Kamis, 14 Mei 2009

Yes We Need Change, However What Kind of Change: GBKP dan Ekklesiology (III)

Setelah memaparkan upaya pembaharuan yang diupayakan oleh Gereja-Gereja di dunia serta institusi ekumene nasional, regional dan dunia dalam upaya untuk mampu tetap bermakna sebagai garam dan terang dalam tulisan sebelum ini, maka biarlah kita menyimak lebih dahulu pandangan GBKP dan ekklesiologynya yang nampak di Konfesi GBKP.

GBKP dan ekklesiologynya adalah penegasan tentang GBKP dan konsepnya tentang Gereja atau keberadaannya. Ekklesiology adalah ilmu (studies/knowledge) tentang Gereja. Atau dengan kata lain, konsep Gereja yang bagaimana yang seharusnya dianut GBKP. Untuk mendapatkan jawabannya, pertama yang harus dilakukan adalah pemilihan dasar teologis Alkitabiah yang tepat.

Pemilihan dasar teologis Alkitabiah yang tepat maksudnya adalah bahwa karena konsep tentang Gereja dalam Alkitab (PB) beragam, maka kita harus memilih satu atau beberapa pengertian untuk digabung menjadi satu, sebagai dasar pengertian GBKP akan dirinya. Jelas ketika memilih konsep yang tepat itu kita harus mendasarkannya pada Konteks dimana GBKP berada. Konteks dalam arti situasi kondisi warganya dari sudut social (termasuk psikologis), ekonomi dan politik. (Band. Paul Tillich, Systematic Theology I, 3, 4: disini ia menuliskan bahwa theologia bergerak antara dua kutub yaitu, “the eternal truth of its foundation, and the temporal situation in which the eternal truth must be received.”).

Keberagaman pengertian Gereja dalam Perjanjian Baru didasarkan karena perbedaan konteks. Perbedaan konteks itu disebabkan oleh dan menyebabkan perbedaan motifasi dan tujuan penulisan. Mengapa motifasi dan tujuan ditempatkan sebagai faktor yang penting dalam pemilihan dasar teologis? karena keduanya membantu satu institusi atau organisasi untuk mencapai tujuan, yaitu menjawab sedikitnya, kebutuhan dasar anggotanya. Organisasi apapun atau persekutuan apapun atau perkumpulan apapun, jika diperhitungkan sudah tidak menjawab kebutuhan anggotanya, akan ditinggalkan oleh mereka. Hal ini tidak hanya berlaku kepada organisasi politik ataupun sosial, seperti serikat tolong menolong, merga silima atau Persatuan Ginting Mergana dll, tapi juga Gereja.

Eka Darmaputra menuliskan,: “Gereja yang bertheologia adalah Gereja yang dengan bersungguh-sunguh secara terus menerus dan sadar menggumuli makna kehadirannya (Lihat “Pergumulan dan Pembaharuan Theologia di Indonesia” dalam Tabah Melangkah, 115).

Hal inilah yang menyebabkan GBKP sejak tahun 2003 melakukan seminar teologia untuk selain memperkenalkan teologia dan strukturnya seperti yang ada kini - yang juga masih belum diketahui oleh banyak tidak hanya warga tapi juga pertua dan diakennya - tapi juga sekaligus untuk mencari bentuk yang “pas/cocok/tepat” untuk GBKP agar keberadaannya berdampak, sedikitnya bagi warganya.

Di seminar teologia sudah dikatakan bahwa dalam mencari ekklesiologi GBKP maka kita harus mendasarkannya pada 1. Alkitab, 2. Tradisi (calvinisme) dan 3. konteks (lokal-nasional-internasional). Pemilihan bagian-bagian dari poin 1 (Alkitab) dan 2 (Tradisi) haruslah berdialektik dengan konteks. Dalam ketegangan triple konteks: lokal, nasional dan internasional, kita harus berani memilih karena pilihan kita berperan sekali dalam pengklaiman identitas. Sehingga bisa kami katakan bahwa pilihan yang kita lakukan haruslah tidak berdasarkan perasaan melankolis semata yang mampu membutakan realitas masa depan generasi penerus angota dan kepemimpinan di GBKP.

Menurut kami GBKP hingga kini belum menjawab kebutuhan konteks lokal dan nasional sepenuhnya, hal inilah maka seminar teologia mengupayakan terus pencarian teologia kontekstual. Yang agak mengkawatirkan adalah mencari keindonesiaan GBKP dalam konteks wawasan kebangsaan. Jemaat berada diketertarikan antara identitas lokal dan nasional, dan acap lupa bahwa ini berdampak pada keutuhan bangsa. Rasa kepemilikan belakang ini sepertinya lebih besar ke aspek lokal dari pada nasional. Bukankah dengungan yang acap terdengar adalah, “namanya saja GBKP, ya Gereja karo”. Kami ingat komentar Prof. Sukaria Sinulingga. Beliau pernah berkata bahwa tidak ada Gereja suku, yang ada adalah pendekatan kesukuan. Jadi menurut kami beliau hendak mengatakan bahwa kesukuan itu adalah metode pendekatan bukan substansi.

Dr Binsar, Kadep Maturia HKBP mengatakan bahwa HKBP namanya saja Gereja Batak, namun sejak tahun 2002 ia telah dinyatakan sebagai Gereja yang inklusif. Jadi pengertian HKBP sebagai Gereja Batak untuk orang Batak sudah usang. Buat GBKP kami pikir yang lebih tepat adalah GBKP adalah Gereja Kristus yang memakai pendekatan kekaroan untuk menjangkau orang karo, dan tetap Gereja itu bukan dan tidak pernah menjadi milik orang karo, sampai kapanpun Gereja itu pemiliknya tetap Kristus. Pemiliknya tidak pernah berubah tapi metode pendekatannya bisa berubah bergantung kepada konteksnya, dalam arti bergantung dari era dan manusia/ jemaat/angotanya (lihat pandangan Paul Tillich dan Eka Darmaputra di atas)

Karena anggota GBKP kini yang walau tinggal dalam era yang sama yaitu globalisasi, namun dalam konteksnya sangat beragam yaitu ada yang masih dalam 1. taraf lokal saja, 2. percampuran antara lokal dan nasional, 3. nasional saja, 4. lokal, nasional dan internasional, 5. nasional dan internasional yang disebut metropolitan, maka yang patut digumulkan adalah metode pendekatan yang bagaimana yang tepat untuk dilakukan agar memampukan anggotanya bersaksi sebagai saksi Kristus hingga menampakkan bahwa Gereja adalah milik Kristus.

Dalam hal Tradisi, acap muncul pertanyaan apakah keCalvinisan GBKP harus dipertahankan? Terserah pada kita! Walau Moderamen dan Konperensi Pendeta yang menggumulinya tapi Sidang Sinode yang memutuskannya. Namun kami berpikir haruslah keputusan-keputusan teologis yang diputuskan di Sidang Sinode dan yang didiskusikan di Konperensi Pendeta dianalisa secara cermat dengan analisa sosial, politik, budaya dan ekonomi. Perlu diingat bahwa ajaran Calvin selalu berkembang dan tidak pernah berhenti pada satu zaman sehingga tidak perlu menjadikan sebagai sesuatu yang absolute. Makanya kami setuju dengan pandangan World Alliance of Reformed Churches (WARC) yaitu bahwa tidaklah diperlukan keseragaman konfesi (pengakuan iman)untuk menjadi anggotanya.

Dari kepelbagaian pendapat tentang apa itu Gereja, seperti

1. People of God (umat Allah), Lihat Yer 31:33; Yeh 37:27 (bergaung di 2 Kor 6:16; Ibr 8:10) Gal 6:16; Rm 11:11-36; Ef 2:14; 1 Ptr 2:9-10; Ibr 9:15; Ibr 4:9-11;

2. Body of Christ (Tubuh Kristus) Lihat Yer 31:33; Yeh 37:27 ( bergaung di 2 Kor 6:16; Ibr 8:10); Gal 6:16; Rm 11:11-36; Ef 2:14; 1 Ptr 2:9-10; Ibr 9:15; Ibr 4:9-11;

3. Temple of the Holy Spirit (rumah Roh Kudus) Lihat Kis 2:1-4; Rm. 8:22-23; Wahyu. 21:1; Ef 2:21-22; 1 Ptr 2:5; Kis 1:8; Ef 4:1-3;

4. Koinonia/community (Persekutan) Lihat Kej 1-2; Kel 19:4-6; Hos 2:18-23; Kej 3-4; Rm 1:18-3:20; wahyu 21; 1 kor 10:16; Gal 2:9; Rm 15:26; 2 kor 8:3-4; Kis 2:42-45; 1 Yoh 1:3 dan

5. simbol-simbol yang digunakan untuknya seperti, Kawanan Domba, the Flock (Yun 10:16), Pokok Anggur, the Vine (Yes 5; Yun 15), Pengantin Perempuan Kristus, the bride of Christ (Wah 21:2; Ep 5:25-32), Rumah Allah, God’s house (Ibr 3:1-6), Perjanjian Baru, a New Covenant (Ibr 8:8-13) dan Kota yang Kudus, Jerusalem yang baru, the Holy City, the New Jerusalem (Wah 21:2),

maka GBKP menganalisa, memilih berdasarkan konteksnya bahwa pandangannya tentang Gereja adalah seperti yang tertulis dalam konfesi GBKP yang disahkan di sidang sinode 2005 yaitu:

A. Gereja adalah persekutuan manusia baru yang harus terus menerus diperbarui oleh
Roh Kudus, agar mampu dan bertahan menjadi garam dan terang di konteks dimana ia
berada. Sehingga Gereja haruslah menyaksikan pola hidup Yesus, agar Kerajaan Allah
terwujud di dunia ini. Inilah arti Gereja sebagai tubuh Kristus dan Kristus sebagai kepalanya (Mat. 5:13-16; Ef. 4:12-16)

B. Gereja tidak mengadopsi nilai-nilai dunia, tapi memproklamasikan nilai-nilai Allah yang nampak dari kehidupan Yesus yaitu cinta kasih, keberpihakan pada yang miskin, tidak berdaya, dan yang tersingkirkan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan (Diakonia). Inilah panggilan Gereja, menyelamatkan dunia; mengubah dan mentransformasinya.

C. Gereja harus mampu melakukan dialog dengan pemerintahan dimana ia berada.

D. Semua anggota persekutuan yang adalah manusia baru berperan dan mendapat bagian
dalam kesaksian (Marturia), persekutuan (Koinonia) dan pelayanan (Diakonia) Gereja,
sebagai wujud dari jemaat yang missioner dibawah koordinasi dan arahan dari para pelayan khusus: Pendeta, Penatua dan Diaken.

Butir A mengartikan bahwa:

1. Manusia baru berarti orang yang telah dipanggil keluar (ek-kalio) jadi tidak boleh menjadi sama dengan dunia.

2. Terus menerus diperbaharui berarti walaupun anggotanya adalah manusia baru yang
seharusnya hidup dalam Roh, tapi pengampunan dan pertobatan dan hidup baru terus
berlangsung dalam persekutuan ini (lihat Institutio 192: ”jadi pengampunan dosa bagi kita merupakan langkah masuk yang pertama ke dalam Gereja dan kerajaan Allah. Karena kalau itu tidak ada, kita tidak mempunyai perjanjian atau persekutuan dengan Allah. Tetapi dengan pengampunan dosa itu Allah tidak hanya menerima kita di dalam GerejaNya dan memasukkan kita ke dalamnya, tetapi melalui pengampunan itu juga, kita dipelihara Nya dan dilindungiNya di dalamnya.”)

3. Diperbarui oleh Roh Kudus berarti manusia dengan dirinya semata tidak mampu bertahan tinggal di dalam ketaatan pada Tuhan

4. Agar mampu dan bertahan menjadi garam dan terang, menjadi saksi adalah suatu proses yang pasti menuju kekesempurnaan (atas bantuan Roh Kudus).

5. Di konteks dimana ia berada, tidak memisahkan antara dunia Gereja, dunia rumah tangga,pergaulan dan kerja.

6. Gereja harus menyaksikan pola hidup Yesus: berpihak pada orang-orang yang tersingkirkan (Singgih menuliskan ini sebagai ekklesiologi Asia-Pasific yang harus memperhatikan rakyat,perempuan, pemuda dan anak-anak, serta orang miskin, lihat Berteologia Dalam Konteks, Jakarta dan Yogja: BPK dan Kanisius, 2000, 198-233.)- hal ini berkaitan dengan butir B di atas, tentang Gereja—nampak dalam kehidupan Yesus---

7. Agar kerajaan Allah terwujud di dalam dunia ini- melalui sikap Gereja yang berpihak pada yang tersingkirkan kita menjalankan Koinonia, Marturia dan Diakonia kita.

8. Gereja adalah tubuh Kristus dan Kristus adalah kepalanya, supaya Gereja mengingat bahwa arah dan kesinambungannya bukan bergantung dari siapa, system/lembaga, atau metode pendekatannya, tapi Kristus sendiri; Gereja tubuh Kristus berkonsekwensi bagaimana kita menjaganya agar tidak tercemar dengan nilai keduniawian dan mempertahankan keKudusan (lihat butir B).

Butir C mengartikan bahwa:

Gereja tidak di atas ataupun dibawah pemerintah, sehingga hubungan dengan pemerintah dilakukan dalam bentuk dialog. Sebagai tubuh dan milik Kristus Gereja harus menjadi moral support dan konsultan, penasehat, mengarahkan, jika pemerintah tidak mengindahkan hak-hak warga Negara dan ciptaan lainnya. Walaupun Gereja bukan dari dunia tapi Gereja harus mengetahui system keduniawian untuk mampu melakukan dialog dengan pemerintah

Butir D mengartikan bahwa:

Semua warga yang adalah manusia baru harus berperan dalam melaksanakan Marturia, Diakonia dan Koinonia. Peran kita bergantung dari kemampuan dan talenta kita. tidak ada talenta dan kemampuan yang satu lebih penting, atau lebih tinggi dari yang lain, semuanya dihargai sama, saling melengkapi. Kesemua talenta ini yang disalurkan melalui jalur Diakonia, Marturia dan Koinonia diarahkan oleh para presbiter yaitu Pendeta, Penatua dan Diaken (bersambung).