Kamis, 25 Desember 2008

GBKP QUO VADIS?

GBKP QUO VADIS?

Pertanyaan ini ditujukan kepada kita semua warga GBKP. GBKP yang bersistem presbyterial sinodal, memandatkan para presbyter sebagai pengemudi. Para presbiter yang adalah gabungan dari pilihan Allah berdasarkan pangilan (para pendeta) dan pilihan jemaat per-sektor (para pertua dan diaken) yang diberkati Alah. Sama seperti Allah sipencipta dan siempunya dunia serta isinya, dan manusia diberi mandat sebagai pemelihara, sehingga manusia diciptakan dalam image of God. Begitu juga dalam sistem presbyterial sinodal para presbyter diberi mandat oleh Kristus untuk meng-arti-kan gereja di konteksnya. Kesemuanya itu berarti bahwa peran sipemegang mandat adalah temporal dan harus mempertanggung jawabkannya kepada pemiliknya. Siempunya berhak kapan saja mengambil ke-mandat-an yang diberikanNya, bergantung dari analisa, pilihan dan hak kebebasanNya. Sipenerima mandat haruslah bersyukur dan melaksanakan mandat dengan sukacita tanpa terikat akan status dan jangka kemandatan.

GBKP quo vadis? Mau kemanakah engkau GBKP? Pertanyaan yang harus secara serius kita cermati, dengan menganalisa apa yang telah dilakukan selama tahun 2008 dan apa yang akan dilakukan di tahun 2009. Analisa dan rancangan ke depan haruslah melibatkan data hasil sejak tahun 2005, karena pola kerja kita adalah dalam siklus lima tahunan dengan acuan GBP serta kemampuan dalam menjawab dan mengisi kebutuhan konteks kita. Jadi acuan kita adalah GBP yang sudah dirancang untuk lima tahun dan bagaimana kita menjawab roh zaman dalam konteks lokal, nasional dan internasional.

Berdasarkan itu, jika menoleh kebelakang, kalau kita mau jujur, bukankah repentance yang harus dilakukan, agar di tahun 2009 ini, kita bisa melangkah dengan kesegaran baru dan pasti ? Manusia baru tidak akan pernah terwujud jika tidak didahului oleh penyesalan dan pertobatan (syub- bahasa ibrani). Bukankah kita belum memaksimalkan kemampuan dan waktu kita dalam menyikapi pekerjaan kita? Sehingga bisa dikatakan bahwa kinerja kerja belumlah maksimal.Bukankah waktu secara umum lebih banyak habis untuk mencari cari kesalahan orang lain, kelelahan menghadapi energy negatif yang tersebar karena iri dan kurangnya penampakan pola pikir yang positif dan membangun? Pembunuhan karakter dilakukan secara cekuraki bahkan institusi. Kinerja kerja, konsep-konsep pemikiran tentang pembenahan dan pembenahan itu sendiri, diskusi-diskusi teologia dianggap hal yang sia-sia, membuang waktu dan dana, bahkan dianggap mengancam kemapanan ideologi dan kuasa yang ada, bagepe terakap. Perhatian difokuskan kepada berapa dan apa yang didapat orang lain, bukan mensyukuri berapa dan apa yang didapat sendiri. Yang muda yang baru tahu sedikit dengan pengalaman lokal, berbicara dan menulis tanpa arti dengan tidak mengindahkan kaidah dan etika. Yang telah berusia tidak mampu menjadi anutan, sibuk dengan diri sendiri, mencuci tangan, bahkan menjadi dalang dalam permainan. GBKP quo vadis? Let the church be the church. Biarlah gereja tetap menjadi gereja. Gereja bukan partai politik juga bukan LSM.

Siapa yang meratap melihat penurunan angka pengunjung kebaktian minggu, PJJ, Pekan-Pekan dan PA, PA? Apa dan sudah sampai dimana program kerja Runggun, Klasis dan Moderamen untuk mempersiapkan warganya mandiri dalam
menyikapi gelombang kepelbagaian ajaran dan cara gereja dan agama lain sehingga tidak ada lagi dual keanggotaan gereja, atau bahkan dual keagamaan (Kristen dan sipemena)
krisis ekonomi yang mendampakkan penambahan pengangguran dan langkanya lahan pekerjaan bagi kaum muda
pergeseran lahan pertanian menjadi perumahan disaat kita belum siap hidup dalam era industri yang mengglobal (hancurnya tekstur tanah, ketergantungan pada pupuk yang langka, perubahan iklim global, kecanggihan bio-technology dinegara maju menghasilkan produk yang lebih besar, lebih bagus dan lebih murah dari produk pertanian kita)
pergeseran pemukiman orang karo yang berdampak kepada peta dan pola pelayanan GBKP?
Berdasarkan poin b,c dan d di atas maka akan ada pergeseran system ekonomi yang tidak bisa dilepas pisahkan dari politik

Poin b,c dan d bukan hanya menjadi masalah GBKP tapi masalah semua gereja di Selatan (South/Negara berkembang), poin a dan e adalah masalah gereja di seluruh dunia. Diseluruh dunia, Gereja utama (mainline churches) seperti GBKP sudah sepi pengunjung, yang semarak adalah yang di Amerika disebut mega church, dan gereja-gereja bernuansa karismatik dan pentakosta. Mengapa begini? Ini adalah dampak dari globalisasi yang merupakan factor ekonomi yang berdampak dan berasal dari keberadaan politik G7 yang mulai mempertimbangkan keberadaan G20, dan diharapkan dengan krisis ekonomi yang melanda Amerika kini mampu menobatkan Amerika dengan presidennya yang baru, kita doakan. Kini faktor psikologis sangat mempengaruhi spiritualitas. Sehingga seharusnyalah mainline churches mampu membuat agar konsep teologis yang dikatakan di-imani bisa tertulis dihati, sehingga terjadi kesatuan yang utuh antara teologis, psikologis dan spiritual, yang dimunculkan dalam etika. Sebenarnya ini adalah inti mandat GBP pada kita.

Pembenahan penghasilan dan fasilitas dalam gereja haruslah didahulukan oleh pembenahan pelayanan. Apakah para presbiter telah memberikan yang terbaik yang dimilikinya dalam mewujudkan mandatnya? Apakah para presbiter masih mengimani bahwa jika melayani lebih sungguh tidak akan kekurangan? Kriteria apa yang diadopsi para presbiter dalam menjalani kehidupannya, dunia atau Kristus? Bisakah manusia yang hidup dalam roh dikuasai oleh kedagingannya? Etika Yesus tidak kompromi, ini atau itu (either/or). Kristus siempunya gereja lulus dalam ketertarikan gemerlap dunia (Mat 4:1-11; Mrk 1:12-13; Luk 4:1-13), sehingga jika Kristus satu dengan Bapa bukankah para prebiter satu dengan Kristus? “Sama seperti Engkau telah mengutus Aku ke dalam dunia, demikian pula Aku telah mengutus mereka ke dalam dunia, dan Aku menguduskan diriKu bagi mereka, supaya merekapun dikuduskan dalam kebenaran (Yoh 17:18-19)”. Bukankah tidak selayaknya para presbiter mengantagoniskan lahan pelayanan basah/kering; desa/kota dan penuh/paruh waktu? Melayani adalah untuk melayani itu sendiri. Sebagai bentuk kesukacitaan atas pemberian mandat tadi. Arti dan dampak melayani di gereja adalah paradoks dengan pengertian fungsi sebagai hamba status sebagai pemimpin, suatu integrasi yang manis yang hanya mampu dilakukan jika mandat diamini berdasarkan panggilanNya, sehingga ke-aku-an melebur dalam essence Kristus yang lahir di palungan, datang dalam status hamba yang tiada pernah tergiur akan kuasa (power) dunia. Kegagalan pelayanan oleh para presbiter adalah karena kurangnya atau tiadanya aspek panggilan, sehingga pekerjaan dilakukan hanya sekedarnya, tanpa menyadari visi Yesus dan perannya sebagai teman sekerja yang kini adalah pewujud dari kerajaan Allah di dunia ini.

Karena bentuk GBKP adalah presbyterial sinodal dan bukan congregational maka hendaklah pemilihan dan penangkuhan dilakukan dengan lebih seksama dan memberdayakan roh kudus yang telah diberikan pada kita. Disinilah peran pembaca sebagai anggota jemaat. Kemampuan dan roh kudus telah diberikan Allah pada kita, tinggal bagaimana kita memberdayakan itu dalam kehidupan kita sebagai pribadi, anggota keluarga, gereja dan masyarakat. Yang lalu biarlah berlalu, tidak perlu kita panggul bahkan mewarisinya, Beranilah kita memulai sesuatu yang baru, dengan sikap yang baru, cara kerja yang baru. Bagaimanapun perubahan pola tindak dan ucap harus didasarkan oleh perubahan pola pikir. Beranilah untuk memulai berpikir, merenung, menganalisa, mengkonsep, bervisi, dan kemudian diwujudkan dalam program-program pribadi, runggun, klasis dan moderamen. Sesakit apapun hasil analisa kita akan yang lalu, tapi itu sudah menyadarkan kita untuk memulai sesutau yang baru. Inilah yang disebut proses men-deconstruct- agar mampu untuk me-reconstruct. Jika kita tidak mau sakit, tidak mau malu, tidak mau konflik, tidak mau menyakiti hati, tidak mau dibenci, tidak berani menambil keputusan yang tidak popular, ini artinya kita tidur. Yang ada adalah rutinisasi, itupun tanpa analisa dan arah yang jelas. Roh zaman yang berkembang tanpa bisa dihengkang, membuat kita harus mampu berubah dan menjawabnya dengan tetap sebagai gereja.

Change, we need, Yes, you can, slogan Barack Obama dalam pertarungannya dalam pemilihan presiden Amerika selama tahun lalu. Ia berhasil dalam memenangi pemilihan itu. Bukan hanya karena kemampuannya sebagai ahli hukum tamatan Harvard, tapi juga karena pemilihnya menginginkan perubahan. Perubahan akan maksimal jika dilakukan secara bersama. Tidak hanya oleh presiden, kongres dan senat, tapi juga seluruh rakyat. Rakyat walau telah menyuarakan suaranya dalam pemilihan umum, tapi juga tetap berperan terus dalam kehidupan Negara, sebagai bagian dari civil society. Begitu juga anggota jemaat GBKP. Walau telah menyuarakan suaranya dalam pemilihan para pertua dan diaken, tapi suaranya haruslah bergema terus melalui: sidang ngawan, persekutuan kategorial, PJJ, PA-PA, persekutuan professional. Biarlah suara ini tidak hanya menembus dinding gereja tapi juga pemerintah, karena anggota GBKP juga bagian dari civil society. Mulailah dengan menggunakan hak anda sebagai anggota jemaat dan sebagai warga Negara. Salah satu faktor kemenangan Obama ialah mulainya tumbuh kesadaran politik dari orang orang yang selama ini apatis terhadap pemerintah dari segala golongan umur. Mereka sadar bahwa hak pilih mereka memberikan kontribusi bagi arah Negara. Begitu juga warga GBKP hak kita sebagai anggota jemaat dan warga Negara, memberikan kontribusi bagi arah GBKP dan pemerintah. Jadi jika ada pertanyaan GBKP quo vadis? Maka jawabannya adalah dari kita semua, angota jemaat dan para presbiter. Biarlah tahun 2009 ini kita mulai dengan semangat baru, yaitu semangat perubahan, yang diawali dari perubahan pola pikir yang terwujud dalam pola ucap,tindak dan program, secara pribadi, runggun, klasis dan moderamen. Selamat Tahun baru 2009.