannya jika berperan menerangi dan menentukan arah maka gereja harus

1. mampu berdialog dengan pemerintah juga semua badan trias politikanya (lihat konfesi GBKP), gereja menguasai bahasa sosial, politik, budaya dan ekonomi selain teologia tentu.

2. Mampu membimbing/mengarahkan agar kesemua badan bekerja untuk people (rakyat) atau bahkan kini untuk keseimbangan semua ciptaan. Inilah arti Golgota, untuk manusia. Kuasa yg dimiliki Yesus yg diberi oleh BapaNya untuk memulihkan kemanusiaan. Itu juga tugas eksekutif, legislatif dan judikatif kita.

Persoalannya adalah orang-orang yang terpilih di ketiga tempat ini kebanyakan bukan pilihan Allah, tapi terpilih karena kekuatan uang, dll- lihatlah apa yg dimuat SIB tgl 5 february sy cuplik:

dari sejumlah anggota DPRD Karo menyebut, Parpol tertentu telah memasang tawaran tarif kepada balon-balon bupati ke depan berkisar Rp300 juta sampai Rp500 juta/kursi kalau kandidat tertentu ingin maju dari jalur politik. Menurut oknum para anggota dewan dari berbagai Parpol yang meminta tidak menyebutkan identitas ini, menambahkan bahwa, tingginya tarif tersebut tidak terlepas dari besarnya biaya tertentu yang harus dikeluarkan oknum tersebut selama masa-masa kampanye sampai berakhirnya Pemilu Legislatif, 9 April 2009 silam.

Sehingga tujuan mereka di dalam masa bakti mereka yg utama adalah balik modal. Rakyat nanti dulu. jika sekarang orang karo ribut soal harga jeruk, dll, salah siapa? ini adalah dosa komunal, dosa kita semua. Kita menerima uang mereka, dalam wujud apapun juga. Siapa yg tdk merasa berdosa, silahkan yg pertama lempar batu ke perempuan itu kata Yesus. Yg paling gampang adalah menuding kesalahan orang lain, salah anda dan saya (kita) bagaimana? La lit sibujur, sada pe lang. Kerina enggo nilah.

Terus terang GBKP gagal dalam membina spiritualitas jemaatnya. Bukankah banyak anggota GBKP yang subjek dalam ketiga lembaga itu dan yang juga sebagai pemilih (voters) kemaren? Kita selalu lupa bahwa Yesus tidak "asbun" ketika Ia mengatakan di kayu salib, ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat. Aristoteles juga mengatakan itu. Kita? diampunikah? karena kita tahu apa yang kita perbuat. Bahkan kita memakai kesempatan ini sebagai aji mumpung- sehingga terjadilah perputaran uang yg bermotifasi ketidakbenaran- bila kebenaran sebagai out put dari ketidakbenaran? Never!

Lalu bagaimana? jika kita masih berani mengclaim bahwa kita adalah pengikut Kristus maka kembalikan Kerajaan Allah sbgai penerang dan arah kerajaan dunia ini. Kita sdh diberi kemampuan untuk tampil beda, krna Kristus telah mmberi contoh Golgota yg bukanlah anugerah murahan (cheap grace, Dietrich Bonhoeffer). Hentikan semua permainan uang yg hanya mmbawa kita pada maut! Kesenangan yg kita dapatkan dgn uang dari sini hanyalah sesaat, krna uang itu bukan dari dan buah ketulusan. Kekuasaan/jabatan yg kita dapatkan dari hasil uang tadi juga tidak akan mmbawa kebahagiaan pada siapapun, Malah tekanan. Kembalikan semuanya pada aspek panggilan dan pilihan Allah serta jabatan itu adalah mandat Allah untuk melayani. Semakin tinggi jabatan kita semakin melayani kita. Jika kita mengembalikan aspek ini ketempatnya kembali, maka hal-hal lainnya akan ditambahkan padamu, kata Yesus.

Tunjukkan bahwa orang karo adalah orang yg hidup tapi hidup. Krn hanya yg hidup ada pertumbuhan. Yang lalu biarkan berlalu, hari ini n esok disongsong dgn optimis dan positif. Remember, today must be better than yesterday n tomorrow must be better than today. Lalit simetahat ibas Dibata.

Komentar:

Zaman internet, dualisme sudah gugur. Meminjam Pak Eka, paradigmanya "both... and... (bukan either... or...) Golden way (Jalan Kencana) adalah dialektika. Minda, bagi dong ceritamu dari Eropa sana! Masak sih kamu suruh aku mengorek-porek Calvin. Dasar dosen, hehee.. (Rainy MP Hutabarat).

Good analysis Mam. Jadi klo GBKP gagal dlm membina spiritualitas jemaatnya, dimanakah letak kesalahan dalam pembinaan tersebut? Apakah pada system yg kita punya, metode yg kita pakai, pengajaran yg belum membumi atau pada orang yang membinanya? Moga-moga saya salah tidak pada semua bagian dari proses pembinaan itu. Kalaupun begitu, ya harus segara ... See moredi benahi, di rekonstruksi, di restrukturisasi agar tidak mengakar terlalu dalam, kasian jemaat kan Mam? Sebab mereka yg akan selalu menjadi korban dari semua ketidak beneran ini sehingga mereka tidak merasakan hadirnya syalom dan kerajaan Allah ditengah tengah mereka.
06 February at 22:24 · (Erdian Sembiring).

secara sederhana Kerajaan Allah mencakup seluruh dunia ciptaannya, oleh karena itu kerajaan dunia harus dikritisi sebagaimana mestinya yang dikehendaki Allah sang Kreator dan yang empunya jagad raya. Jadi dengan demikian tanggungjawab manusia adalah tetap menjaga dan memelihara ciptaan itu sendiri dengan konstruktif pemikiran dan aksi nyata.Tuhan Berkati Miss Minda dan Kita semua.. Amin..
07 February at 15:38 · (Edward Manalu)

Sabtu, 26 Desember 2009

Wawancara Harian Perjuangan Dengan Pdt Minda Perangin angin Di saat Sidang Raya PGI

Wawancara Harian Perjuangan Kepada Kami Menjelang dan Sesudah Sidang Raya PGI di Mamasa November 2009. Inilah transkrip yang mereka kirimkan kepada kami dan kami muat dalam Blog kami,



KONSENTRASI KE GBKP BUKAN PGI

Pendeta Mindawati, itu nama yang dikenal di lingkungan rohaniwan Indonesia khususnya GBKP. Namun di Mancanegara ia dikenali sebagai Revd. Mindawati Perangin-angin PhD
Chairperson of Human Resources Development, Personnel, and Ecumenical Relation of The Karo Batak Protestant Church.Di sela - sela kesibukannya, ia menerima wawancara wartawan HU Perjuangan Drs Jenda Bangun dengan multitema pembicaraan yang dikemas dalam dua edisi penerbitan.
Inilah petikan wawancara pertama.

JB : Apa kabar dan apa kesibukan yang sangat mendesak sekarang ?

MP :Baik-baik saja, Terima kasih. Kesibukan yang sangat mendesak sekarang bagaimanapun menyelesaikan semua tugas menjelang sidang Sinode 2010. Karena mandat penugasan kan lima tahun. Namun disamping itu toch kesibukan lainnya sebagai seorang yang bekecimpung juga dalam konteks nasional dan internasional tidak bisa diabaikan. Juga kesibukan lokal di GBKP dan kesibukan sebagai seorang pendeta, khususnya di saat bulan Natal, Desember ini. Cuma bagaimanapun sibuknya toch kita kan harus mampu me”manage” tidak saja antara prioritas kerja tapi juga antara kerja dan keluarga. Semisal, ini kami baru pulang dari Sidang Raya PGI, di Mamasa. Selesai tanggal 24, lalu bermobil ke Makasar lebih kurang 11 jam, tiba di Makasar sudah lewat tengah malam dan itu sudah tanggal 25. Dan harus tiba di airport Makasar jam 5 pagi, karena ambil flight pertama ke Jakarta, karena ada pekerjaan siangnya tanggal 25 di Medan. Lalu tanggal 27 harus terbang lagi ke Batam untuk beberapa hari ceramah di semua GBKP di Batam. Dalam hal ini kita juga harus mampu menyediakan waktu buat diri kita sendiri agar kesehatan fisik dan mental terjamin. Biasanya ini yang terabaikan, dikorbankan sebagai prioritas terakhir. Kami dalam proses belajar untuk memberikan porsi ini sejajar dengan porsi lainnya.

JB :Kami mendengar Anda disebut – sebut sebagai salah satu kandidat kepengurusan PGI Pusat, apa benar ?

MP : Wah pertanyaan keduanya kok terlalu to the point ya? mbok pakai intro dulu, selain menanyakan apa kabar, kan enak juga jika ada dulu pertanyaan lainnya, sebelum masuk kedalam topik ini, ha-ha-. Kami senang anda bertanya tentang hal ini, walau terus terang kami “kaget” juga disodok dengan pertanyaan ini. Kalian wartawan-wartawan kupingnya ada dimana-mana ya.

Ceritanya begini. Sejak setahun yang lalu sebenarnya sudah didengungkan para perempuan agar Sekum PGI periode 2009-14 haruslah perempuan. Walaupun dalam pemilihan Sekum periode 2004, GBKP sudah mulai mau masuk ke ajang pemilihan Sekum. Cuma waktu itu kandidat dari Sumut cukup banyak, antara lain Dr. Langsung Sitorus, Dr Einar Sitompul dan Dr. Richard Daulay. Karena kita yang paling muda diantara kandidat, maka dimintalah kita mundur. Pdt N. Keliat yang waktu itu Sekum GBKP yang mewakili menjadi team nominasi, mainnya manis dan bijaksana, GBKP mundur, apalagi Dr Daulay mengatakan tidak boleh calon Sekum yang belum 45 tahun, walau itu bau canda, tapi kami sangat menghargai kandidat yang maju saat itu.

Pemilihan tahun ini agak lain, dalam arti setahun sebelumnya kita sudah mulai didekati para perempuan untuk mau jadi Sekum PGI. Namun kami tidak pernah memberikan jawaban yang pasti, karena panggilan tugas di GBKP dan berpikir ada senior perempuan yang lebih berhak yaitu Pdt Ery Lebang dari Toraja.

Kami secara pribadi berpikir sangat serius akan peran perempuan di PGI, mengingat dampak dari tampilan perempuan yang pernah menjadi Sekjen Dewan Gereja Nasional di Negara-negara lain. Dan kesadaran kami bahwa perempuan mempunyai caranya sendiri dalam memimpin, yang dengan manis dinyatakan oleh Pdt Karel Erari dari GKI-Papua dalam diskusi kelompok di Penelahan Alkitab di kebaktian pagi tanggal 21 November di Sidang Raya di Mamasa kemaren, “sebagai ciptaan yang terakhir, she must be better than the previous creation, that was Adam.”
Walau waktu mendengar statementnya tentang perempuan yang memang banyak diutarakannya - yang kami pikir disimak oleh ketua umum GBKP, Pdt J, Peranginangin sebagai anggota kelompok diskusi- kami tertawa, karena mengingatkan kami akan advisor (pembimbing studi) kami di Amerika, Prof. Phyllis Trible yang merupakan perempuan kedua menjadi Presiden Biblis (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) sedunia setelah Prof. Elisabeth Fiorenza yang juga adalah sahabat baik kami, yang pernah mengutarakan hal ini dalam bukunya yang sangat popular Text of Terror. .

Pandangan kami tentang perempuan pernah kami tuliskan untuk hari ulang tahun Dewan Gereja Asia 50 tahun. Jadi kami hingga saat ini, ketika kami menjawab pertanyaan-pertanyaan anda, walau Sidang Raya PGI sudah selesai, dan memilih lelaki, kami masih tetap menganggap perlunya perempuan yang mampu, trampil dan tegas disitu. Ketika kami men-sms beberapa orang peserta PGI di Sidang Raya kemaren tentang hal ini, mereka bertanya, “apa ibu Minda mau disitu, jika ya datanglah cepat kesini,” kami men-sms bukan berarti kami yang mau disitu, kan banyak perempuan lain, dan kami tidak bisa hadir di Sidang Raya secara penuh, karena Sidang Raya ini took more than a week , mana perjalanan saja menghabiskan waktu bisa 3-4 hari dan di masa kami harus konsentrasi menyelesaikan Crash Program. Berdasarkan ini kami pikir kami harus dengan bijaksana menyikapinya.

Beberapa kali dalam pertemuan di Jakarta sejak tahun lalu hal ini disampaikan ke kami. Kami mengatakan bahwa konsentrasi kami ke GBKP bukan ke PGI, apalagi setelah kami diskusi dengan intens dengan mantan ketua Moderamen GBKP Pdt Em. A Ginting Suka. Dalam Konven Pendeta se GBKP di Sukamakmur ketika Pdt Erik Barus bertanya langsung apakah kami mau dicalonkan jadi Sekum, kami bilang tidak. Pdt Erik Barus saat itu juga mengatakan dirinya tidak mau maju, cuma menjelang Sidang Raya dia mengambil keputusan untuk maju jadi calon Sekum.

Kami diundang makan oleh beberapa orang di Medan, di SMS- in beberapa orang, termasuk Pdt GBKP untuk mendukung pencalonannya, kami terima dan mengatakan ya. Yang paling terkahir men-sms kami tentang pencalonan ini adalah Dr SAE Nababan, ketika kami mendiskusikan tentang keberangkatan ke Sidang Raya, karena sms Dr Yewangoe haruslah kami hadir di tgl 16-24 yang kami pikir tidak mungkin. Mahasiswa Crash Program harus dibimbing masuk dalam proposal penulisan tesis, yang jika tidak dilakukan akan berdampak banyak pada pergeseran jadwal mereka, yang tidak mungkin lagi dilakukan. Karena semua Moderamen ke Manado, maka kami harus menangani keduabelas siswa sendiri. Inilah kami prioritas untuk diselesaikan, apalagi mengingat Ketum dan Sekum GBKP sudah ada di sidang dari awal, dan kami berpikir pekerjaan di Sidang Raya baru mulai sibuk biasanya di hari terakhir ketika masuk kelompok dan seksi, dan kami tahu kami selalu dapat tugas jika tidak sebagai ketua kelompok pasti sekretaris kelompok, dan dugaan kami betul. Kami dipilih sebagai sekretaris seksi Dokumen Keesaan Gereja (DKG, kali ini khusus dokumen PBTPB) jadi hari-hari kami selama disana disii dengan kerja.

Kembai kita ke cerita sms Nababan. Mulanya kami katakan kami datang tanggal 17 tapi pulang tanggal 22, karena tanggal 23 kami harus mimpin kursus, lalu Nababan mengatakan, wah kalau mau jadi calon anggota MPH harus hadir sampai selesai. Lalu kami katakan:
a/ tidak bisa kami menghabiskan waktu di Sidang Raya selama 11 hari, karena selain Crash Program harus ditangani, ada juga kursus yang harus dilakukan.
b/. calon ke MPH PGI yang diprioritaskan adalah Pdt Erik Barus yang mau jadi full timer PGI di Sekum dan Pdt Rosmalia Barus yang juga mau jadi full timer di Wasekum. Lalu kalau ada yang part timer itu boleh kami, karena sejak dulu GBKP selalu berperan di gerakan ekumene, yang jelas kami tidak mau dan tidak boleh sebagai full timer di PGI.
Makanya nama yang GBKP berikan adalah tiga (3). Pemberian nama dari GBKP dalam jumlah 3 pun banyak sekali membingungkan orang. Yang kami sendiri tidak bingung, karena memang tidak konsentrasi kesitu. Walau belum diputuskan di sidang Moderamen akan ke-3 nama itu, namun sudah dipercakapkan di Konven pendeta, atas saran Erik yang mengatakannya ke Pdt Panji, Simon dan kami: “masukkan saja 3 nama dari GBKP yaitu Pdt Erik, Rosmalia dan Minda.
Latar-belakang pemikiran waktu itu adalah hanya Rosmalia yang mau jadi fulltimer Wasekum PGI, sedang Erik dan kami mengatakan tidak mau. Memajukan nama 3 hanya sekedar berjaga-jaga saja, dengan pikirannya sedikitnya GBKP bisa mendapat jatah part timer, yaitu salah satu Ketua di jajaran MPH.

Rupanya perkiraan Pdt Erik salah, kalau kami sendiri tidak memperkirakan apapun sebelumnya namun memberikan hak mutlak penuh ke Panitia Nominasi. Kenapa kami bilang perkiraan Pdt Erik salah, karena gereja lain menanggapi tiga nama dari GBKP dengan bingung, “kok ada 3 nama?” Sehingga saya katakana ketika orang menginginkan penegasan, jika harus memfokuskan ke satu nama, fokuskanlah ke Pdt Erik Barus, jadi sekum PGI.
Ini kami katakana baik lisan, telepon maupun sms. Namun ketika kami tiba di Sidang Raya, banyak yang datang bertanya, “ibu minda kok mundur dari pencalonan?” Kami bingung kok ada kata mundur dan pencalonan apa? “Tidak ada GBKP yang mundur, kami bilang. Pdt Erik maju ke Sekum ini prioritas pertama. Jika terjadi sesuatu, Pdt Rosmalia Barus prioritas kedua, karena dia juga mau jadi full timer Wasekum PGI. Kami hanya part timer, jika memungkin saja, dari pada GBKP tidak duduk dimana-mana.
“Wah susah itu” kata mereka, “jika Gereja sudah mencalonkan satu nama untuk Sekum, kursi lainnya tidak lagi.” “Ya tidak apa apa.”, kami bilang, yang jelas GBKP fokus ke Pdt Erik jadi Sekum.” Inilah sebenarnya keadaannya. Jadi jika Pdt Erik pun tidak terpilih jadi Sekum PGI dan GBKP tidak mendapat kursi apapun dalam periode 2009-2014, ada ceritanya sendiri.

JB : Lalu , Anda memilih mengabdi terus di GBKP ?

MP :Setelah mendengar penjelasan di atas anda sudah tahu jawabannya bukan?

JB : Atau ada yang belum terselesaikan sepanjang periode tugas di bidang SDM GBKP ?

MP : Bukan hanya karena ada yang belum terselesaikan dalam masa tugas kami hingga tahun 2010 maka kami mengambil keputusan untuk tinggal di GBKP, tapi dari awal sudah kami katakan bahwa kami pulang dari Amerika untuk kembali ke GBKP bukan PGI. PGI adalah bagian dari hidup kita bernegara dan berbangsa yang bisa dilakukan juga di GBKP.
Inilah kerinduan kami dari dulu agar GBKP mampu berperan dan berindentitas lokal, nasional dan internasional. Kalau dibuka tulisan dan ceramah-ceramah kami sejak kami mulai bekerja di GBKP siapa yang paling mendengungkan hal ini? Siapa yang mulai mempertanyakan identitas kita? Siapa yang mengajak kita untuk me-dekonstruksi- dan rekonstruksi untuk mampu berdampak di konteksnya kini dan nanti- siapa yang membangunkan GBKP ini untuk mulai sadar akan siapa dia dan mau kemana dia? Siapa yang mengajak kita untuk membayangkan GBKP 15-25 tahun kedepan dan menegaskan perlu persiapan itu dilakukan sejak sekarang?
Tugas Moderamen yang ada kini bukan untuk konteks kini, konteks kini harusnya sudah dipersiapkan oleh Moderamen 3-4 periode yang lalu, Moderamen kini harus mampu mengantisipasi bagaimana GBKP 15-25 tahun yang akan datang dan mempersiapkan kader kader muda dan juga teologianya untuk itu. Jadi prinsip kerja kita adalah mempersiapkan hal Nanti, menghadapi hal Kini dan berpijak dari analisa kritis akan hal lalu.

Namun yang kami lihat, yang ada kini adalah kerja untuk masa kini dan lalu, sehingga tidak heran Permata-Permata dan orang-orang tua muda muda (usia 30-45) tahun merasa GBKP sudah tidak up todate- lagi, apalagi nanti 5 tahun yang akan datang dan tahun-tahun seterusnya!.
Hasil penelitian GBP kita menunjukkan hal itu. Melihat realita yang ada ini, bukankah sudah selayaknya kita atau kami fokus secara utuh penuh ke GBKP, khususnya dalam rangka pengembangan SDM dan Teologianya? Mengenai dana bagi kami, bukanlah faktor yang signifikan, karena dana adalah dampak dari kualitas daya, yaitu manusianya. Keseretan dana di GBKP dikarenakan mind set SDMnya, dalam bahasa teologis itu adalah penampakan iman warga jemaatnya. ( Bersambung Minggu Depan )




TUJUAN SAYA AGAR GBKP LEBIH BERMAKNA.


Pendeta Mindawati, itu nama yang dikenal di lingkungan rohaniwan Indonesia khususnya GBKP. Naun di mancanegara ia dikenali sebagai Revd. Mindawati Perangin-angin PhD
Chairperson of Human Resources Development, Personnel, and Ecumenical Relation of The Karo Batak Protestant Church.Di sela - sela kesibukannya, ia menerima wawancara wartawan HU Perjuangan Drs Jenda Bangun dengan multitema pembicaraan yang dikemas dalam dua edisi penerbitan.
Inilah petikan wawancara kedua.

JB : Kenapa tidak selesai, bukankah mitra Anda disana cukup berpengalaman bahkan ada yang pernah bertugas di Jerman ?

MP : Wah-wah kok pertanyaan melenceng begini--- asal anda bukan provokator saja ya, ha.ha. kami minta ampun dekh jika mau diobok-obok lagi. Masih ingat soal SKS kemaren, seusai SKS anda kan yang mewawancarai kami, dan cara-cara menjelang SKS itu kini dipakai lagi persis caranya sama menjelang sidang sinode 2010. Kami pikir cara ini tidak mendidik, bukan hanya ke generasi penerus tapi juga ke diri kita sendiri, sehingga kami sekarang lebih hati-hati walau masih tetap mempertahankan prinsip bahwa kami datang ke GBKP untuk bekerja meng-up-date-in nya.
Kami masih ingat sekali, ketika surat pengunduran diri dicabut, kami dan Ketum berbicara, waktu itu dalam konteks pembentukan Crash Program, dicuplik hanya sedikit saja, …” lihat kan tanpa kamu toch GBKP berjalan, dalam hal rutinitasnya berjalan, Cuma untuk hal-hal yang baru dan mengenai mutu, itu adalah tugasmu, itulah peranmu.” Kami pikir dulu dan hingga kini, itu adalah komentar dan penilain yang jujur.

Pertanyaan anda ini mau kami hubungkan dengan semua pertanyaan anda disaat usai SKS kemaren yang kami masukkan dalam dua blog kami, Wordpress dan Blogspot, jadi orang bisa membacanya sebagai reference.

Beberapa bulan yang lalu, ada ketua klasis yang membuka ke kami, bahwa aktor keramaian di SKS ya Moderamen sendiri. Ha-ha—kami sudah duga, Cuma ketika disidang Moderamen kami buka hal ini minta supaya ada keterbukaan agar kerja team selanjutnya enak, tidak ada seorangpun yang berbicara walau sudah diundang oleh Ketum.
Cuma ada sesorang yang mengatakan bahwa tuduhan itu tidak benar. Yach melihat kondisi team begini, maka diperlukan sekali masinis yang harus tampil bijak dan berpikir untuk GBKP ke depan. Apalagi menjelang sinode 2010. Fokus kita adalah GBKP ke depan, tidak ada pribadi atau kelompok, like atau dislike, bagaimana GBKP bisa berdampak kini dan ke depan. Berbicara kini saja bisa dikatakan bahwa kita belum memenuhi tugas yang dimandatkan GBP (Garis Besar Pelayanan) 2005-2010, itu nampak dalam hasil penelitian GBP yang dibuat dalam kerangka penyusunan GBP 2010-15.
Hanya di konteks Metropolitan GBKP bisa dikatakan masih ok dalam jumlah kehadiran jemaat dan kolekte, tapi di kota, semi kota sudah mulai warning, di desa dan desa tertinggal amat sangat diprihatinkan. Persekutuan kategorial juga sangat mengkawatirkan, Moria yang selama ini dibanggakan sudah mulai terlihat menurun, Permata lampu merah di semua wilayah, Mamre hampir antara ada dan tiada. Aspek spiritualitas jemaat masih bersifat hukum dan anjuran, bukan kesadaran, dalam arti kami hendak mengatakan bahwa ajaran kita masih bersifat dogma yang harus diingat dan dihapal, belum menjadi kebudayaan. Sehingga tidak heran jika pola tindak, pikir dan ucap berbeda. Maka bisa dikatakan bahwa visi GBKP yaitu “Mewujudkan warga yang hidup setia kepada Tuhan,” yang sudah dimulai sejak tahun 2000, masih belum tercapai. Sehingga bisa saja visi ini masih dipakai terus dengan penjabaran misi yang diubah dalam GBP 2010-15. Evaluasi tentang alasan tidak pencapain bagaimanapun akan dilakukan, dan berdampak pada pen-shape-an program kedepan.

Mungkin anda bertanya kenapa pertanyaan anda tentang pekerjaan dan team work namun kami jawab dengan menjelaskan sekilas keadaan team dan GBP. Hal ini kami lakukan agar semua kita tahu bahwa tugas team Moderamen adalah melaksanakan program yang adalah misi untuk mencapai visi GBP 2005-2010. Sehingga jika ada pertanyaan mengapa belum tercapai pemenuhan visi GBP, karena dalam melaksanakan program yang tertuang dalam misi belum terjadi kesepakatan kerja dalam team sendiri karena “person behind the gun” belum terbiasa kerja berlandaskan job description masing-masing dan Masinis juga masih gamang mengarahkan gerbong ke satu tujuan yang jelas.
Sifat kerja yang keroyokan (digumuli secara ramai-ramai) masih sangat dominan dan dipikirkan sebagai yang wajar. Takutnya saya malah dimutlakkan, karena dipikirkan sebagai yang berazas kekaroan yaitu musyawarah dan rembuk bersama. Padahal ini adalah tanda cara kerja yang belum mengerti akan keprofesionalitasan kerja yang berlandaskan job description. Komposisi team yang ada kini yang beragam, ada yang mengerti ada yang tidak dan dengan pemimpin yang tidak mampu menerangkan dan tegas, kacaulah. Jelas ada yang tersinggung jika terjadi “passing through”, dan banyak sekali ini terjadi.

Struktur yang ada sekarang sebenarnya mengharuskan kita memilih orang yang professional, bukan berdasarkan lobi, like and dislike apalagi kade-kade (sada kuta, sada marga) dll. “The right person at the right place”, sehingga semua orang harus mempunyai visi dan misi, bukan lobbi sana-sini apalagi melakukan “Character assassination”.

Jadi ketika anggota team yang terpilih tanpa visi dan misi asal masuk saja dalam komposisi Moderamen, atau Klasis atau juga BP Runggun, maka ybs akan bingung melandaskan dan mewujudkannya programnya atas GBP, apalagi jika tidak di back-up oleh ketuanya. Lihatlah hasil penelitian GBP tentang pandangan jemaat tentang GBP:

JB : Kalau demikian program SDM selama ini belum tersosialisasikan seutuhnya ?

MP : Tidak juga dan bukan ini persoalannya. Yang patut menjadi perhatian ke depan bukan per bidang, tapi orang-orang yang mau masuk sebagai pemegang mandat hasil sidang sinode, menguasai bidangnya, serta memiliki visi dan misi di bidangnya secara khusus dan umum (GBKP) secara keseluruhan. Kemampuan dan tenaga Masinis sangat penting di dalam menggerakkan dan menibakan kereta di tempat tujuan yang tepat.

JB : Maaf, kalau ada “trouble” dalam kinerja ini bersifat tim atau sendiri ?

MP : Semua sudah saya jelaskan di atas, tidak perlu saya ulangi lagi.

JB : Anda tentu masih kuat dengan sistem yang ada ?

MP : Ha-ha jelas, wong ketika ini masih dalan bentuk kerangka kan team saya yang memberikan dagingnya. Cuma waktu itu kita belum terlalu sadar bahwa sistem struktur baru kita menuntut orang yang professional, konseptor, tapi juga mampu sebagai pelaku jika perlu. Yang saya dengungkan hingga kini adalah jika kita mempertahankan struktur yang ada tanpa membenahi “person behind the gun”nya, kita seperti naik mobil BMW tapi membuang tisu atau sampah dijalan. Dalam arti itu seperti tongkrongan (struktur) keren, tapi “mind set” pengemudinya nol. Tidak cocok.

JB : Bagaimana kalau Anda dicitrai sangat teoritis ?

MP : Ya wajar saja, wong tugas saya sejak datang adalah mengkonsep-konsep-dan konsep—wong sejak mantan Ketum A. Ginting Suka kan tidak banyak konsep yang diperbaharui, padahal teologia itu harus acap diperbaharui. Lihat saja sudah berapa lama kita melaksanakan PJJ, Pekan-pekan. Pernahkah ada evaluasi secara menyeluruh, tentang apakah masih layak, di konteks manakah? Methodenya bagaimanakah?

Kita terlalu takut atau malas, melakukan sesuatu yang baru. Saya memunculkan banyak konsep yang baru, jelas berdasarkan pengalaman dan analisa saya yang belajar, ceramah dan konperensi dimana-mana. Semuanya hanya bertujuan agar GBKP lebih bermakna. Itu juga yang dikatakan Ketum ketika saya balik dari pertapaan bukan? (lihat poin 5 di atas). Dalam Seminar Teologia acap dipertemukan antara teoritis dan praktis. Perlu saya katakan di sini bahwa kita sudah terlalu jauh jatuh dalam masalah praktis sehingga sudah banyak yang lari dari landasan teologis yang mencirikan identitas kita.

Hal-hal inilah yang saya upayakan untuk membenahinya. Perlu disadari bahwa Gereja bukan partai politik atau LSM, Gereja adalah milik Kristus yang berdasarkan Alkitab. Sehingga segala sesuatu ada dasar teologisnya yang beranjak dari pandangan “ekkesiologia”nya.

JB : Maksud kami, apakah Anda siap bertemu “ngawan” dalam konsep praktis dengan segala kondisi yang tercipta ?

MP :Ya Jelas saja, itu kan bergantung pada kondisi pekerjaanya. Jika kondisi pekerjaan masih menuntut perlunya konsep-konsep dasar, ya habislah waktu kita untuk mengkonsep. Jika kondisi sudah mapan dengan konsep, sekarang membutuhkan prakteknya ke lapangan, ya mulailah praxis dilakukan sambil melakukan analisa konsep yang dibuat sebelumnya. Inilah makanya ada “job description”, program kerja lima tahunan yang dibagi per tahunan. Saya malah mengusulkan bagaimana jika GBKP membuat program kerja 15-25 tahunan yang dibagi dalam pola lima tahunan yang dijabar tahunan?

Dalam praxis banyak sekali hal-hal yang kasuistik. Namun bagaimanapun semua hal yang praxis yang kasuistik ataupun tidak kasuistik kan harus diteoritiskan kembali bukan? Dalam praxis kita dirambui oleh Tata Gereja, GBP, Alkitab, Konteks dan tradisi Calvinis. Kepraktisan kita biarlah dalam koridor ini. Yang menjadi percakapan kini, dan sangat hangat semisal di Seminar Teologia adalah apakah kepraktisan kita ini masih menampakkan kecirian GBKP kita. Inilah pergumulan kini. Baik juga kita mulai merancang mana yang sentral, hal yang substansi dan mana yang praktis, hal hal metode pendekatan yang bisa diotonomikan.

Kalau pertanyaan anda lebih ke arah pola pikir dan sikap yang praktis dan kondisi jemaat yang beragam, mengapa tidak. Kalau saya suka roti bukan berarti saya tidak suka atau anti cimpa kan? Ha-ha-- (*)

Senin, 02 November 2009

Peranan Ekklesiology Dalam Pembentukan Tata Gereja

Peranan Ekklesiology Dalam Pembentukan Tata Gereja

I. Ekklesiology haruslah berdialektika dengan tata gereja

Bagaimanapun Tata Gereja harus berangkat dari dan menuju pada pemenuhan pengertian Gereja itu akan dirinya. Sehingga isi tata gereja haruslah berdialektika dengan pengertian gereja itu akan dirinya. Sehingga, jika hendak meninjau Tata Gereja Calvin maka yang perlu disimak adalah pengertian Calvin akan apa itu Gereja. Begitu juga jika hendak meninjau isi tata gereja GBKP maka yang harus dilihat pertama sekali adalah apa pengertian GBKP akan dirinya sebagai gereja.

II. Ekklesiology haruslah alkitabiah dan kontekstual

Perlu diingat bahwa lepas dari upaya Calvin yang mengupayakan untuk sealkitabiah mungkin, namun sangat disadari bahwa pengertian Gereja yang diangkatnya adalah dari dan untuk kepentingan konteks saat itu, yaitu dimasa Reformasi yang berada pada ketertarikan antara dua kutub yaitu, ekklesiologi Katolik Roma yang mengamini bahwa Gereja Katolik adalah kesinambungan historic apostolic Petrus, hingga Paus bukan hanya penerus Petrus bahkan penerus Kristus, dan kelompok Protestan Radikal yang menyatakan bahwa Gereja yang benar (the real church) adalah Gereja yang tidak nampak (invisible) yaitu yang berada disurga (pengaruh pandangan Plato, dualisme) seperti yang dinyatakan oleh kelompok Anabaptis, dan prinsip Reformasi [1] yaitu:

1. Keselamatan adalah anugerah[2] yang diamini berdasarkan iman (sola gracia, sola fidei/ justification by faith menjadi articulus stantis et cadentis ecclesiae /artikel yg membuat Gereja berdiri atau jatuh[3]).
2. Sola Scriptura. Pengetahuan yang sejati mengenai Allah hanya diperoleh dari Alkitab yang adalah dasar Gereja sehingga tidak pernah Gereja lebih tinggi dari Alkitab[4].
3. Imamat Am Semua Orang Percaya (1 Pet 2:5 dan tambahkan pengertian imam dalam surat Ibrani)[5]

Dampak dari poin 1 yaitu pernyatan bahwa keselamatan adalah anugerah yang diamini berdasarkan iman sehingga manusia yang percaya pada Kristus seharusnyalah manusia baru (regeneration, rebirth)[6] memunculkan konsepnya atas:

1. Gereja yang kelihatan (visible church).

Gereja yang kelihatan adalah gereja yang terdiri dari campuran orang munafik, yang mencari kehormatan, kekayaan, iri, memfitnah, orang-orang yang hidupnya tidak suci[7] (jelas pengertian ini dilandaskan atas pengertian Calvin akan apa itu manusia dan Allah), sehingga bagi Calvin gereja adalah sebagai seorang ibu[8] yang mengasuh serta mendidik anaknya sejak dari rahim[9] hingga mapan.

1. Pengertiannya akan manusia yang berhubungan dengan pengertiannya akan anggota gereja yang walaupun sudah diselamatkan namun tetap merupakan manusia yang berdosa sehingga gereja perlu melakukan
2. Penerapan disiplin dalam Gereja/Tata Gereja yang bertujuan untuk mengingatkan dan mengarahkan anggotanya untuk tetap hidup dalam status manusia baru sehingga:
3. Pentingnya unsur pengakuan dosa dan hidup baru dalam liturgy ibadah dan pengingatan akan sepuluh perintah Tuhan ( dan dalam menjalankan kehidupannya sehari hari anggota jemaat sangat bergantung akan
4. Peran Roh Kudus. Sehingga berdasarkan poin a, b, c, d dan e di atas Calvin menegaskan bahwa dalam gereja bukanlah factor disiplin yang prioritas tapi factor
5. penyampain firman dan sakramen, karena gereja adalah alat utama Allah untuk mewujudkan persekutuan dengan Kristus (invisible church) sehingga berdasarkan hal ini maka:
6. Allah memanggil orang-orang untuk ditugaskan untuk memberitakan firman, melayani sakramen, serta menuntun dan membina jemaat (Ordonnances Ecclesiastiques). Mulanya Calvin menetapkan hanya peran pendeta dan dibantu oleh para diaken di gereja Jenewa. Kemudian sekembalinya dari Starsburg ia menetapkan empat jabatan dalam Gereja untuk melakukannya yaitu Pendeta (pembawa firman dan sakramen); Pengajar (unsur teologia), Penatua (penilik), serta diaken. Ketiganya saling melengkapi untuk mencapai tujuan pembinaan.[10] Dengan mengutip Efesus 4:10 Calvin menegaskan

…”Kita melihat bagaimana Allah yang dapat saja membuat umatNya sempurna dalam sekejap mata, tidak menghendaki mereka mencapai kedewasaan kecuali melalui pendidikan dari Gereja.” … “sebab gembala-gembala diberi tugas untuk memberitakan ajaran surgawi--- Ia tidak hanya menghendaki supaya kita membaca dengan tekun, tetapi ia juga mengangkat guru-guru yang dapat membantu kita dengan jasa mereka…”[11]

1. Hal ini menyebabkan pengaplikasian pengertian akan “imamat am orang percaya” yang menjadi landasan para reformator sebagai upaya menentang keabsolutan peran manusia dan hirarki gereja yang nampak dalam gereja Katolik Roma dibatasi oleh Calvin.[12]

Dampak dari poin dua (2) Sola Scriptura nampak dalam upaya Calvin yang semaksimal mungkin mengalaskan semua konsepnya (Gereja, Peraturan Gereja, Pemerintahan Gereja, Manusia, Allah dll, lihat Institutio, Katekismus dan Tata Gereja Genewa dan Prancis) berdasarkan Alkitab. Sehingga tradisi tidak akan pernah lebih tinggi dari Alkitab. Alkitab haruslah dipelajari (lihat proposalnya akan jabatan pengajar), dan Alkitab haruslah diwartakan (kotbah minggu) secara benar[13], begitu juga Perjamuan Kudus[14]. Kotbah menjadi sentral di gereja serta tafsiran atas alkitab tidak bisa diabaikan. Mata pelajaran Biblika menjadi focus sekolah teologia Calvinis dan khusus di gereja Presbyterian, untuk semua calon pendeta harus lulus ujian bahasa Ibrani dan Yunani sebagai bahasa asli Alkitab.

Dampak dari Poin tiga (3), Imamat Am Semua Orang Percaya menghasilkan sistem musyawarah atau arih-arih dalam sistem Gereja yang dirancang Calvin yang nampak di Tata Gereja Jenewa dan Tata Gereja Calvinis untuk seterusnya. Juga dalam hal anggota gereja berhak memilih para presbyter dan ikut dalam mengambil keputusan. Sehingga sistem ini menempatkan keputusan yang tertinggi adalah sidang Sinode, bukan perkataan Paus. Perlu menjadi catatan bagi kita saya pikir bahwa walaupun ada upaya Calvin untuk menghilangkan jabatan dalam Gereja (semua jemaat sama, namun dengan pembagian jabatan yang dibuatnya yang diawali dengan jabatan Pendeta dan Diaken, lalu mucul jabatan Penatua dan Pengajar (lihat sistem konsistori/ BP Runggun dan Tata Gereja Perancis, pasal xxvii.29) toch juga tidak bisa mencapai pengertian Imamat Am Rajawi yang Murni.[15] Dalam arti disistem Calvin toch terjadi juga perbedaan antara anggota jemaat (awam, lay) dengan presbiter. [16]

III. Tata Gereja Calvin

Bagaimanapun diperlukan alat untuk mewujudkan pengertian gereja akan dirinya, itulah Tata Gereja. Tata gereja pertama yang dirancang oleh Calvin adalah Tata Gereja Jenewa yang bertujuan untuk menciptakan jenis manusia yang memuliakan Allah yang dipesan oleh pemerintah Geneva setelah pemerintah itu mengadopsi ajaran Reformasi. Adapun isi Tata Gereja Jenewa adalah:

A: empat jenis jabatan yaitu:

1. Pendeta. Fungsinya sebagai gembala: pelayanan sakramen dan pengawasan hidup (Ef 4:11)

Dalam Tata Gereja Jenewa tentang Pendeta dimuat dalam:

1. Siapa yang berwenang meneguhkan Pendeta
2. cara memperkenalkan calon pendeta
3. cara bentuk sumpah dan janji dari para pelayan evangelis
4. aturan jabatan kesalahan yang dapat dan tidak dapat diterima
5. peraturan perkunjungan (visitation)
6. cara perkunjungan.

1. Doktor (pengajar, Ef 4:11)). Fungsinya sebagai penafsir Alkitab
2. Penatua.[17] (Roma 12, orang-orang yang lanjut usianya yang dipilih dari anggota jemaat sebagai pemimpin[18]). Dalam bagian ini juga termuat sumpah konsistori

4. Diaken (1 Kor 12) untuk mengurus kaum miskin.

B: Tambahan isi Tata Gereja Jenewa adalah tentang:

1. Sakramen
2. Perjamuan
3. Nyanyian Gereja
4. Perkawinan
5. Hal-hal tambahan
6. Pemakaman
7. Kunjungan orang sakit; di penjara; anak-anak kecil; orang dewasa
8. Pemilihan Penatua dan
9. Pengucilan Gereja.

Tata Gereja Prancis (Discipline ecclesistique) yang ditulis Calvin setelah Tata Gereja Jenewa adalah dasar dari Tata Gereja Presbyterial Sinodal[19] yang diadopsi banyak Gereja Calvinis ditetapkan di sidang sinode di Paris tahun 1559. Tata Gereja ini lebih pendek dari Tata Gereja Jenewa terdiri dari:

1. Tentang Sinode
2. Pelayan
3. Penatua dan Diaken. Disini Diaken masuk dalam tatanan Presbyteros seperti yang diwarisi GBKP.
4. Ajaran Bidat/ Teologia dan
5. Perkawinan.

Di Tata Gereja yang dihasilkan Dalam Sinode Emden (Jerman) pada tahun 1571 mulailah peranan Klasis dipertajam.[20]

Hal yang penting dalam Tata Gereja Calvinis adalah:

1. Tugas Gereja tidak dilaksanakan oleh satu orang saja (Katolik Roma)
2. Bagaimana orang dipilih dan diangkat dalam masing-masing jabatan. Terjamin bahwa yg diangkat mempunyai kemampuan, tingkah laku dan kehidupan rohani[21]
3. Ada perundingan antar Pendeta dan antar Pendeta dengan Penatua.

Walaupun demikian jangan dikatakan bahwa system pemerintahan yang disukai Calvin adalah demokrasi. Bukan, tapi Aristokrasi (pemerintahan yang dipimpin oleh orang yang terbaik- aristoi- terkemuka). Kritiknya terhadap demokrasi adalah dapat merosot menjadi kekacauan.[22]

IV: Tata Gereja GBKP

Sistem pemerintahan GBKP mayoritas dipengaruhi tata gerja Belanda Emden 1571 dan Dordrecht, 1619. Namun seperti yang telah disebutkan di atas bagaimanapun tata gereja suatu gereja haruslah berdasarkan pengertian gereja itu akan dirinya, maka merefleksikan pemaparan di atas ke Tata Gereja GBKP, bisa dikatakan bahwa dasar teologis GBKP tentang Gereja diadopsi dari dokumen-dokumen Calvinis namun nampak kurang dikaji secara mendalam dan menyeluruh sehingga belum menampakkan suatu keutuhan teologis. Padahal diketahui bahwa setiap pernyataan teologia dihasilkan berdasarkan konteks dan untuk kebutuhan konteksnya, sehingga itu nampak dalam perwujudan tata laksana.

Hubungan pernyataan teologis tentang apa itu Gereja, jemaat dll, dengan Konfesi GBKP yang baru dan pemaparan-pemaparan teologis lainnya yang terdapat di Tata Gereja, secara keseluruhan belum kena mengena, seharusnya dalam pembukaan Tata gereja dimunculkan pengertian gereja akan dirinya sesuai yang tertulis dalam Konfesinya.

Coba kita cuplik satu poin teologis yang terdapat dalam Tata Gereja GBKP :

Dasar teologis anggota jemaat dituliskan:

Anggota sidi wajib :

1. a. Menjalankan fungsi dan peran sebagai Nabi, Imam dan Raja (imamat am orang percaya) untuk menyebarluaskan Kerajaan Allah (Keluaran 19 : 5 – 6; I Petrus 2 : 9 – 10).

Pertanyaan kami jika anggota sidi sudah wajib menjalankan fungsi dan peran sebagai nabi, imam dan raja, maka bagaimana peran para presbyter? Dalam menyimak tata gereja GKI dan GKJW dan HKBP hanya HKBP yang menuliskan hal ini itupun dalam fungsi dan peran para presbyter, bukan anggota sidi jemaat. Karena berdasarkan defini inilah maka dijabarkan tata laksana dari tugas, hak dan kewajiban yang bersangkutan. Namun jika pengertian ini yang mau dipertahankan terus, maka pembinaan terhadap warga jemaat haruslah menjadi prioritas agar mampu menciptakan anggota baptis menjadi mampu untuk Menjalankan fungsi dan peran sebagai Nabi, Imam dan Raja setelah menjadi anggota sidi.

Saya pikir Calvin juga tidak mengartikan anggota sidi jemaatnya seperti hal di atas mengingat Calvin mencantumkan itu sebagai fungsi para pendeta dan presbyteros.

Definisi Pendeta, Penatua dan Diaken dalam Tata Gereja GBKP sangat menampakkan warna Calvin (bandingkan dengan Tata Gereja Jenewa) Cuma dalam pemilihan (lihat banyaknya kemelut pemilihan Pertua, Diaken- BP Runggun – BP Klasis dan Moderamen; syarat- syarat pemilihan yang tidak diwujudkan secara tegas; sistem penilaian Sekolah Teologia yang berorientasi dominan pada aspek kognitif) dan penggodokan para presbyteros (kursus pengembangan dan penyegaran Pertua, Diaken dan Pendeta) sangat diperlukan pembenahan yang serius. Definisi yang diberikan Calvin menggodok Pendeta menjadi Pastor dan Theolog. Sehingga kurikulum Sekolah Teologianya diarahkan untuk menghasilkan Pendeta dengan kwalitas ini.

Strategi pembinaan yang merupakan inti dari tugas Gereja harus dilakoni serius, seperti:

1.
1. Pengadaan Pengajar yang handal
2. Sermon
3. PWG harus diaktifkan ,
4. Bahan dan pengelolaan pengajaran Katekisasi
5. Bahan-bahan PJJ, Bimbingan dll
6. Sekolah Teologia tempat penggodokan calon Pendeta GBKP
7. Konven.

Sistem organisasi yang diberlakukan di GBKP, seperti: Runggun- Klasis- Moderamen, sidang-sidang yang pengambilan keputusan dimusyawarahkan, yang ada dalam Tata Gereja GBKP berwarna Calvin, selain SKS (Sidang Kerja Sinode), karena peserta SKS tidak ada perwakilan Runggun (lihat Tata Gereja Sinode Emden). Cuma walaupun sistem GBKP Calvinis, namun dalam prakteknya sering terbentur kepentingan-kepentingan (ketertarikan kepentingan antar Runggun, Klasis dan Moderamen; juga ketertarikan antara peran Penatua dan Pendeta.[23] Perlu dipikirkan serius akan aspek dan kepentingan Runggun, Klasis dan Moderamen, dasar pemikiran haruslah kepentingan bersama sehingga aspek Gereja sebagai tubuh Kristus yang saling melengkapi dan solidaritas harus kembali dihidupkan

Satu hal yang kurang nampak dalam Tata Gereja kita adalah peraturan ibadah yang sebenarnya adalah faktor penting dalam Tata Gereja Calvin dan Calvinis dan ini harus disikapi atas dasar perpaduan antara pandangan ekklesiology dan konteks.

-----------------------------------------------------------------------------------------

[1] Calvin disebut sebagai Reformator generasi kedua yang berdiri dipundak Luther.

[2] Pengertian ini sebenarnya dengan tegas dimuat Paulus dalam teologianya yang nampak di suratnya ke jemaat Roma, lalu diteruskan oleh Agustinus (354-430—yang juga menghadapi Donatisme). Ketegasan teologia ini tidak berlaku mutlak di Gereja Katolik saat itu yang mengamini usaha manusia melalui pelayanan Gereja, khususnya dalam sakramen-sakramen, untuk melawan dosa dan berbuat apa yang berkenan pada Allah. Kasih karunia diperhitungkan sebagai unsur pelengkap.

[3] Gereja wajib memberitakan berita pengampunan dosa tapi hak mengampuni hanya pada Allah.

[4] Institutio I vii --- pada banyak orang terdapat kekeliruan yang teramat merusak, yaitu bahwa besarnya wibawa yang diberikan kepada kitab suci tergantung dari persetujuan Gereja. Hal 18.

[5] Imam menjadi bukan lagi jabatan khusus untuk orang tertentu (sebagai perantara manusia dan Allah, dalam pengertian PL) tapi fungsi pelayanan. Tentu perlu ada pembagian tugas dan jabatan serta pelayanan, namun hakikatnya adalah sederajat. Diantara para pejabat dan warga gereja tidak ada perbedaan derajat, yang ada hanyalah pengkhususan fungsi pelayanan.

[6] Inilah yang memisahkan Lutheran dan Reformed hingga kini. Perbedaannya sebenarnya adalah dalam penekanan Luther yang lebih berat atas justification, sedang Calvin atas sanctification. Kami sebagai anggota dialog Reformed sedunia dan Lutheran sedunia berupaya bagaimana segera akan terjadi merger diantara dua kutub ini menjadi uniert yang sudah dilakukan beberapa gereja di beberapa Negara.

[7] Lihat Institutio, hal 187-8; lihat juga pengakuan Iman Perancis pasal xxv.27 yang adalah buah tangan Calvin.

[8] Lihat Emidio Campi, “Calvin’s understanding of the church,” dalam John Calvin. What is his legacy? Reformed World vol.57. December 2007, 291-4. Lihat pernyataan Calvin di Institutio:

Bagi orang orang yang menganggap Allah adalah Bapa, Gereja juga akan menjadi ibu mereka (so that, for those to whom he is Father the church may also be Mother)

[9] Gereja yang kelihatan sebagai ibu orang orang percaya THE VISIBLE CHURCH AS MOTHER OF BELIEVERS

--- tetapi karena maksud kami sekarang ini ialah membicarakan Gereja yang kelihatan, maka marilah kita belajar dari nama “ibu” itu saja. Betapa besar manfaatnya, bahkan betapa perlunya pengetahuan mengenai Gereja itu bagi kita. Sebab bagi kita tidak ada jalan masuk ke dalam kehidupan kalau kita tidak dikandung di dalam rahimnya, dilahirkan olehnya, disusuinya, dan akhirnya dilindungi dan dimbimbingnya, sampai kita menanggalkan daging yang mesti mati ini dan menjadi sama dengan malaikat. Lagipula di luar pangkuannya tidak dapat diharapkan pengampunan dosa, ataupun keselamatan.

…I shall start, then, with the church, into whose bosom God is pleased to gather his sons, not only that they may be nourished by her help and ministry as long as they are infants and children, but also that they may be guided by her motherly care until they mature and at last reach the goal of faith. “For what God has joined together, it is not lawful to put asunder” [<411009>Mark 10:9 p.], Lihat juga pandangan De Jonge bahwa Gereja adalah sarana yg diberikan Allah kepada orang-orang percaya yang lemah untuk membina dan memelihara mereka dalam iman. Apa Itu Calvinisme, 99.

[10] Now we must speak of the order by which the Lord willed his church to be governed. He alone should rule and reign in the church as well as have authority or pre-eminence in it, and this authority should be exercised and administered by his Word alone. Nevertheless, because he does not dwell among us in visible presence [<402611>Matthew 26:11], we have said that he uses the ministry of men to declare openly his will to us by mouth, as a sort of delegated work, not by transferring to them his right and honor, but only that through their mouths he may do his own work—just as a workman uses a tool to do his work.

[11] Institutio, 186, lihat juga:

EDUCATION THROUGH THE CHURCH, ITS VALUE AND ITS OBLIGATION

But let us proceed to set forth what pertains to this topic. Paul writes that Christ, “that he might fill all things,” appointed some to be “apostles, some prophets, some evangelists, some pastors and teachers, for the equipment of the saints, for the work of the ministry, for the building up of the body of Christ, until we all reach the unity of the faith and of the knowledge of the Son of God, to perfect manhood, to the measure of the fully mature age of Christ” [<490410>Ephesians 4:10-13li, Comm., but cf. also Vg.].

We see how God, who could in a moment perfect his own, nevertheless desires them to grow up into manhood solely under the education of the church. We see the way set for it: the preaching of the heavenly doctrine has been enjoined upon the pastors. We see that all are brought under the same regulation, that with a gentle and teachable spirit they may allow themselves to be governed by teachers appointed to this function.

Isaiah had long before distinguished Christ’s Kingdom by this mark: “My spirit which is upon you, and my words which I have put in your mouth, shall never depart out of your mouth, or out of the mouth of your children, or... of your children’s children” [<235921>Isaiah 59:21]. From this it follows that all those who spurn the spiritual food, divinely extended to them through the hand of the church, deserve to perish in famine and hunger. God breathes faith into us only by the instrument of his gospel, as Paul points out that “faith comes from hearing” [<451017>Romans 10:17]. Likewise, the power to save rests with God [<450116>Romans 1:16]; but (as Paul again testifies) He displays and unfolds it in the preaching of the gospel [ibid.].

[12] Lihat penjabaran poin 3 di bawah ini dan catatan kaki no 39.

[13] And in order that the preaching of the gospel might flourish, he deposited this treasure in the church. He instituted “pastors and teachers” [<490411>Ephesians 4:11] through whose lips he might teach his own; he furnished them with authority; finally, he omitted nothing that might make for holy agreement of faith and for right order. First of all, he instituted sacraments, which we who have experienced them feel to be highly useful aids to foster and strengthen faith.

[14] Disini Calvin meneruskan pemahaman Luther bahwa Gereja yang kelihatan dibentuk oleh pemberitaan firman Allah. Tidak ada perkumpulan manusia yang boleh mengklaim menjadi “Gereja Tuhan” kecuali jika dia dilandaskan di atas Injil ini. Disini Luther menyangkal pengertian Katolik akan kesinambungan histories Gereja dari apostolic- tapi teologis bersifat fungsional-

[15] Lihat pikiran Calvin akan Gereja dan pejabatnya di De Jonge, Calvinisme, 48-50.

[16] De Jonge menuliskan …Akan tetapi ternyata Calvin merasa keberatan untuk menerapkan ajaran mengenai imamat am orang orang percaya dengan segala konsekuensi. Itulah sebabnya gereja yang digariskan dalam Ordonnances Ecclesiatiques dalam banyak segi dapat disebut gereja pendeta. walaupun Calvin segan untuk memakai istilah “klerus” sebutan dalam gereja abad pertengahan untuk menunjukkan status istimewa pejabat pejabat gereja, namun dalam praktek gereja dibaginya atas pejabat-pejabat dan “rakyat, dengan para pejabat sebagai kelompok istimewa tertutup yang menentukan sendiri siapa layak menjadi anggotanya dan mengadakan sendiri pengawasan terhadap para anggotanya, Calvinisme, 111-112, lihat juga catatan kaki # 22.

[17] Jabatan penatua adalah unsur tambahan kemudian yang diperoleh Calvin dari Starsburg dimana Bucer mengangkat untuk setiap bagian kota seorang pemelihara gereja yang diberi tugas mengawasi kehidupan iman di bagian kota yang dipercayakan kepadanya.

[18] Tugas memimpin tidak dimaksudkan mengatur hal-hal organisatoris, melainkan bersama dengan para penilik (yaitu pendeta) memberi teguran dan melakukan hukum disiplin.

[19] Gereja pertama di luar Jenewa yang mengatur diri menurut tata gereja yang disusun oleh Calvin adalah Gereja Perancis. Tata Gereja ini disebut Tata Gereja Presbyterial Sinodal karena semua keputusan jemaat diambil pada tingkat Presbyterium (para Penatua, Pendeta dan Diaken). Perkara-perkara yang menyangkut kepentingan seluruh gereja diputuskan di tingkat Sinode yang dalam hal ini diikuti oleh wakil-wakil Presbyterium dari setiap jemaat. Cuma harus diingat bahwa Anglican menganut episkopal yang sentralistis, dan kelompok Puritan congregational yang sangat menekankan otonomi jemaat serta hak dan kedaulatan warga jemaat yang tidak lebih kecil dari pejabat gereja sesuai dengan semboyan imamat semua oarng percaya.

[20] Semua jemaat dan jabatan mempunyai status yang sama. - jemaat satu wilayah dikumpulkan dalam 1 sidang, kemudian disebut klasis – jemaat dalam 1 propinsi bergabung dalam satu sinode propinsi- kalau memungkinkan setahun sekali sinodal yg mengatur hal-hal umum seperti Tata Gereja dan pengakuan Gereja – Tata Gereja ini mencoba mencari jalan tengah antar kesatuan yg mengutamakan keseragaman antara semua jemaat dalam semua hal, menurut apa yang ditetapkan oleh pimpinan tertinggi dalam Gereja (Paus ataupun Sinode) dan Gereja yang merupakan federasi jemaat-jemaat otonom, yang masing-masing mengatur diri sendiri secara bebas (seperti dalam congregational) . demi keseragaman dalam hal-hal dasariah seperti Pengakuan Iman dan Tata Gereja . Jemaat-jemaat setempat menyerahkan sebagian kebebasan kepada sidang-sidang yang terdiri atas wakil-wakil jemaat dan mengambil keputusan mengenai hal-hal yang menyangkut semua yang diwakili. Demikianlah terjamin bahwa jemaat-jemaat dapat saling mengakui ajaran dan saling menerima anggotanya.

[21] Lihat Pengakuan Iman Gereja Perancis pasal xxvii.31, 32 yang menyatakan bahwa orang-orang yang dalam pemerintahan Gereja haruslah dipiih (31) dan semua Pendeta, Penilik dan Diaken harus memiliki bukti bahwa mereka telah dipanggil dalam jabatan mereka. Dan mereka ini semua haruslah berunding bersama-sama mengenai cara yang harus ditempuh dalam hal pemerintahan seluruh tubuh. ..tidak boleh menyimpang sedikitpun dari apa yang diperintahkan Kristus. Hal ini tidak mencegah adanya beberapa ketentuan khusus di tiap tempat, sesuai dengan kebutuhan dalam praktek

[22] De jonge, Calvinisme, 102. Patut digaris bawahi bahwa Tata Gereja Jenewa bukan Tata Gereja yang demokratis. Walaupun ada unsur di dalamnya yang bercorak demokratis atau yang berkembang kearah itu- namun jelas bahwa ia tidak melihat mereka yang memegang jabatan sebagai wakil anggota jemaat. Institutio 4 iii 10-16- jabatan bukanlah ciptaan manusia, melainkan pemberian Allah, De jonge, Calvinisme 114.

[23] Saya setuju dengan pendapat Aritonang yang menyatakan bahwa …melihat pentingnya jabatan Penatua, baik di jemaat Jenewa pada masa Calvin maupun di gereja gereja Calvinis dikemudian hari ada anggapan bahwa di lingkungan gereja gereja Calvinis yang paling besar wewenangnya adalah para Penatua. Tetapi sebenarnya tidak demikian, terutama bagi Calvin. Sebab justru Calvin memberikan wewenang terbesar pada Pendeta sesuai dengan tugasnya sebagai pengemban perkara utama di dalam kehidupan gereja. Peraturan yang disusun Calvin justru mengarahkan gereja itu menjadi gereja-Pendeta, dan itu membuat pemerintah kota Jenewa kuatir kalau-kalau gereja menajdi semacam Negara dalam Negara. Kemudian dijelaskannya bagaimana pemerintah Jenewa hendak mengintervensi pemilihan dan pengujian Pendeta, ini tidak disetujui Calvin. Lihat Jan Aritonang. Berbagai Aliran di Dalam dan Disekitar Gereja. Jakarta: BPK, 2009, 70.