Kamis, 12 Juni 2008

Sekilas tentang pemilik Blog

Bagaimanapun pembaca harus mengenal siapa pemilik blog ini. untuk memperkenalkan diri adalah baik jika kami memuat tulisan kami yang merupakan kumpulan beberapa penulis (atau tokoh) yang diminta penerbit Gramedia untuk menceritakan hubungannya dengan buku dalam rangka merayakan HUT Gramedia yang ke 34, jika berminat silahkan anda ketoko buku Gramedia dan membeli buku dengan judul BUKUKU KAKIKU. Inilah tentang pemilik blog ini-

BUKUKU KAKIKU


Pengantar

Namaku Minda. Umurku 40 tahun. Hampir tiga-perempat bagian dari hidupku dihabiskan di bangku sekolah. Dalam arti lebih kurang 30 tahun dari 40 tahun masa hidupku, dihabiskan di sekolah. Sekolah bagiku sama dengan buku, walau setelah tidak berada di sekolah lagi, buku tetap menjadi isi tasku. Tas tanpa buku seperti sarapan tanpa kopi. Sehingga tasku selalu besar. Orang pikir aku bekerja sebagai sales-woman atau dokter. Kebiasaan ini bukan meng-ada setelah aku dapat S3, tapi di mulai sejak aku masih di Taman Kanak-kanak.

Sekolah Identik Dengan Buku

Jelas aku mempunyai alasan untuk menyatakan itu. Pertama, aku bisa mendapat uang lebih dari orang tuaku disebabkan keberadaanku di bangku sekolah. Uang lebih itu aku pakai untuk membeli buku. Hak istimewa ini tidak akan kudapat kalau aku berada di luar sekolah. Kedua, Sebagai siswa yang uangnya bergantung dari belas-kasihan orang-tua, maka kemampuan membeliku juga terbatas. Sehingga perpustakaan sekolah sangat membantu dalam mensuplai buku-buku. Sekolah tanpa perpustakaan bagiku bukan sekolah. Pelajar tanpa buku bagiku adalah bukan pelajar. Pusat dari sekolah adalah perpustakaan bukan guru. Guru hanya berperan mengarahkan saja.

Masa Kecil

Kesukaaan membaca bisa terbentuk oleh faktor lingkungan

Tidak heran aku harus kerja ekstra keras untuk membiasakan anakku -yang tinggal denganku setelah ia duduk di SMP – untuk suka membaca, karena kesukaan itu bisa muncul dari faktor lingkungan. Sejak bayi hingga SMP, ia diasuh neneknya yang kurang mengerti akan pentingnya membaca. Waktu hanya dihabiskan untuk menonton TV- faktor terbesar penghambat anak-anak bahkan orang dewasa untuk belajar menyukai membaca- bermain dan menyelesaikan Pekerjaan Rumah dari sekolahnya.

Orang-tuaku suka membaca. Koran, majalah, buku cerita selalu ada di rumah. Mayoritas kami anaknya juga suka membaca. Cuma itu bukan berarti bahwa faktor bawaan (talent) tidak menentukan rasa suka ini. Satu kakakku kurang suka membaca dan ia juga kurang berminat untuk berlama diri di sekolah. SMA saja sudah cukup baginya. Sepertinya ada hubungan antara kesukaan membaca dan kesukaan bersekolah atau belajar.
Balai Pustaka penerbit yang kukenal di masa kecilku

Balai Pustaka adalah terbitan yang paling kugemari sejak aku di SD hingga SMA di tahun 1978-82. Penerbit ini mengeluarkan dan menterjemahkan buku-buku yang bernilai satra, menurut penilaianku. Siapa tidak ingat akan Layar Terkembang, Salah Asuhan, Datuk Maringgih dalam Siti Nurbaya, Winnetou dan suku Apache, Old Saterhand dll? Memperhatikan ulang novel-novel asli keluaran Balai Pustaka aku bertanya kenapa mayoritas penulisnya dari Sumatera? Apakah hal ini bisa diangkat sebagai salah satu alasan yang menyebabkan dasar bahasa Indonesia diambil dari bahasa Melayu bukan bahasa Jawa walaupun sumpah pemuda dideklarasikan di Jawa?

Authobiography dan Biography adalah jenis bacaan yang kusuka

Aku sebenarya paling suka membaca authobiography dan biography, karena aku ingin belajar dari kehidupan orang lain. Mungkin karena sifatku yang kurang suka bertanya kepada orang lain, tentang apapun, jadi aku begitu bergantung dengan buku untuk mencari tahu akan segala sesuatu. Selain jenis bacaan di atas, selama SD-SMA aku juga membaca H.C.Andersen; Sikuncung, kawanku, Bobo, Teddy Beruang, Gadis, Femina, Aktuil dan Intisari. Ada beberapa yang aku sudah lupa namanya. Jelas Kho Ping Hoo juga sudah masuk dalam daftarku. Aku kurang suka membaca novel pop. Entahlah kalau NH Dini dimasukkan dalam kategori ini. Karena aku suka gaya tulisannya. Cuma, aku membaca majalah apa saja, baik itu pop maupun sastra.

Kebudayaan Pop Yang Mendominasi Kini Sangat Mempengaruhi Isi Majalah, Buku dan TV dan Dampaknya Dalam Mencerdaskan Bangsa

Walau dulu aku membaca semuanya, tapi sekarang aku tidak memberikan majalah populer ke anakku. Cukuplah TV sudah mencekokinya dengan kebudayaan dan pola pikir pop yang mengglobal yang tidak eksistensial dan berpola jangka panjang.

Walaupun aku lama sekolah di Amerika, tapi aku tidak melihat kebagusan dari pola pikir pragmatis dan serba instant yang dipopulerkannya keseluruh jagad raya. Amerika jatuh kepada pemujaan materi. Manusia didikte oleh industri. Gaya hidup mendikte gaya pikir. Pilihan yang kita ambil hanya tersedia dari tawaran yang diajukan oleh para industri, jelas industri kelas kakap. Siapa yang berani melakukan pembelotan dari yang ditawarkan, dikategorikan sebagai yang “tidak gaul” atau “tidak modern”. Buku dan semua media, majalah, koran, TV, juga terperangkap di sini. Sedih memang ketika keintelektualan, nilai-nilai dan taste harus ditentukan oleh mega-industri yang berorientasi ke pasar yang daya jangkaunya dangkal dan pendek. Sehingga saya pikir tidak usah terlalu terpakulah pada 10 best seller of the New York Times.

Kerinduanku Untuk Menciptakan Rasa Cinta Buku Pada Anakku

Melihat keberadaan anakku, aku tahu bahwa kekurang-pengetahuannya dikarenakan ia kurang membaca. Lalu aku memberikan bacaaan yang kubaca padanya. Selain untuk melatih dia berpikir, juga pada waktu yang bersamaan untuk merubah pola pikirnya. Bacaan isengnya kuberikan Donald Bebek dan paman Gober yang aku juga suka. Aku juga memberikan novel sastra lama dan authobiography dan biography para pejuang kemerdekaan dan juga tokoh dunia yang terkenal, seperti Di Bawah Bendera Revolusi, Emil Salim, Muhamad hatta, Tan Malaka, Gandhi, Kartini, dll. Aku sempat kaget ketika anakku mengenal Siti Nurbaya bukan sebagai tokoh dalam karya sastra, tapi sebagai tokoh sinetron di TV. Kekagetan ini dibarengi dengan kemarahan dan keprihatinan akan apa yang diberikan sekolah kita kini. Ketika sastra, etiket dan budi pekerti diperkecil porsinya, dan mata pelajaran agama sekedar hapalan semata, bentuk karakter apa yang kita bina ke anak kita?

Buku Melatih Daya Fantasi dan Pikir.

Aku masih ingat ketika kecil dulu aku suka berfantasi akan isi cerita yang aku baca. Old Saterhand dengan Indian suku Apachenya. Padang gurun. Kuda. Tombak. Waktu itu aku mensejajarkan mereka dengan orang Dayak di Kalimantan,walaupun pengetahuanku mengenai orang Dayak juga melalui buku. Walaupun aku suka sekali membaca buku Winnetou ini, tapi aku tidak sampai berkeinginan untuk ke Amerika hanya untuk memujudkan fantasiku. Sejak kecil aku malah ingin ke China dan Jepang. Mengapa? karena selain cerita terjemahan dari Barat, Kho Ping Hoo adalah santapan harian keluarga. Buku cerita yang berjilid sampai melebihi dua-puluh dan dilanjutkan keseri yang berikut tapi masih dalam satu jalur cerita, sangat menarik hatiku. Bukan silatnya, tapi lebih ke ajaran filsafat Budha dan Lao Tzenya. Aku membayangkan bahwa kehidupan sehari-hari mereka yang melahirkan point-point filsafat seperti itu, dan filsafat itu terwujudkan dalam pola tindak sehari-hari. Hingga kini filsafat adalah subjek kegemaranku. Dan hingga kini keinginan untuk menghabiskan beberapa waktu di Cina atau Jepang masih ada. Berapa tahun yang lalu aku ditawari untuk tinggal di desa di Cina selama sebulan oleh Dewan Gereja Asia, tapi karena pada waktu yang bersamaan aku harus menghadiri konsultasi di Amerika, tertundalah keinginan ini.

Buku Mengikat Rasa Kekeluargaan dan Menghindari Anak Dari Kegiatan Yang Tidak Terarah.

Tradisi membaca Kho Ping Hoo secara bergiliran dalam keluargaku dahulu sangat menyenangkan. Ayahku yang harus selalu menjadi pembaca pertama, lalu disusul oleh kakak-kakakku. Sebagai anak nomor enam dari delapan, jelas aku mendapat giliran terakhir, walau ternyata sering juga aku mendahului kakak-kakakku. Tradisi ini mengikat keakraban di dalam keluarga. Kesukaan membaca dikeluargaku membuat kami menghabiskan waktu lebih banyak di rumah sehingga lebih teratur dan terarah.

Situasi Yang Tidak Disengaja Juga Dapat Membentuk Kecintaan Pada Buku.

Diantara semua anak orang-tuaku teryata aku yang paling kutu buku. Dari kecil hingga sekarang uangku hanya habis buat membeli buku. Kini, hartaku selain keluargaku, hanyalah buku.

Ketika kecil karena buku baru mahal, maka aku suka pergi ke Titi Gantung dan jalan Salak di kota Medan, kota kelahiranku, yang mempunyai kompleks penjualan buku bekas yang luas. Selain buku cerita aku juga membeli buku pelajaran sekolah. Kesukaanku membaca, rupanya menjalar ke kesukaanku belajar.

Buku-buku pelajaranku selalu selesai kulahap sebelum waktunya, sehingga aku membutuhkan buku-buku yang setingkat atau dua tingkat di atas yang seharusnya kupelajari. Sedang ibuku waktu itu selalu hanya membelikan buku pelajaran yang dipakai untuk kelasku. Maka untuk memenuhi keinginanku aku harus membeli buku-buku pelajaran yang di atas tingkatanku di pasar loak.

Aku ingat, aku selalu mendialogkan buku yang aku baca dengan mata pelajaran sekolahku. Sedikitnya sejak kecil aku sudah melatih diri untuk melakukan dan melihat secara inter-disiplinari. Hal ini membuat aku selalu berada di depan teman sekelasku. Yang aneh tapi nyata, sampai beberapa guruku kadang menyerahkan tanggung jawab padaku untuk menerangkan pelajaran di papan tulis. Ini berlaku sejak aku di bangku SD sampai SMP.

Ketika SMA menyanyi lebih kutekuni dari pada membaca. Ini bukan suatu pembelokan tapi sekedar hanya memilih prioritas, karena aku tidak mampu untuk melakukan dua hal secara serius dalam waktu yang bersamaan.

Profesorku di STT Jakarta pernah mengatakan bahwa motifasi awal menekuni pelajaran baginya adalah karena pelarian, tapi kemudiaan menjadi satu kebiasaan. Apa aku seperti itu? Mungkin saja.
Menjadi anak nomor enam dari delapan bersaudara, aku acap tidak tahu menempatkan diri di mana. Apalagi ayahku sakit-sakitan sehingga ibuku menghabiskan waktunya untuk merawat beliau. Kakak-kakakku jelas tidak bisa menggantikan peran orang-tuaku. Mereka juga kurang cakap dalam membantu menyelesaikan pekerjaan sekolahku. Hal ini yang membuatku begitu bergantung pada penjelasan dari buku.

Berdasarkan hal ini aku tidak terlalu kecewa dengan anakku. Kedua faktor yang membentukku hingga mencintai buku, tidak dimiliknya. Dia lebih banyak memiliki pilihan-pilihan lain dibandingkan denganku, ketika ia belum tinggal denganku.

Buku Mencerahkan Akal dan Pikiranku.

Otodidak dan pengalaman kuakui sebagai yang sejajar atau bahkan lebih dari gelar yang diberikan oleh institusi pendidikan yang ada sekarang ini.

Otodidak adalah sesuatu yang kuamini. Hal ini terbawa hingga aku duduk dibangku kuliah. Aku jarang mau duduk di kelas, karena semua yang dikatakan dosenku bisa kudapatkan dari buku, bahkan lebih lengkap dan mendalam. Kalau terpaksa aku harus masuk kelas, biasanya aku membaca majalah Tempo di tempat dudukku. Peraturan di perpustakaan di STT Jakarta waktu itu adalah majalah tidak bisa dipinjam untuk dibawa pulang. Sehingga kesempatan untuk membaca hanya di dalam kelas dan waktu istirahat. Aku memakai kedua waktu ini. Ketika Dosenku melihat keasyikanku lebih kepada majalah Tempo dari pada mendengarkan kuliahnya, ditegurlah aku. Walau demikian dosenku ini juga yang kemudian menjadi salah satu dari dosenku yang memberikan rekomendasi untuk meneruskan studyku di Amerika.

Hingga kini aku memberikan mahasiswaku kebebasan untuk mau masuk kelas atau tidak, walau peraturan administrasi di kampus cukup ketat tentang kehadiran. Aku pikir Mengingat methode pengajaran di Indonesia dari jenjang SD-Univeritas bahkan sampai S2 hanya one way traffic, tidak ada dialog, aku pikir peraturan ini hanya untuk menipu diri sendiri saja. Umumnya metode pengajaran hanya mengarahkan siswa kesatu arah, yaitu ke arah pendapat guru/dosen dan pendapat inilah yang terbaik. Teacher knows the best. Sehingga siswa tidak terbiasa dengan keragaman pemikiran.

Aku selalu bertindak kepada anak dan muridku berdasarkan pengalaman yang telah kulalui. Biasanya aku tidak mengulangi pola guruku, walau memang tidak banyak guru yang begitu membentuk karakter dan pola pikirku. Tapi semua yang kudapat dari sumber apapun aku kumpulkan menjadi satu dan kurefleksikan secara kronologis, dan kembali aku selalu mendialogkan ketiga komponen ini, pengetahuanku, hasil reflesiku dan situasi. Sehingga yang kuajarkan pada anak dan muridku adalah hasil refleksi ini. Buku juga yang mengajarku untuk berefleksi diri yaitu buku-buku psikoanalisa.

Buku Psiko analisa yang sebenarnya bukan bagian dari mata pelajaranku menjadi bacaan rutin ketika aku melanjutkan studiku di Amerika. Social sciences yang bersifat terapan bagus sekali untuk didalami di Amerika. Psikologi, pastoral-counseling berkembang di sini. Ini bukan bidangku. Aku tidak terlalu tertarik ilmu yang bersifat praktikal. Aku suka ilmu dasar. Dulu ketika aku SD-SMP aku suka matematika. Ketika aku SMA aku suka Aljabar dan Kimia. Aku pikir ilmu dasar harus diajarkan kepada setiap siswa karena ini adalah pembentukan cara berpikir yang sistematis dan terarah. Berdasarkan pengalamanku aku pikir orang yang berlatar belakang sciences akan melahap dengan enak semua pelajaran sosial.

Mengapa Psikoanalisa ?

Perlunya waktu diri untuk berkontemplasi atas semua yang diterima oleh rasio

Umumnya seseorang ketika baru mendapatkan kesarjanaannya ia belum bisa melihat semua yang ditimbanya selama kuliah secara keseluruhan. Semua data yang disimpan per-semester dan tingkat masih tersusun seperti apa adanya. Sehingga ada baiknya kalau setelah mendapat gelar kesarjanaan, seseorang itu jangan langsung cari kerja atau mengambil kuliah kejenjang yang lebih tinggi lagi (S2). Tapi waktu digunakan untuk merefleksikan apa yang dipelajari selama lima atau enam tahun yang telah lewat dan menghubungkannya kekehidupan nyata, supaya teori itu mendapat pembuktian di lapangan atau supaya diaminkan juga bahwa teori yang dipelajari adalah yang didapatkan dari praktek lapangan, khususnya untuk kuliah ilmu sosial. Cuma kalau kuliahnya sekedar mau lulus saja maka datapun tidak ada, sehingga apa yang mau direfleksikan?

Aku masih ingat, ketika aku tingkat empat di STT Jakarta aku juga membantu dosenku untuk mengajar di tingkat satu. Pada waktu itu juga aku harus mengambil intensive English dan German. Hal ini diprogramkan padaku karena aku dipersiapkan untuk menjadi pengajar masa depan, dan untuk mencapai cita itu, aku harus membekali diri dengan beberapa hal supaya bisa langsung melanjutkan ke Tingkat strata dua.

Aku masih ingat juga, di saat penggodokan ini, membaca sudah tidak menjadi fun lagi tapi keharusan. Ada target, aku harus menyelesaikan beberapa buku untuk seminggu. Lelah sekali. Aku tidur siang di bus dalam perjalanan ke LIA. Makan siang juga di sini. Segala sesuatu sudah tidak ternikmati lagi. Aku memang tidak terlalu tahu bagaimana berteman, karena sedari kecil lebih banyak menghabiskan waktu untuk membaca. Tapi kali ini, waktu untuk berteman juga tidak ada.

Ketegangan seperti ini terus aku alami sampai aku kuliah Strata dua di Amerika. Ada tiga jurusan di Amerika yang mensyaratkan pelamarnya sedikitnya harus tamatan Strata satu, yaitu Kedokteran (Medical School), Hukum (Law) dan Theologia (Seminary). Dalam hal ini aku setuju dengan sistem Amerika (kita memakai sistem Eropah/ Belanda), karena ketiga bidang ini membutuhkan kedewasaan secara mental, bukan cognitif saja. Atau lebih tepatnya kedewasaan yang holistik. Sehingga dengan ini jelas saja aku belum memenuhi persyaratan untuk duduk di program Masternya Karena di Indonesia semua jurusan mensyaratkan tamatan SMA. Apalagi aku memilih untuk melanjutkan apa yang sudah kutekuni di STT Jakarta yaitu bidang Perjanjian Lama yang di seminari Amerika dianggap paling bergengsi, jadi hanya layak untuk orang kulit putih, kemudian Asia, karena orang Asia diakui kedisiplinan cara belajarnya. Untung mereka tidak tahu bahwa Asia yang kulitnya sawo matang adalah kekecualian.

Tapi karena Dosen dari Universitas di Amerika yang memilihku untuk belajar di tempatnya, maka semuanya diamini. Ini dilakukan dalam rangka peningkatan sumber daya perempuan, sekaligus penyiapan pengajar perempuan di sekolah Teologia. Konsekwensinya, aku harus tiba di Amerika 3 bulan sebelum semester dimulai untuk dipersiapkan agar siap untuk duduk di kelas bersama siswa lainnya. Waktu kuhabiskan untuk mencapai target. Jangankan 3 bulan, tahun pertamaku kuhabiskan untuk mencapai kesejajaran dengan siswa lainnya. Lelah? Ya. Tapi aku sudah terlatih jibaku. kemampuanku yang tahu berpikir memudahkanku untuk mengejar dan melahap semuanya.

Ketika pembimbing program Masterku mendiktekan kemauannya padaku, aku tidak bisa menerimanya. Di tempatku belajar, keberhasilan mahasiswa program master dan Doktor bergantung sekali dari pembimbingnya. Jadi ketika hubunganku dengan pembimbingku tidak enak lagi, aku minta pembimbing baru. Tapi ternyata pembimbingku tidak mau melepaskan aku sebagai bimbingannya. Rupanya pembimbingku mengenal sifatku yang tidak suka didikte. Setelah dilihatnya kemampuanku berjalan sendiri dari thesis bab satuku, maka aku dibiarkan berjalan sendiri dengan pasti. Kebiasaanku dari kecil yang lebih bergantung pada buku dari pada guru ternyata terus terbawa ke Amerika dan melekat hingga kini. Sehingga aku kurang merasa aman tidak tinggal dalam lingkungan kampus, karena kampus pasti mempunyai perpustakaan. Walaupun koleksi bukuku sendiri yang bukan hanya theology adalah lebih dari tiga ribuan.

Tragedi adalah kata yang tepat ketika pikir menjadi mahkota diri dan kehidupan

Aku berkesempatan merenung diri di tahun kedua program Doktorku. Perenungan yang kulakukan karena kelelahan. Untuk apa aku berlelah seperti ini? Umurku waktu itu 28 tahun. Aku merasa semakin asing dengan perasaanku. Cara berpikirku terlatih sekali, tapi aku tidak tahu mengolah rasa.

Di Amerika setiap kampus yang baik mutunya, mempunyai perpustakaan dengan koleksi buku yang lengkap (hal ini yang membuatku selalu rindu untuk pulang ke sana); mempunyai poliklinik; mempunyai tempat counseling; mempunyai kolam renang dan fasilitas fitness.

Ketika aku merasa lelah sekali, aku pergi ke pusat counselingnya. Disini masalah muncul kembali. Aku melihat bahwa counselorku tidak terlalu menguasai masalah, sehingga tujuanku tidak tercapai. Lalu aku balik kepada kebiasaanku, books know the best. Mulailah aku menghabiskan waktu di perpustakaan dan membacai semua buku yang berhubungan dengan apa yang sedang kurasakan. Pilihanku jatuh ke psikoanalisa dan buku-buku itu ternyata menolongku untuk melihat diriku lebih dalam lagi.

Semua ada waktunya: ada waktu bermain, belajar, makan dan tidur. Ada masa kanak-kanak- remaja, menuju dewasa dan dewasa
.
No wonder aku kelelahan, aku memang tidak pernah istirahat atau jedah dalam masa persekolahanku sejak aku berumur lima tahun. No wonder diriku berontak karena terlalu banyak aspek lain di dalam diriku yang seharusnya ada dan berkembang kulalaikan dan malah kadang kumatikan, yaitu rasa, bermain, bergaul dan istirahat. Freud (Id, Ego,Super-ego; The Interpretation of Dreams), Jung (dialog antara Jung dan Freud tentang mimpi, khususnya confrontation with the Unconscious) dan Erich Fromm (Art of loving, Escape From Freedom, Man for Himself; The Revolution of Hope and Psychoanalysis and Religion) , kudialogkan dengan diriku. Diantara ketiganya, Jung, khususnya perhatiannya pada the Unconscious dan tulisan Erich Fromm yang terdapat dalam bukunya: Art of loving, Escape From Freedom dan Man for Himself yang sangat membantuku. Kemungkinan besar hal ini terjadi karena dalam penulisan Jung sedikitnya, dan Erich Fromm umumnya dipengaruhi oleh religiositas Yahudi, yang tidak asing bagiku yang mendalami bidang Perjanjian Lama dan menggemari filsafat sejak kecil. Bukankah sebenarnya filsafat interrelated dengan ethics yang merupakan manifestasi dari religiositas? Hitung-hitung ini eksperimen yang tidak mengeluarkan biaya dan privasiku juga terjamin. Kutemukan bahwa otak dan rasaku tidak berjalan seiring. Aku terlalu cepat mandiri dalam berpikir dan menentukan hidupku. Ketika anak lainnya masih bermanja dengan orang-tua dan membiarkan orang tua mengambil keputusan atas dirinya, aku tidak. Waktu itu buku Emotional Intelligence belum muncul. Cuma hal ini sudah kutemukan dalam pencarianku. Jelas aku setuju tentang isi buku ini. Apalagi aku melihat sisi bahaya dari kesenjangan keduanya. Aku berusaha untuk membikin mereka agar sebisa mungkin beriringan dengan membayar semua utang-utangku pada tahap perkembangan diri dan kedua selalu meluangkan waktu untuk berefleksi.

Pada tahap ini aku mulai bereflesi diri kebelakang bukan dengan penyesalan. Tidak ada yang perlu disesalkan, karena pencapaian yang ada kini adalah berkat masa-masa pelatihan pola pikir dan ketahanan kedisiplinan. Aku beruntung melihat masalah ini sebelum aku mendapatkan Doktorku. Kenapa? Karena aku tahu setelah aku mendapatkannya aku akan menjadi pengajar. Bagaimana aku bisa menjadi pengajar yang baik kalau aku sendiri tidak mengenal perasaanku, apalagi mengenal keberadaan muridku? Lalu apakah aku harus mengulang kesalahanku dan guruku yang hanya mengolah pikir dan mengabaikan rasa? Bukankah setelah pikir menjadi mahkota dari segalanya yang membuat kehancuran diri, hubungan antar sesama dan dengan ciptaan lainnya?

Hampir dua tahun aku berkenalan dengan diriku, dan waktu ini juga kupakai untuk mempersiapkan diriku untuk ujian dua bahasa modern yang harus kutempuh sebelum memasuki tahap comprehensive exam.

Study Strata tiga di bidang theology di Amerika mempunyai ciri khasnya sendiri. Ada dua gelar yang ditawarkan yaitu DR dan Ph.D. Kalau program DR anda tidak perlu mengambil ujian bahasa-bahasa modern yang dipilih berdasarkan major kita. Jadi setelah menghabiskan dua tahun di dalam kelas dengan 36 credits, anda bisa langsung masuk ke tahap ujian comprehensive, lalu menulis proposal disertasi, disusul dengan penulisan. Tapi kalau anda memilih program Ph.D,ujian dua bahasa modern harus dilakukan sebelum masuk ke tahap ujian comprehensive. Di Indonesia semuanya menjadi sama saja. Tapi aku sendiri tidak gelar oriented dan percaya sekali akan otodidak, so, what is the title anyway?

Pengenalan akan diri berdampak pada pengenalan akan sesama dan ciptaan lainnya

Pengdialogan antara buku dan upaya pencarian diriku, bukan hanya membantu untuk mengenal diriku dan orang lain saja, tapi juga phenomena yang ada di sekitarku. Ternyata banyak sekali orang-orang yang mengidap penyakit sepertiku yaitu penyakit dimana pikir dan rasa tidak sejajar dan tidak mampu berdialog secara equal. Umumnya orang pintar mengidap penyakit ini. Aku masih ingat ketika temanku sesama mahasiswa Program Strata tiga waktu itu berkata padaku bahwa lebih dari sembilan puluh persen mahasiswa program Doktor yang statusnya kawin di bidang Theology dan Religion bercerai. Apakah mayoritas orang pintar mulanya memilih menghabiskan waktu untuk olah pikir dikarenakan kompensasi atau pelarian seperti yang dikatakan dosenku dulu? Kemungkinan ya. Menurutku sepositif apapun bentuk pelarian itu yang jelas itu adalah pelarian. Kesalahanku adalah aku tidak menyadari dan mengerti ketika pelarian berubah menjadi kebiasaan tanpa didahului oleh pemecahan atau rekonsialisasi dari upaya pelarian itu. Sehingga masalah-masalah yang ada yang belum terpecahkan terus bertumpuk melebihi kapasitas penampungan yang ada. Tidak ada jalan keluar selain membuang/delete atau melakukan rekonsiliasi (recycle bin yang satu waktu bisa direcall kembali). Aku juga melihat banyaknya orang tua yang sebenarnya belum mengenal dirinya harus menjadi orang tua. Dan kelompok ini mayoritas adanya. Sehingga penyakit ini bersifat berantai dan susah untuk memutuskannya. Apalagi kalau penyakit ini dimengerti sebagai bagian dari keberadaan orang Modern?

Peran Buku Yang Namanya Alkitab Dalam Upaya Menjadi Manusia Seutuhnya

Pensejajaran dan pendialogan antara pikir dan rasa sangat menolong sebagai dasar dan juga sebagai bahan dialog dengan meditasiku atas bagian-bagian dari alkitab. Keberadaanku di dalam keluarga (suami dan kedua anakku), serta interaksi dengan para intelektual dan murid adalah setting yang sangat membantu upaya pencapaian ini. Hal ini semakin dibantu kini setelah Alkitab dan profesiku sebagai pendeta masuk sebagai bagian dari hidupku. Kali ini aku bukan hanya mengupayakan proses pensejajaran itu tapi pada waktu yang bersamaan aku mengupayakan proses pembentukan diri sebagai manusia yang seutuhnya. Dalam hal ini yang disebut iman dan internalisasi berperan..

Ketika Psiko-analisa membantuku kembali kepada tahap-tahap perkembangan diri yang normal, maka alkitab membantuku mensejalankan antara pola pikir, ucap dan tindak. Pelatihan ini sangat berat, lebih berat dari upaya peraihan gelar Ph.D. Untuk melakukan ini diperlukan ketegasan dan kerendahan hati. Pelatihan ini kulakukan karena memang itulah inti dari meditasiku atas alkitab. Kalau dulu alkitab aku bahas sebagai salah satu dari textbookku, tapi setelah aku menjadi vikaris calon pendeta, alkitab menjadi buku perenungan diri. Cerita alkitab kuwujudkan kembali di dalam kehidupan sehari hari.

Sama seperti ketika aku melakukan penggalian penemuan diri dengan bantuan buku psikoanalisa,ketika dialog dilakukan antara buku dengan keberadaan diri, aku semakin mengerti tentang psikoanalisa dan diriku sendiri. Dampaknya? aku menjadi semakin mengerti akan keberadaan orang lain.

Hal ini juga terjadi ketika aku mendialogkan alkitab dengan kehidupanku sehari-hari. Pengertianku akan pernyataan-pernyataan di alkitab dan proses pembentukanku menjadi semakin dalam dan beriringan. Semakin aku mengenal diriku pada saat itu juga aku semakin mengerti pernyataan-pernyataan yang tertulis di situ. Sehingga bisa dikatakan bahwa kedalaman pengertian akan alkitab diukur oleh kedalaman pengertianku akan kemanusiaanku. Semakin aku mengerti akan keberadaanku seutuhnya, semakin aku memahami keberadan orang lain.

Inilah yang terjadi pada Paulus - yang refleksi dari pergumulannya dipakai oleh para reformasi dalam upaya menentang praktek-praktek yang terjadi di dalam gereja Katolik – di dalam ia merefleksikan pengertiannya akan Yesus. Pengakuan iman yang dituliskannya di dalam surat-suratnya bukanlah pengakuan iman hasil indoktrinasi, tapi hasil dari pergumulan pribadi.

Tidak heran Paulus menyatakan bahwa tidak ada yang benar, seoranpun tidak. Sehingga keselamatan adalah sesuatu yang dianugerahkan kepada kita. Pernyataan ini bukan mucul begitu saja, tapi karena dengan jujur Paulus menyatakan bahwa ia juga bergumul untuk mensejajarkan antara pola pikir-ucap dan tindak. Dan ia menyadari sepenuhnya bahwa itu tidak gampang. Dituliskannya Aku ingin melakukan yang ini tapi yang terjadi adalah yang itu.

Pengenalan diri seperti ini menibakannya pada pengertian ketergantungan mutlak pada Allah dan bepengertian sepenuhnya kepada sesama manusia. Sehingga tidak perlu ada penghakiman antar-sesama, melainkan wajiblah antar sesama saling mengingatkan, karena semua manusia pada dasarnya adalah lemah. Tapi itu bukan berarti kita tinggal diam di dalam kelemahan kita. Karena kita sebenarnya sudah diberikan kemampuan untuk bersikap seperti Yesus. Untuk tiba di tahap ini selain meminta bantuan roh, juga diperlukan adanya proses dan disiplin diri.

Sehingga aku tidak mengenal kata tidak bisa. Bagiku semua bisa kalau kita mempunyai kemauan dan displin untuk itu. Di atas segalanya, dan yang tidak akan saya pungkiri, tentu saja kalau memang Allah berkenan untuk mewujudkannya. Dialogku dengan alkitab dan kehidupan selain menuntunku untuk mensejajarkan pola pikir-ucap dan tindak, juga mengajarkan ku untuk rendah hati dan menjalani kehidupan ini seperti air mengalir. Seperti hasil pergumulan Paulus, aku juga menjadi begitu memutlakkan Allah, dalam arti di satu pihak aku begitu optimis akan kehidupan, kerja keras serta disiplin, di pihak lain aku begitu mengantungkan kehidupan pada Allah. Aku memahami bahwa Allah mempunyai rancangan atas tiap orang sehingga tidak perlu ada kecemburuan, saling menjegal, sogok-menyogok untuk mendapat kerja dan jabatan. Bagiku semuanya sudah ditentukan dan tidak ada penilaian tinggi rendah, tapi semaunya saling melengkapi. Begitu juga dengan anak kita,bagiku orang tua yang begitu menentukan kemauannya pada anaknya serta selalu melengkapinya, dan acap kawatir untuknya adalah orang-orang tua yang tidak berTuhan.

Semua refeleksi yang kudapatkan didalam mendialogkan buku-buku yang kubaca dengan diri dan kehidupanku muncul di dalam ajaranku baik di depan kelas, di mimbar gereja, di tempat-tempat aku ceramah dan juga di rumah tanggaku. Sehingga ajaran, khotbah dan ceramah-ceramahku merefleksikan diriku.

Aku merasa bersalah sekali ketika aku menyadari bahwa ada perkataanku atau khotbahku atau isi ceramahku yang tidak sejalan dengan atau belum bisa kulaksanakan dalam diriku. Hingga kini aku tetap menjalankan kehidupanku dalam perspektif ini. Bagiku semakin berumur seseorang, semakin bijaksana di dalam bertindak. Bagiku semakin berpendidikan seseorang semakin rendah hatinya dan bijaksanalah ia. Karena pengalaman (empiris- faktor waktu), buku dan pendidikan (walau bagiku buku dan pendidikan adalah interrelated) adalah faktor yang sangat kuat di dalam membentuk kita. Sehingga kegagalan pendidikan kita nampak dimana para sarjana, master dan doktor kita tidak mewujudkan pengetahuan yang sejajar dengan gelarnya- di dalam tindakannya sehari-hari. Sudah waktunya kita menerapkan pendekatan yang holistik dan memberi kesempatan untuk merenung atau merefleksikan apa yang kita dapatkan di dalam kehidupan sehari-hari, dari buku yang kita baca, dari pelajaran yang kita terima. Sehingga adalah sangat memalukan ketika membaca besarnya korupsi yang terjadi di departemen agama, atau dilembaga hukum Indonesia.

Penutup

Buku adalah diri dan hartaku
Hingga kini aku tidak pernah berhenti membaca. Cuma karena waktu yang sangat terbatas sehingga aku harus sangat selektif dalam memilih apa yang mau kubaca. Biasanya aku menjatuhkan prioritas kepada bacaan yang topiknya belum terlalu kukenal. Proses seleksi kulakukan pertama dengan mencari tahu latar belakang penulis dan penerbit. Kenapa? karena keduanya mempengaruhi isi (ideologi) dari buku. Dengan menggunakan methode ini, aku bisa dengan cepat melakukan pilihan jika dalam satu topik ada lima penulis dengan lima penerbit yang berbeda.

Kecintaanku pada Amerika dikarenakan buku sangat gampang didapat di sana. Second-hand book store biasanya ada disetiap desa, apalagi di kota. Harganya sangat murah. Setiap desa mempunyai perpustakaan, dan disitu kita bebas meminjam buku, kaset video, vcd, majalah, juga menggunakan komputer dan internet. Akses seperti ini adalah hak umum. Sehingga tidak heran jika hanya buku-buku yang menjadi isi koperku ketika aku pulang dari negeri ini. Sekarang sedikitnya dua puluh buku kubawa itupun karena harus bersaing tempat dengan mainan anakku. Sebelumnya aku bisa membawa buku sampai ratusan. Kalau ditanya dari mana uangnya aku mau cerita. Temanku yang juga pernah belajar di Amerika bertanya padaku belum lama ini, “kemana saja kamu belanjakan uangmu yang kamu dapatkan selama kamu di Amerika?” aku tersenyum, dan berkata “buku!”

Perlunya Pengadaan yang disengaja untuk buku yang bermutu di Indonesia

Selain aksesku yang sering ke Amerika, aku juga masih sering dikirimi buku oleh profesor dan temanku yang di Amerika. Sehingga di dalam hal ini aku masih beruntung dibandingkan bukan hanya dengan orang lain,tapi juga dengan banyak pengajar atau Doktor-Doktor yang lain yang ada di Indonesia. Aku juga masih beruntung karena memiliki teman di beberapa penerbitan di Indonesia sehingga acap dikirimi buku oleh mereka.

Perlu juga disimak bahwa di India dan Korea buku juga tidak terlalu mahal. Di negara ini bahkan mereka sangat gencar menterjemahkan buku-buku yang berkwalitas dan yang dari “Barat” dengan harga murah. Sudah waktunya kita melakukan “restorasi Meiji.”

Bagaimana dengan kita? Karena kesukaanku membaca disebabkan kehausanku untuk mencari tahu, sehingga wajar kalau aku frustasi melihat tidak adanya toko buku yang memadai di Medan tempatku. Gramedia adalah toko buku utama di sini, tapi buku yang ditampilkan belum memenuhi kebutuhanku. Juga harga yang mereka patokkan cukup mahal dibandingkan dengan pendapatan masyarakat umum. Walau menurut pengamatanku faktor ini bukanlah penyebab utama belum adanya tradisi membaca disemua kalangan di Indonesia umumnya dan di Medan khususnya. Aku merindukan toko buku yang mampu menyediakan banyak buku yang bermutu dan dengan harga yang terjangkau. Aku juga merindukan penerbit-penerbit yang mau menerbitkan karya karya intelektual dalam semua bidang dalam bentuk terjemahan dan menjualnya dengan harga yang terjangkau. Aku sedih melihat buku-buku sekarang yang tercetak cantik dan dari kertas yang luks tapi isinya tidak sesuai dengan pengorbanan beberapa pohon yang telah dimusnahkan untuk itu. Peran penerbit dan toko buku sangat besar di dalam memajukan bangsa dan negara.

Orang tua, guru dan buku adalah faktor penentu dalam menentukan arah satu bangsa

Bagaimana dengan anak kita? Faktor kesengajaan bisa diciptakan di rumah dan di sekolah untuk menggiring generasi muda untuk cinta membaca. Dan inilah yang kulakukan di rumah tidak saja dengan anakku yang besar tapi juga dengan anakku yang belum genap berumur dua tahun. Sejak bayi dia sudah melihatku dikelilingi oleh buku, membaca buku, menulis dan mengetik di komputer. Dia suka meniruku membaca buku atau koran dan dia juga sudah mulai mencoret-coret buku tulis, lantai dan dinding dengan pinsilnya. Sehingga bisa kukatakan bahwa peran orang tua dan guru sangat besar dalam menentukan bentuk generasi muda yang bagaimana yang akan kita dapatkan. Ingatlah, apa yang kita tanam itulah yang kita tuai.


Mindawati Perangin-angin

Bibelvrouw HKBP Terpanggil Secara Pro-aktif Untuk Membaharui Diri di Dalam Panggilan Pelayanan di Tengah Dunia Yang Mengglobal

Bibelvrouw HKBP Terpanggil Secara Pro-aktif Untuk Membaharui Diri di Dalam Panggilan Pelayanan di Tengah Dunia Yang Mengglobal


Tulisan ini akan bertumpu pada penguraian judul di atas yang adalah sub- Thema dari rapat kita ini dalam terang Thema: Berubahlah Oleh Pembaharuan Budimu (Roma 12:2b).

I. Sebelum membaharui diri (reconstruct) hendaklah kita mengenal diri kita sendiri dulu dalam stage yang sekarang (deconstruct).

A. Rapat ini adalah rapat Bibelvrouw HKBP. Bibelvrouw HKBP adalah dua kata benda yang digabung menjadi satu. Bibelvrouw dan HKBP. Keduanya mempunyai hubungan dialogis yang saling melengkapi dan mendukung dalam upaya pencarian identitas yang kontekstual. Identitas kontekstual yang saya maksud adalah dimana ide dasar pendirian dan tujuan adanya Bibelvrouw dalam HKBP (visi-misi) nya yang tertuang dalam program harus terus berdialog dengan teologia yang nampak dalam visi misi HKBP, dalam terang konteks lokal, Nasional dan Global.

B. Bibelvrouw adalah penggabungan dua kata, Bibel dan vrouw (bahasa Belanda) yang saya mengerti berarti perempuan yang mengajar Alkitab, lepas dari apakah Alkitab yang dimaksud adalah PAK. Dan memang kategori ini dimilik oleh gereja yang berlatarbelakang tradisi Lutheran (walau semua gereja yang ada di Sumut yang adalah anggota LWF saya pikir adalah berlatarbelakang Uniert). Biblevrouw HKBP adalah pengajar alkitab perempuan HKBP, sehingga visi misi mereka harus dalam terang visi misi HKBP secara keseluruhan. Dan ini nampak karena dalam acara rapat ini saya pikir hal ini disampaikan oleh bapak Ephorus HKBP kemaren dalam sidang ke II.

C. Sehingga pencarian identitas Bibelvrouw tidak bisa dilepaspisahkan dari pencarian identitas HKBP. Karena saya adalah orang “diluar” HKBP maka paper saya hanya bisa memberikan pengamatan dan pemasukan secara umum berdasarkan situasi dan kebutuhan konteks lokal, nasional dan global, dan dalam diskusi kelompok bisa dikunyah kembali dan langsung mengaplikasikannya ke konteks HKBP.

II. Biblevrouw Kini Dan Nanti

Untuk melihat kekinian kita dalam upaya untuk semakin berdampak nanti (bukan eskatologis), yang perlu dievaluasi adalah:

1. Kurikulum kita
2. Program kerja kita
3. Dampak kehadiran kita di dalam jemaat HKBP dan masyarakat Indonesia dan dunia
4. di atas ketiga point di atas adalah evaluasi atas panggilan kita sebagai Bibelvrouw. Mengapa? karena faktor panggilan ini adalah faktor utama dalam upaya pewujudan visi dan misi institusi ini. Thema kita “Berubahlah oleh Pembaharuan Budimu” adalah sebagai pijakan untuk point ini.

1. Kurikulum Sekolah Bibelvrouw.

Apakah kurikulum Sekolah Bibelvrouw sudah mengandung tiga aspek yang mengantar calon Bibelvrouw sebagai manusia seutuhnya, yaitu aspek, kedewasaan knowledge, kedewasaan emosi dan kedewasaan spiritual? Penyatuan ketiga aspek dalam kurikulum kita akan mengantar siswa untuk berpola pikir, ucap dan tindak yang sejalan.

Terlalu lama institusi pendidikan keagamaan, khususnya sekolah teologia dimana saya lebih banyak menghabiskan masa hidup saya, memisahkan antara kedewasaan knowledge dengan kedewasaan emosi dan spiritual.

Ketiga aspek ini sangat menentukan dalam mempertajam “panggilan“ siswa (lihat point 4 di atas). Jadi menurut saya proses pendidikan sebagai calon Bibelvrouw sudah dipakai sebagi proses penyaringan (tidak perlu semua siswa harus menjadi Bibelvrouw). Jika kurikulum kita sudah mencakup ketiga aspek tadi maka
- program kerja kita tidak dipandang hanya (mere) sebagai kerja semata, tapi panggilan, dengan penuh sukacita dan bangga melakukannya sebagai pelayanan kita. Dampaknya, kita selalu memperkaya diri (life-learning process) untuk bisa tetap bermakna, sehingga
- Jelas pasti akan ada slogan,“tiada hari tanpa Bibelvrouw.”


2. Program Kerja Kita.

Sepengetahuan saya (maaf jika tidak terlalu correct), focus Biblevrouw adalah pendidikan untuk kaum perempuan dan anak. Sehingga saya pikir institusi ini khususnya dan HKBP secara menyeluruh haruslah mempunyai konsep yang jelas dan benar tentang keluarga.

Disadari sekali bahwa belakangan ini dikarenakan konsep HAM, maka tidak hanya hak perempuan tapi juga hak anak sangat diperjuangkan. Cuma bagaimana hak-hak ini bisa dirangkai dalam hubungan yang saling ber-ketergantungan[i] dalam konteks komunitas keluarga, gereja dan masyarakat. Keluarga dan masyarakat akan menuju kekehancuran jika masing-masing kategori (anak-perempuan-laki-laki- manula dll) memperjuangkan haknya tanpa menempatkannya dalam konteks keluarga dan masyarakat.

Saya sangat menekankan konteks keluarga karena keluarga adalah cerminan masyarakat bahkan gereja dalam skala kecil. Jika penampakan bentuk keluarga yang dominant sekarang adalah broken home, haruslah dianalisa penyebabnya, sehingga bukan langsung menyatakan bahwa bentuk keluarga yang terdiri dari suami dan istri sudah tidak relevan. Penampakan social yang muncul belakangan ini adalah: perkawinan sejenis (dipelopori oleh Belanda); orang tua tunggal (single parent); menunda usia berumah tangga, tapi mempercepat usia melakukan hubungan seksual; mudahnya kawin-cerai (nilai perkawinan yang sudah tidak dihormati lagi); narkoba, penganguran, putus sekolah, mutu pendidikan yang kurang; HIV-AIDS sudah mulai menjadi penyakit biasa. Penampakan sosial yang muncul belakangan ini sangatlah erat dari derasnya arus informasi dan konteks
kehidupan kita yang tidak bisa dilepaskan dari konteks global.

Semua program kerja kita kini dan nanti haruslah selalu berhubungan dengan kurikulum pendidikan, visi-misi HKBP, khususnya pandangan HKBP akan anak, perempuan, keluarga, perkawinan, kemiskinan (semuanya ini masuk dalam kategori pandangan HKBP tentang manusia dan haruslah dengan dasar teologis yang jelas sesuai dengan tradisi teologis kita, sehingga pandangan kita dan program kita tidak sama dengan LSM, let the church be the church!)[ii], analisa sosial-politik kini dan nanti di tiga konteks, lokal, nasional dan global.[iii]

3. Dampak kehadiran Bibelvrouw dijemaat HKBP khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya.

Saya pikir jika point 1,2 dan 4 (panggilan) masih belum memadai dimaksimalkan hingga kini, dampak kehadiran kita juga masih samar, antara ada dan tiada. Kita tidak akan pernah tiba ditahap pembaharuan diri jika belum pernah tiba ditahap pertobatan yang saya sebut sebagai proses deconstruct. Sakit dan tidak gampang. Tapi bukan berarti tidak bisa.

4. “BERUBAHLAH OLEH PEMBAHARUAN BUDIMU,”[iv] adalah anjuran yang HARUS DILAKUKAN untuk pemurnian panggilan kita.

Saya harap ceramah thema dari sidang I kemaren sudah cukup jelas untuk bagian ini, sehingga saya tidak perlu menjelaskan panjang lebar. Malah saya berpikir alangkah bagus jika ceramah thema berdampak sebagai proses penyaringan pemurnian panggilan kembali sebagai Bibelvrouw. Mengapa? Karena besar kecilnya faktor panggilan ini sangat berdampak bagi Bibelvrouw secara pribadi dalam menentukan keproaktifannya untuk memperbaharui dirinya (life-learning process yang terdiri dari tiga aspek- knowledge/pengetahuan, emosi/mental dan spiritual) dalam pelayanan yang sangat dipengaruhi oleh situasi tiga konteks yang akan dijelaskan dibawah ini.




III. Konteks pelayanan kita adalah Lokal, Nasional dan Global.


A. Konteks Lokal.

HKBP sama seperti gereja lain di Indonesia adalah gereja suku, Huria Kristen Batak Protestan. Kesukuan itu adalah konteks lokal. Batak klannya. Walau dalam antropologis, Toba dimasukkan dalam sub-clan, dengan yang lainnya, seperti karo, mandailing, simalungun, dll. Cuma jika HKBP hanya dikatakan adalah milik Toba, apalagi dengan getolnya keinginan untuk perwujudan propinsi Tapanuli, adalah tidak tepat. Identitas HKBP sebagai Batak sebagai unsur local saya pikir patut dikaji ulang sejalan dengan hal di atas dan perkembangan wilayah pelayanan HKBP. Ada tiga hal
yang saya pikir patut dipikirkan disini:

1. Pencarian identitas HKBP tadi dalam upaya pencarian sebagian dari factor teologia kontekstual HKBP (dalam hal ini saya sebut upaya inkulturasi)[v], dan

2. Berdasarkan hasil analisa keadaan sekarang saya juga mengajak kita untuk terbuka dalam mengantisipasi sampai seberapa jauh konteks lokal ini bisa dipertahankan, atau apakah dalam 15 tahun yang akan datang, karena kekuatan arus tekhnologi komunikasi, faktor lokal sudah memudar dan kita hanya mempunyai konteks nasional, Indonesia dan global, internasional. Hal ini biasanya sangat nampak dikalangan usia muda dan usia ini adalah termasuk wilayah pelayanan Bibelvrouw.

3. Kita juga harus mampu mengantisipasi kekuatan bertahannya faktor nasional tadi, juga pembagian atau pengklasifikasian skop global, apakah berdasarkan aspek ekonomi, teknologi atau agama?

Karena wilayah pelayanan Bibelvrouw adalah perempuan dan anak, dan keduanya ini adalah acap sebagai victim arus globalisasi, maka Bibelvrouw harus mempunyai kemampuan menganalisa konteks untuk mengantisipasi ke depan.

B. Konteks Nasional, Indonesia.

Realita Indonesia dan Asia yang plural tidak hanya dalam iman tapi juga dalam etnis haruslah saya pikir berdampak dalam isi dan metode pengajaran kita. Inkulturasi saya pikir belumlah lengkap sebagai pencarian teologia kontekstual gereja–gereja di Indonesia. Haruslah gereja di Indonesia menempatkan proses inkulturasi itu dalam konteks berbangsa dan bernegara yang Pancasila. (pengupayaan Pancasila sebagai civil religion). Revisi isi pengajaran dan metode kepada seluruh jemaat sangatlah diharuskan saya pikir.


C. Konteks Global.

Untuk konteks ini saya pikir patutlah para Bibelvrouw menyadari bahwa dalam konteks global hubungan antara ekonomi dan politik adalah interrelated dan sangat
mempengaruhi peta keagamaan dunia. Apakah globalisasi yang dikuasai oleh multi-cooperation malah memakai metode devide et impera (memecah belah dan menguasai) sehingga muncul penampakan akan adanya Cash of Civilitations, Samuel Huntington? Dan yang memang terwujud (lepas dari apakah ini skenerio USA saja),
cuma tidak bisa disangkal bahwa penampakan yang ada kini adalah munculnya kekuatan Islam secara politik karena tekanan ekonomi, politik dan tekhnologi; lihat
penyerangan Israel kembali terhadap Palestina dan Libanon, dan dimana peran PBB?

Munculnya kekuatan ekonomi dan kuantitas yang akan bermuara kekuatan bargaining politics dari kalangan “gerakan Haleluya“ yang dulu dianggap oleh Main
churches sebagai tantangan negatif, sekarang menjadi tantangan yang menstimulasi kita untuk berbenah karena kesadaran akan semakin tidak berdampaknya kehadiran kita di anggota kita sendiri khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya.

Pemunculan New Age yang berlandaskan pemahaman Hindu dan Budha sangat popular di Eropah dan Amerika. Di Eropah yang tidak populer adalah agama Kristen. Di Amerika Kekristenan masih populer sebab Billy Graham dkk masih diminati, tapi
Tidak the Mainline churches. Kekristenan di Amerika Selatan dan Afrika sangat diwarnai oleh “gerakan haleluya.“ Bagaimana dengan kita di HKBP, Indonesia dan Asia?

Semua pemunculan di atas besar sekali dikarenakan faktor ekonomi. Sehingga pemunculan-pemunculan itu sebenarnya adalah reaksi untuk tetap bertahan walaupun banyak yang bersifat semu, reaktif, fragmentaris dan sementara. Disinilah saya pikir maka rapat ini sengaja memilih subthema yang menganjurkan semua Bibelvrouw untuk proaktif memperbaharui diri dalam panggilan pelayanan di tengah dunia yang mengglobal, karena jika tidak, maka kita akan tersingkir secara perlahan tapi pasti, atau kita tetap exis namun tidak bermakna, sama seperti garam yang tidak asin lagi. [vi]

Selamat memperbaharui diri!

Salam,
Pdt. Minda Perangin angin Ph.D
Kabid Personalia dan SDM GBKP




Ivan Illich, Matinya gender, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997:
[i] Sebagai contoh adalah hubungan/relationship antara perempuan dan laki, saya berpendapat bahwa keduanya adalah saling melengkapi supaya menjadi sempurna dan ini sesuai dengan konsep ezer knegdo yangtertulis di Kej 2:18, lihat pemaparan saya dalam Paper, “ Interpersonal Relationship of Women (Female Friendship),” hal 1-2,


“It can be noted that to achieve the integration of creations (JPIC) is only an utopia saying if the relationship between men and women can not be in the stage of being mutual and equal companion/partner (See: Ynesta King, “Healing The Wounds: Feminism, Ecology and the Nature/Culture Dualism in Reweaving The World,” in Ecology Of Freedom (Palo:Alto, Ca: Cheshire Books, 1982), 109-110.
[i] Most of the time is applied to Yhwh, either as a helper or the help come from Yhwh: see Ps. 20:3; 33:20; 70:6; 89:20; 115: 9,10,11; 121:1,2; 124:8; 146:4; Exod. 18:4; Deut. 33:7,26,29; Hos. 13:9 and in Ezek. 12:14 points to a bodyguard. No wonder why feminist biblical scholars highlight this motif, because after finding that animals are not compatible to the man, then Yhwh Elohim created the woman who is finally a fit (see the connection of meaning of ezer[i] knegdo in Gen 2:18 (Most of the time is applied to Yhwh, either as a helper or the help come from Yhwh: see Ps. 20:3; 33:20; 70:6; 89:20; 115: 9,10,11; 121:1,2; 124:8; 146:4; Exod. 18:4; Deut. 33:7,26,29; Hos. 13:9 and in Ezek. 12:14 points to a bodyguard. No wonder why feminist biblical scholars highlight this motif, because after finding that animals are not compatible to the man, then Yhwh Elohim created the woman who is finally a fit helper/companion to the man. This time the man finds his match. If Trible and Clines argue and debate about the role/function of the “helper”, I try to see the usage of this word from a different angle. Always the subject and the object of ezer must have a "relationship." In a true and pure relationship there is no "take and give" motif; there is no competition on power; but it is simple the act which is based on compassionate and trust. See Clines' argumentation on Trible's views in “What does Eve Do to help? and Other irredeemably androcentric Orientations in Genesis 1-3." What Does Eve Do to help? and Other Readerly Questions to the Old Testament (Sheffield: JSOT Press, 1990) 25-48. See Trible's view in God and Rhetoric of Sexuality. (Philadelphia: Fortress Press, 1978).and the understanding of human being created in the image of God in Gen 1:26, 28)
[ii] Karena menurut saya gereja adalah gathering of the people called dimana semuanya diharapkan untuk hidup setia di dalam proses menuju keketibaan seperti Yesus (bdgnkan Gal 5:16-26); Disini ada penekanan akan proses Tapi tidak ada maaf jika tidak ada pertumbuhan iman (1 Kor 13:11; 3:1-3; 14:20, Bdgnkan Hans Conzelmann. I Corinthians, 71-2.) dan Eph 4:7-16.] Hidup mereka hanya dipimpin oleh Allah karena panggilan mereka membuat mereka lahir kembali (Ef 4:17-32; Kol 3:1-17; Bd. Rm 6:1-11; 8; 12:9-21;16:3; 1 kor 13; 2 kor 5:17; Gal 2:20; 3:5-17; 5:6-16; Fil 2:5; 3:21; John 3:3) kepunyaan Allah (Bd John Bright, The Kingdom of God, 256-59). Maka agape (see: Mt 22:34-40; Mrk 12:28-34; Luk 6:27-36; 10:25-28; 1 Kor 13; Bd. 1 Kor 4:6-21; Rom 12:9-21; 13:8-10; 1 Pet 3:8-12; 4:8; 1 Jn 4:7-21; Yoh 15:9-17; Yoh 17: 20-26.) dan ide tentang kesatuan (lht Ef 2: 11-22; 4:1-16; 1 Kor 12; Bd. Rm 12:1-8; Fil 2:1-11; 1 Pet 3:8-12; Yoh 17:20-26; Kis 4:32-37) sangat penting bagi gereja, sehingga semua anggota harus saling menolong (Mat 6: 1-4; 2 Kor 8-10; Gal 6: 1-10; 1 Pet 4:9; 3 Jn 1:5-12; Kis 2:41-47), saling mengajar dan mengingatkan (lihat berapa kali Paulus mengajardan mengingatkan jemaat untuk hidup suci, lihat juga 1 Tes 5:12-22; 2 Tes 2:13-3: 15; lihat juga isi surat Timotius; Ibr 12: 1-16; Yakobus; 1 Pet 5:1-11; Jude 1:17-22; Mat 18:15-20); saling mengerti (Luk 6:37-42; Rom 14-15:13), saling memaafkan (Mat 18:21-35; 2 Kor 2:5-11), karena semua orang sudah dibawah kuasa dosa, tidak ada seorangpun yang benar (Rm 3:9-18) dan semua orang diciptakan dalam gambarAllah.


[iii] Moltmann Says that Christian ethics are eschatological ethics, see Moltmann in ”Liberating And Anticipating the future, 205, in Liberating Eschatology, Kentucky: John Knox Press, 1999.Cf also Jesus’ ethics that can not be separated with his eschatology, see: Wolfgang Schrage, The Ethics of the New Testament, Philadelphia: Fortress Press, 1988, 24-30.

[iv] Lengkapnya: (2) Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini (Dunia ini atau waktu kini (zaman ini). Tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu (Dalam NRSV dituliskan: Do not be comforted to this world (this age) but be transformed by the renewing of your minds. Jadi LAI memakai budi, karena hendak menunjukkan perubahan kelakukan manusia, bukan perubahan pikiran saja, lihat Van den end, Surat Roma, 658) sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna. Guthrie berpendapat bahwa Paulus mempertimbangkan pola pemikiran sebagai yang penting dalam pembentukan watak Kristen (pemikiran mendahului bahkan menentukan perbuatan) lihat Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru, 279-80.


[v][v] Lihat pandangan Paul Tillich yang disingkat Moltmann dalam bukunya Theology Today, London: SCM Press, 1988:
…”Although for Tillich theology is ‘a function of the church’, his theology is an authentic theology of culture, since for him the culture with which human beings respond to the questions of their basic situations at all times and in all places,by giving themselves forms of life, is the real vehicle of the religious and the most universal manifestation of the absolute: religion is the substance o f culture – culture is the form of religion. It is the task of the theologian to expound the truth of the Christian message and interpret it a new for each generation. So theologians are caught in a te nsion between the eternal truth and the situation of the time in which this truth is to be perceived….The true task of theology lies in the correlation of tradition and situation, since theology is always ‘answering theology’ : ‘it answers the questions implied in the “situations” in the power of the eternal message and with the means provided by the situations whose questions it answers’ (78-9).
[vi] Lihat Samuel P. Huntington, Who Are We? The challenges to America’s National Identity. New York: Simon and Schuster, 2004

The culture of peace is expected to exist in the eschatological time as it is seen in

The culture of peace is expected to exist in the eschatological time as it is seen in
Hos 2:18-22 and Isa 11:6-9.


As we stated yesterday that humans are the ones who decide whether we want to follow God’s way or our own way. It is up to us. Whatever we decide there is a consequence of it. However the optimistic sense is there for God still has maintained the humans’ status as being created in God’s image. It creates hope which is revealed in the eschatological expectation.

I chose two sets of eschatological texts of the Old Testament are pertinent to this part, these are Hosea 2:18-22 (English Translation) and Isaiah 11:6-9.

Hosea 2:18-22

(18) On that day, I will make a covenant for them with the animals in the field and with the birds of the heaven and the creeping things of the land; and bow, and swords and warfare I will abolish from the earth, and I shall cause them to lie down securely
(19) I will betroth you to me forever; I will betroth you to me in righteousness and in justice and in loving kindness and in compassion
(20) And I will betroth you to me in faithfulness and you shall know Yahweh
(21) On that day, says YHWH, it shall be, I will answer to the skies, and they will answer the earth
(22) and the earth will answer the grain and the new wine and the fresh oil; and they will answer Jezreel.

Scholars argue about the date of the composition above whether it is from
Hosea [i]or the redactor either during pre-exile[ii] or exile period.[iii]
If we read carefully the book of Hosea from chapter one, it is stated clearly, like what is stated on Genesis 6-9 that Yahweh is not one who destroys (cf. Hos 11:9). Though Yahweh had been angered by Israel’s attitude (see Hos 2:1-8), and announces punishment to the people (Hos 2:9-13), all these plans and feelings are melted by the compassionate love which Yahweh has for Israel (cf. genesis 9: ). Instead of making Israel’s life miserable with punishment, the compassionate Yahweh tries to persuade Israel t remain in their “marriage” relationship (hos 2:14-17). As a result of this expected reconciliation, Yahweh will do two things:
- God will make a covenant for the people with the wild animals and
- The bow, the sword and warfare will be abolished (broken) from the earth.
It means there is no violence anymore between humans and animals and among
Humans themselves.
It is clear in Hosea 1-2 that the relationship between Yahweh and Israel is in serious trouble. The analogy of marriage points to “a mutual commitment,” they belong to each other. In this case, Israel is the unfaithful partner, Israel does not “know” her husband, Yahweh (Hos 4:1, 6; 5:4; 6:3, 6). Knowing Yahweh here refers to acknowledging the sovereignty of Yahweh who is the almighty and is the source of everything (Hos 2:8).[iv] Yahweh responds to Israel’s betrayal with understanding, compassionate love. Yahweh’s love for Israel will initiate a transformed relationship, in which Israel will “know” Yahweh (Hos 2:19-20). At that time Israel will know Yahweh, and a true relationship between them will come about. Thus, by using the extended terrace pattern,[v] Hosea (or the redactor) proclaims that Yahweh will answer to the heavens, and the heavens will answer the earth, and the earth will answer the grain, the new wine, and the fresh oil[vi] and they will answer Jezreel. As a result, there will be enough food for Israel, a gift from Yahweh (cf. Hos 2:8, 9, 12, and 15).[vii]
Hos 2:18-20 indicates, therefore that when Yahweh brings about the transformed relationship between Yahweh and Israel, Israel will not need fear of animals, war and the lack of food. This is a remarkable declaration of the interdependence among all parts of creation which can not be separated from the interrelationship between the creation and the creator (Yahweh-animals- humans in Hos 2:18 and Yahweh-plants –humans in Hos 2:21).
The well being of the interrelationships among creation can not be separated from the well being of the relationship between Yahweh and Israel; these two aspects are interrelated[viii]. These interrelationships also can be seen in Hoisea’s statement of the consequences if Israel does not “know” Yahweh: there will be chaos on earth (Hos 4:3).

Isaiah 11:6-9
(6) The wolf shall dwell with the lamb,
And the leopard shall lie down with the kid;
The calf and the young lion and the fatling together,
And a little child shall lead them.
(7) The cow and the bear shall feed together,
Their offspring shall lie down;
And the lion like cattle shall eat straw.
(8) The sucking child shall play over the hole of the cobra;
The weaned child shall put his hands on the den of the adder.
(9) They shall not hurt and destroy in all my holy mountain;
For the earth shall full of the knowledge of Yahweh as the waters cover the sea.

Though scholars have had differing views about the content of Isa 11:6-9,[ix] but I understand this part in a literal way.
The combination of the preposition “with” in lines one and two with the adverb “together” in line three, emphasizes the idea of togetherness among animals in v. 6. The animals are not only living together, but also their young feed themselves together. The climax of this stanza indicates that a young child shall lead them. The harmonious relationship among the animals expands to humans, since a young child shall shepherd them.
The repetition of the word “lie down” and “together” is found in v.7 indicates the importance of the central idea, that is, the harmonious relationship between the animals such as the cow and the bear, even till to their generations. The vegetarian idea is appears as inclusion in the second stanza. Te first and the third lines contain the same idea: the cattle, the bear and the lion shall eat straw (taban).[x] Therefore there will be no conflict because of one animals preying on another.[xi]
Three different categories of children are mentioned in V. 8. to point out that the enmity which Yahweh Elohim puts between the snake and humans no lonher exits (Cf. Gen 3:14-15).
Therefore Isa 11:6-8 indicates the harmonious relationship among animals and also between animals and humans, even children. This concept is supported and declared in v.9; they shall not hurt or destroy in my holy mountain, for the earth shall be full of the knowledge of Yahweh as the waters cover the sea.
Like Hosea, Isaiah also understands that peace among the living beings (human and animals) can not be separated from the well-being of the relationship between the creation and the creator, “for the earth shall be full of the knowledge of yew.”

Conclusion:

These two eschatological texts indicate that when Israel knows Yew (Hos 2:20, Isa 11:9), there is a peace interrelationship among creatures (animals- humans- plants/food) and between themselves. Thus there is no violence and automatically unjust and oppression are not exist among them and they have enough food for themselves. This situation was found in the creation period as well (Genesis 1:1-2:4a). However when humans follow their own way, this harmony situation is replaced by tension situation. Among humans and between humans and animals, there are tendency to pray one another. And this is violence; the more powerful being abuses their power on the less powerful being. This is unjust and oppression and this is sin, because the less powerful being has no identity anymore. However being created in God’s image is a hopeful sign for the continuation of life on the earth. It means that being created in God’s image enable us to replace the culture of violence that has been around since the post-creation period with the culture of peace. But being created in God’s image has no meaning if we don’t empower it intedtentionally. We, you and I, must empower our own status in order to know and follow God’s way. It means the culture of peace only be able to replace the culture of violence when humans full of the knowledge of God not of themselves, so that [1]they are called the children of God.
[1]
[i] See James Luther Mays, Hosea (OTL), 47.
[ii] Hans Walter Wollf, Hosea, 48; Buss, The Prophetic Word of Hosea, 33, 109.
[iii] Gale Yee, Composition and Tradition in the Book of Hosea: A Redactin Critical Investigation, 86,88, 142-43, 316-17.
[iv] “Knowing” is an important aspect n the establishment of the covenant between two parties: see Herbert Huffmon, “The treaty Background of the Hebrew Yada,” BASOR 181, 31-7. See also Mays’ view in which he prefers to see it in theological understanding. To know Yhwh means :the whole response of Israel to the acts and words of Yhwh so that the people is defined in its total life by what Yhwh reveals of himself,” see Mays, Hosea, 52; Douglas Knight, Hosea, 31,60.
[v] See Wilfred G. E Watson, Classical Hebrew Poetry, 211-12
[vi] See also Hosea 14:8; Jer 31:12; Amos 9:13-14; 1 Enoch 10:19; 2 Baruch 29:5
[vii] See also Isa 30:2325; Jer 29:17-18; 31:12; 32:24; 38:2; 42:22; 44:12; Amos 9:13-15; Joel 2:19, 24, 26.
[viii] Cf. Hans Walter Wolff, Hosea, 69.
[ix] Some scholar say that the change pictured in the passage is only a symbolic one, see: Edward Kissane, The Book of Isaiah, 136;Chistopher Seitz, Isaiah 1-39, 105-7; see Ibn Ezra’s understanding in M. Friedlander, Commentary of Ibn Ezra on Isaiah, 60. Some think it can be understood in a literal way and was inserted later in either the exilic or post-exilic time, see: George Buchanan Gray, The Book of Isaiah 1-39, 214; Eissfeldt, The Old Testament, 319. And some others suggest it come from the original prophet and is understood in a lteral way, see:George Adam Smith, The Book o Isaiah 1-31, 136,183, 192; SKINNER, Isaiah 1-39, 104; John Brght, Covenant and Promise, 108; Wildberger, Isaiah 1-12, 462-69.

[x] Taban is food for animals, see Exod 5:7, 10-12, 13, 16, 18; Gen 24:25, 32; Jer 23:28; Job 21:13; 41:19; Judge 19:19; Isa 65:25 and 1 Kgs 5:3.
[xi] Cf. salomon B. Freehof, Book of Isaiah, 77.

Bahan PA UEM General Assembly Yogjakarta

There needs to be a desire to create a culture of Peace on the earth:

There needs to be a desire to create a culture of Peace on the earth:
“How honored[i] are the Peacemakers, for they will be called children of God.” (Mat 5:9)

Bahan PA UEM General Assembly Yogjakarta

Steps to be followed:

Read Mat 5:9 carefully (3 minutes)
Discuss the questions below (10 minutes)
Read the explanation (7 minutes)
End this bible study with a discussion on the final summary (10 minutes) 1. Read Mat 5:9 2. Question: Why do you think that the culture of peace has to be createdintentionally? 3. Explanation


Though the stage of the interrelationships among the created beings has been revised by God in the post-flood period, humans’ status as beings created in God’s image is maintained (Gen 9:1-7). Therefore humans never lose the knowledge of God. Thus in all areas of life, humans have to decide whether they want to follow God’s way or their way.[ii]

Based on God’s experience in dealing with the living creatures since the creation period, God understands that humans have a tendency to follow their own ways of thinking and the inclinations of their hearts which are evil already (Gen 6:5; 8:21). Therefore we do not need to be surprised if violence is omnipresent (Gen 6:11-13). God’s love for God’s created beings makes God take the initiative to make a covenant with living creatures (Gen 6:18-19; 9:9-17), otherwise these living creatures will destroy not only themselves but also the whole creation.

Though God is quite pessimist about humans’desire to follow God’s way, however we, human beings are the ones who do the actions, you and I. We are the ones who have to decide which way we want to follow. God’s way that bring us to a situation of peace or our own way that brings us to a situation of chaos.

Because peace belongs to God, therefore the culture of peace is the culture of God where justice rolls down like waters and righteousness like an everflowing streams (Amos 5:24).[iii]

In order to decide, the kind of thinking and way of living to be used here is either-or: not both-and. There is no middle road of compromise that combines both. We have to decide which one to follow and then take responsibility for our choice. We have to start to decide! This is the first step but very important! There is a process before we decide something. Yes, that is true. However the process itself also has to be created or done purposely. So that we know for sure what we want to be, which way needs to be followed and what we have to do. Live in the messy world which we are in now where violence is not considered as sinful; where violence is considered as something that is normal, the culture of peace has to be purposely created. Creating the culture of peace has to start from us, we need to train ourselves intentionally to be peacemakers. To be a peacemaker someone needs to have peace within him/herself. Since a lot of us here have called ourselves children of God, is it not the case that the culture of peace is supposed to be prevalent in this world rather than the culture of violence?

How honored are the Peacemakers, for they will be called children of God.” (Mat 5:9).

This is one of Beatitudes (makarisms) that is part of the sermon in the mount which is written in Matthew 5-7. Based on the fundamental difference between makarisms and blessing thus I can say that there is no nuance of reward in this saying, instead it is just stating a fact.[iv] Somebody who is a peacemaker, he or she must be a child of God.

Children of God are the ones who follow God’s way,[v] the ones who understand him/her-self as a created being and God as Creator, the ones who live in the spirit.[vi] Therefore to be a peacemaker, somebody has to be born again. No wonder Jesus is considered as the best example of a peacemaker,[vii]

Who, though he was in the form of God,
Did not regard equality with God as something to be exploited,
But emptied himself, taking the form of a slave
Being born in human likeness
And being found in human form,
He humbled himself,
And became obedient to the point of death- even death on a cross (Phil 2:6-8).

Now, it is time to decide whether God’s way or our own way has to be practiced on earth. If it is God’s way, we have to be born again by emptying ourselves and be obedient to God, and the culture of peace will exist where all people are the peacemakers. We are able to achieve this stage for being created in God’s image is still humans’ status- but if we choose our own way where our minds and hearts are full of evil- the culture of violence where we live now is maintained till God intervenes. We have a right to choose and remember
There needs to be a desire to create a culture of Peace on the earth.


Final summary (10 minutes)
Do you think we are able to create the culture of peace on earth? Give your reasons!

[i] Hanson points out that makarisms (or beatitudes) are not the same as blessing. However to understand makarisms one must examine them in terms of their relationship with the blessing and honor /shame value system of Mediterranean. Honor is a positive social value- it is not simple self-esteem or pride; it is a status claim that is affirmed by community. It is tied to the symbols of power, sexual status, gender and religion. Thus, it is a social system. Honor in Hebrew is asyrey- and makarios in Greek. They are fundamentally an affirmation made by an individual or community about someone else. Blessing is barukh in Hebrew and eulogemenes in Greek. Makarios may be related to blessing but is not synonymous with the terms for blessing. Makarisms are fundamentally different from blessing: they are not words of power; they are not limited to pronouncements by God or cultic mediators; they only refers to humans, and never to god or non-human object; they do not have their setting in ritual; and one does not pray for makarisms, or refer to oneself with a makarism. They are not joyous emotion either. There are three usages makarism in the Old Testament: congratulation for success; congratulation for behavior and congratulations fop those who trust in God. See: KC Hanson, “How Honorable! How Shameful!” A cultural Analysis of Matthew’s Makarisms and Reproaches,” Semeia 68, 1994, 81-112. Based on the explanation above therefore I did not translate this makarism into blessing formula by using blessed as an opening word, instead I use “how honored.” Of course this translation means that my understanding of the content and goal of this makarism is to the “present” situation and not to the future at all. And this is not something offering reward (like blessing) but just stating a fact. Though Collins realizes the difference between makarisms and Blessing however the way he understands Mat 5:3-11 is from blessing formula point of view and considers the present and the eschatological hope is there, see: Raymond Collins, “Beatitudes,” in The Anchor Bible Dictionary vol. I, 629-31; cf. Hans Dieter Betz, “Sermon on the Mount/ Plain,” The Anchor Bible Dictionary vol. 5, 1106-1112; see also Günter Bornkamm, Jesus of Nazareth, 76-77;R. Bultmann, Theology of the New Testament I, 20-1; Wolfgang Schrage, The Ethics of the New Testament, 144-5; Paul D. Hanson, The People Called, 402-3.
[ii] Cf. the idea of the tree of the knowledge of good and evil in Gen 2:9, 17; 3:5. See more explanation on this in Howard N. Wallace, “Tree of Knowledge and Tree of Life,” in The Anchor Bible Dictionary vol. 6, 656-660. Cf. Rom 7:14-25.

[iii] In Hebrew Bible, an understanding of a noun form- justice (mishpat) and righteousness (tsedaqah) are inter-mingled, sometimes these two nouns are used interchangeably in a sentence or a line of poetry, sometimes they are used to complement each other to show the existence of God’s way that God’s commands to be followed by God’s followers, see Isa 1:17; 30:18; 33:22; 56:1; 61:8; Deut 32:4; Pss 33:5; 37:28; 89:15; 97:2; Job 34:12; 37:23; Mic 3:1; 6:8; .Prov 21: 15; 29:4; cf. Gen 18:25 and Job 8:3. These two noun forms most of the time are connected with two other noun forms, there are steadfast love and peace, see: Pss 33:5; 37:28; 72:7; 85:11;89:15; 97:2; Deut 32:4; Isa 16:5; 32:16, 17; Jer 9:23.
[iv] See: Theodore Robinson, The Gospel of Matthew, 27
[v] Therefore be imitators of God, as beloved children, and live in love, as Christ love us and gave himself up for us, a fragrant offering and sacrifice to God, see Eph 5:1. Cf. 2 Cor 6: 14-8; Cf. Robinson, Matthew, 31-2.
[vi] Peace is one of the fruits of the spirit, though I think all spirit’s fruits that are stated in Gal 5:22-23 are interrelated to each other. One fruit can not stand without the others.
7. See Eph 2:15; 2 Cor 5:18-20; Heb 2:17; Rom 3:25; 5:11; 1 John 2:2; 4:10; Col 1:20.

In the beginning, a culture of peace was proposed by God to make interrelationships among creatures (Gen 1:1-2:4a).

In the beginning, a culture of peace was proposed by God to make interrelationships among creatures (Gen 1:1-2:4a).



Steps to be followed:

Read Gen 1:1-2:4a carefully (5 minutes)
Discuss the questions below (10 minutes)
Read the explanation (7 minutes)
End this bible study with a discussion on the final summary (8 minutes).


1. Read Genesis 1:1- 2: 4a


2. Questions: (10 minutes)

Why do you think P (Priestly) as the writer of this creation story designed the story logically and quite different from the J writer in Gen 2:4a-25?
Why do you think P declared the status of humans (man and woman) together with their role?
Why do you think P explicitly mentioned that the living being (humans and the animals) in the beginning consumed vegetation as their diet?


3. Explanation (7 minutes)

P divides the creation story into six days of activity concluding with a day of divine rest. After creating some of the divisions of time (Gen 1:3-5) and space (Gen 1:6-10), on the third day God creates two categories of vegetation: plants yielding seeds, a n trees bearing fruit with seed in it, each according to its kind (Gen 1:11-13). In this process the earth has the role of bringing forth the vegetation.

After creating the lights of the sky (Gen 1:14-19), on the fifth day God commanded the water to bring forth living creatures in the water, along with the appearance of the creatures in the sky, each according to its kind. God blessed them and pronounced them good.

On day six, God create the land animals (Gen 1:24-25) and humans (Gen 1:26-28). As with the vegetation, the earth still ahs a function in bringing forth the land animals, which are categorized as cattle, everything that creeps on the ground and beast of the earth. The sequence seems to be based on the character of encounter with the animals in ordinary life.

Then as the climax, P specifically emphasize the different character of the creation of humans in Gen 1:26-28. Here P states that humans are created in accordance with God’s image and likeness and are given a role, i.e., the responsibility of ruling (rada (radad)) over the animals and subduing (kabash) [i] the earth.

Though most scholars recognize that P does not fully explain the meaning of “image of God,”[ii] however it is recognize that P emphasizes more the consequences of being in the image of God that is to rule over animals and subdue the earth.[iii]

Scholars have different views of the relationship between the status and the role of humans. It does not matter whether the meaning of “created in God’s image” is understood points to humans as “God’s representative (Von Rad, Jacob, Schmidt, Koehler can be placed here as well), or points to “the relationship between God and humans” (Vriezen, Barr, Westermann and Sarna) or points to “humans and God having a dialogue and a knowledgeable-relationship (Eichrodt), all these observations agree that the ultimate power in this matter is God as creator.

Many systematic theologian scholars misinterpreted this combination. Some of them only emphasize the status and ignore the function of humans, thus the result is the statement that humans has the highest status among creations. Some other scholars emphasize more on the function of humans that is to rule over animals and to subdue the earth, without connecting it with humans’ status. Therefore they have claimed that this verse is a cause of environmental problems.[iv]

P does not put kabash and rada (radad) either in perfect or imperfect form, but in the imperative mood. God commands humans to subdue the earth and have dominion over the animals, thus this role as a caretaker of the earth, not because they want to, but because they are commanded to do so![v] Later in Gen 9:1-17, the role is taken from humans, and the covenant is cut with all flesh, humans and animals.

In Hebrew Bible the word rada (radad) is used in Ezek 29:15; 34:4; Lev 25:43, 46, 53; 26:17; Isa 14:2; 1 Kgs 5:4; 9:23; 2 Chr 8:10; Num 24:19; Pss 49:15; 72:8; 110:2; Jer 5:31 and Neh 9:28. This verb is used in sentences in which the subject has more power than the object. The verb itself does not determine whether the subject of the verb uses power in a negative or positive way. The verb is a neutral one, just indicating that the object of the verb is under the power of the subject. Meanwhile, Kabash in the niphal stem is found in Josh 18:1; Num 32:22, 29 and 1 Chr 22:18 where the subject (the land) is in the inferior position. In Mic 7:19, the subject of the verb is Yhwh and the object is Israel. In 2 Chr 28:10; 2 Sam 8:11; Neh 5:5; Est 7:8 and Jer 34:11, 16, this verb is more often used in context where both the subject and the object are humans who represent different social strata. Generally the subject of kabash has an authority over the object of the verb. However again it does not mean that the subject abuses its authority. It can be seen in the using of this verb in the creation story, the word kabash and rada more indicate to the subject that has a rule as a care taker rather than abusive, it can be supported with the vegetarian idea in the following verse.[vi]

To maintain the living being’s life, God points out that they are to consume vegetations as their diet. The demonstrative particle hinneh, which is followed by the qal perfect of natan in Gen 1:29-30, emphasizes that there is no other choice for humans and animals except eating the plants as their food. [vii]

Finally, God saw everything that he had made, and indeed, it was very good.

The way I see the structure and the content of P’s creation story is not based on a strictly hierarchical system nor an authority without responsibility, but on sustaining the mutual interrelationship within the creation. Within the structures of creation, the physical world, P focuses on the plant, animal and human structures, based on the need of every creature to be in a relationship of harmony.[viii] Note that humans and the animals eat only vegetation. The emphasis that only humans are created directly by God, and in God’s image, has to do with P’s understanding that there has to be one who can serve as the local mana[1]ger of the earth and everything in it.

It is clear that in the beginning all creation lives in interdependent harmony, therefore violence was not supposed to be there, only the culture of peace was allowed there. In the beginning God was the creator who had the highest power, and the creatures were comfortable being as and among creatures. However, humans who were created in God’s image, the ones who supposed to be God’s representative, the ones who supposed to be responsible for God, wanted to take the responsibility for themselves. They want to be the creator, rather than as creatures (Genesis 3). They want to go their own way, instead of following God’s instructions (Genesis 3). It is the beginning of destructiveness not only in humans but also in all creatures, because they are supposed to be interdependent and always will be[ix]. The culture of peace slowly but surely has changed to the culture of violence and finally God cannot take it any longer- enough is enough! (Genesis 6).

Intervention is the one thing that God must do in order to stop evil conditions on earth, otherwise humans will destroy the earth with their evil heart and mind (Gen 6:5-7).[x] Though God let them to keep their status created in God’ image and likeness but humans are not care takers anymore (Gen 9:1-7)


4. Final Summary: the three questions below can be answered all together (8 minutes):

Have we ever considered that no part of creation can live by and for itself?
Have we ever considered that whatever we do in and for our lives impacts on the rest of creations?
Have we ever considered whether we are aware about the two question above, violence can not grow, instead we will declare together with Jesus:
Don’t do to others what you do not want them to do to you!
Love your neighbors like yourself


[1]
[i] Barr and Hamilton agree that the meaning of kabash in Gen 1:28 is parallel with tilling and keeping the land in Gen 2:5, 15 (creation story in J’s version), see Barr, “Man and Nature,” 64; Hamilton, Genesis 1-17, 139-40.
[ii] See Dillmann, Genesis, 82; Sarna, Genesis, 12; Anderson, “Human dominion over nature,” in Creation, 121; Barr, “The Image of God in the book of Genesis-A Study of Terminology,” Bulletin of the John Rylands Library, 51, 11-16; Sarna, Understanding Genesis, 15; Wolff, Anthropology, 159-61; Von Rad, Genesis, 58; and his Old Testament Theology, 146-7; Wenham, Genesis, 32-33.
[iii] Psalm 8 also states that God crowns humans with glory and honor, therefore humans have to mashal everything that Yhwh created, cf. Westerann, Genesis 1-11, 158-9; Von Rad, Genesis, 59; see also his Old Testament Theology 1, 146-7; Delitzsch, Genesis 1, 101.
[iv] Lynn White, Jr. “The Historical roots of our Ecological Crisis,” in Ecology and Religion in History, 15-31.
[v] Even tough rada (radad) in Gen 1:26 is not in the imperative mood, it is still explicitly pointed out that God assigns humans to have dominion over the animals. By using a semantics approach, Barr explores the verbs rada and kabash. He says that rada means “govern, rule, have dominion,” and is used generally of kings ruling over certain areas, of masters controlling servants, of god ruling over his land, ruling in the midst of his enemies, and so on. The verb he says is not a strong one. The verb kabash, “to subdue” is stronger. It can be sued to suggest violent physical movement like trampling own. But this word is applied in Gen 1:28 to the earth, not to the animals. Basically he says that the verb kabash has parallel meaning with abad and syamar in Gen 2:5,15, which the J writer claims as the role of man. Meanwhile the meaning of rada is parallel with mashal in Gen 1:16, 18 as Westermann suggests in Genesis 1-11; see Bar, “Man and Nature,” 62-66; see Hamilton, Genesis 1-17, 139-40. Yoel Arbeian explores the meaning of rada and kabash, as found in Gen 1:26, 28, by using a semantic and text critical approach in his article “In all Adam’s domain.” He investigates the use of the verb yaab that has its root as asah. This verb is juxtaposed with the verb mashal in Gen 1:16, 18; 3:16 and 4:7. In the Aramaic translation Arbeitan says that the four usages of mashal and the two of raah are translated by forms from same root salat. He favors the Jerusalem Bible translation as “rule or be master of.” So he says that the verb means “to rule or shepherd in a neutral sense.” The verb kabash for hikj is to conquer, in the understanding of the first conquest of Israel in the promised land, that is, the freeing and opening of the land of the counity that God wants to stay; see Arbeitan,”In all Adam’s domain,” in Judaism and Animal rights, 33-42.
[vi] Can we say that the permission to eat meat indicates that there is now a greater power tension between humans and animals rather than being based on nutritional needs?
[vii] See Steck, World and Environment, 97,108; Rust, Nature, 99; Zimmerli, World, 41; Wolff, Anthropology, 163; Hamilton, Genesis 1-17, 140; Barr, “Man and Nature,” 62-3; Vriezen, Outline, 224; Von Rad, Genesis, 29-30; Gowan, Eschatology in the Old Testament, 99; Driver, Genesis, 17. Some scholars say that this idea implied also in J’s creation story, see Delitzsch, Genesis, 102-3; Dilmann, Genesis, 87; Robert Davidson, Genesis, 37; Westermann, Genesis 1-11, 208.
[viii] Cf. William Brown,”Divine Act and the Art of Persuasion in Genesis I,” 30-1.
[ix] Notice how the land is cursed by Yhwh because of Humans’s disobedience to Yahweh, see: Gen 3:17b-18, 4:11; 8:21.
[x] According to J, it is a reason for God to send flood to destroy the earth and everything in it.

Bahan PA UEM General Assembly Yogjakarta

GBKP dan Ekklesiology

GBKP dan Ekklesiology

Judul diatas adalah hendak menegaskan tentang GBKP dan konsepnya tentang gereja atau keberadaannya. Ekklesiology adalah ilmu (studies/knowledge about church) tentang gereja. Atau dengan kata lain, konsep gereja yang bagaimana yang seharusnya diterapkan oleh GBKP. Untuk mendapatkan jawabannya pertama adalah pemilihan dasar teologis alkitabiah yang tepat diperlukan. Apa maksudnya yang tepat? Maksudnya adalah karena konsep tentang gereja dalam alkitab, atau Perjanjian baru adalah beragam, maka kita harus memilih satu atau beberapa pengertian untuk digabung menjadi satu sebagai dasar pengertian GBKP akan dirinya. Jelas ketika memilih konsep yang tepat itu kita harus mendasarkannya pada Konteks dimana GBKP berada. Konteks dalam arti situasi kondisi warganya dari sudut social (termasuk psikologis), ekonomi dan politik.[i][ii] Karena keberagaman pengertian gereja juga dalam Perjanjian baru didasarkan karena perbedaan konteks (lihat paper J. Perangin angin). Perbedaan konteks disebabkan oleh dan menyebabkan perbedaan motifasi dan tujuan. Mengapa motifasi dan tujuan ditempatkan sebagai factor yang penting dalam pemilihan dasar teologis, karena keduanya membantu satu institusi atau organisasi untuk mencapai tujuan, yaitu menjawab sedikitnya, kebutuhan dasar anggotanya. Organisasi apapun atau persekutuan apapun atau perkumpulan apapun, jika diperhitungkan sudah tidak menjawab kebutuhan anggotanya, akan ditinggalkan oleh mereka. Hal ini tidak hanya berlaku kepada organisasi politik ataupun social, seperti serikat tolong menolong, merga silima atau Persatuan Ginting Mergana dll, tapi juga gereja.

Eka Darmaputra menuliskan,: “Gereja yang bertheologia adalah gereja yang dengan bersungguh-sunguh secaar terus menerus dan sadar menggumuli makna kehadirannya.”[iii]

Hal inilah yang menyebabkan GBKP sejak tahun 2003 melakukan seminar teologia ini yang bertujuan selain untuk memperkenalkan teologia dan strukturnya sebagai organisasi seperti yang ada kini - yang juga masih belum diketahui oleh banyak tidak hanya warga tapi juga pertua dan diakennya - tapi juga sekaligus untuk mencari bentuk yang “pas/cocok/tepat” untuk GBKP agar keberadaannya berdampak, sedikitnya bagi warganya.

Hampir semua gereja diseluruh dunia kini membicarakan ekklesiologynya. Jelas masih dalam kerangka tujuan yang sama seperti yang kita lakukan sejak tahun 2003. Tahun 2003, the Westphalian church di Jerman membicarakan ekklesiology mereka dengan melakukan pertemuan internasional mengundang semua partnernya di seluruh dunia untuk memberikan masukan kepada gereja itu. Thema pertemuan itu adalah church with the future. Penyatuan gereja-gereja dari berbagai denominasi di Belanda menjadi the Uniting Churches of the Netherlands juga dalam kerangka ini. Inilah bentuk yang pas menurut mereka. Walau penyatuan ini menurut saya lebih berdasarkan untuk mencapai keefisiensian gereja sebagai organisasi sehingga agak mengabaikan unsur teologis. Hal ini terpaksa dilakukan karena drastisnya turun minat orang Belanda menjadi anggota gereja. Penampakan seperti ini adalah umum di Eropah, Australia dan Newzealand, tapi tidak di Amerika, Afrika ataupun Asia. Cuma perlu disimak bahwa angka tetap pengunjung gereja di Amerika Utara dan Selatan, Afrika dan Asia terjadi bukan karena angka tetap pengunjung the mainline churches (GBKP/Presbyterian church; HKBP/Lutheran church; Methodist; Anglican church), tapi karena anggota the mainline churches pindah tidak ke agama lain, tapi ke gereja lain, yang umumnya adalah gereja yang muncul akibat perubahan yang cepat dari situasi ekonomi dan politik yang berdampak ke perubahan kondisi social. Di Amerika sendiri hal ini sudah dimulai sejak tahun 1960-an.[iv]

Banyaknya anggota GBKP yang “double citizenship” sudah menjamur dimana-mana, tidak hanya dari status anggota biasa tapi juga dari status pelayan (pejabat) gereja, seperti penatua (pertua). Hingga kini GBKP belum terlalu melakukan sesuatu tindakan yang signifikan dalam menghadapinya, apalagi memikirkan bagaimana masa depan keanggotaannya. Gereja dalam skala local (Runggun) masih menghadapi hal ini dengan pemecahan emergency gawat darurat, yaitu mengadakan ibadah alternative. Bagi saya ini hanya menjawab masalah dipermukaan saja (praktis), tapi tidak mencapai akar masalah. Akar masalah adalah kita, gbkp, sudah tidak menjawab kebutuhan mendasar warga kita. Kita tidak bisa juga hanya mengatakan bahwa adalah tidak benar warga datang ke gereja untuk memuaskan keinginannya. Menurut Calvin kita beribadah untuk memuliakan Allah. Yes, itu teologi bagi orang yang sudah dewasa dalam pertumbuhan iman, tapi bagi warga jemaat kita yang masih dalam stage diberi makanan lunak, bahkan ada yang masih hanya di stage minum susu murni, tuntutan atau jawaban seperti ini tidak menjawab persoalan. Kita selalu lupa bahwa tidak sampai bahkan lima persen dari anggota kita yang menjadi pengikut Kristus karena keputusan pribadi di dalam memilih either/or. Mayoritas anggota kita adalah hasil PI darurat dan yang menerima keanggotaan sebagai warisan atau yang ikut-ikut-an karena tetangga dan kade-kade. Selain ini factor globalisasi dimana manusia hidup dalam tekanan persaingan (gelar - mutu sekolah- skills/ketrampilan- penampilan/performance- koneksitas) dan banyaknya pilihan yang ditawarkan kepada kita yang datang dari global market yang bahkan telah mendikte taste (citra rasa) kita dalam semua hal yang memunculkan pola tindak konsumerisme yang adalah dari dan menuju hedonisme, membikin banyak warga yang sakit secara psikologis. Frustrasi, kawatir, tertekan, kesepian, kelelahan, kebosanan/jemu, merasa gagal, tidak berguna adalah kondisi psikologis mayoritas warga kini. Dan gereja tidak bisa membantu warga menangani hal ini. Bahkan tidak memberikan sedikitpun penghiburan baik di kebaktian minggu, atapun pjj. Malah warga semakin lelah dengan kebaktian dan pjj kita. Lalu untuk apa datang? Faktor malu dan kekaronan masih bisa dipakai sebagai pengikat kaki mereka untuk tinggal kini. Tapi nanti bagaimana? Apalagi factor itu tidak dimiliki oleh generasi muda yang juga banyak dalam kondisi sakit psikologis. Tidak heran pemuda kita dan juga pemuda di gereja lain, dalam jumlah yang cukup signifikan beribadah tidak di GBKP atau gereja orang tuanya, tapi di gereja-gereja hasil haleluyah movement. Sehingga menurut saya it is a time to find the solution! Dalam upaya finding the solution inilah maka kita bicara ekklesiology, karena tidak bisa dan tidaklah bijaksana jika solusi itu fragmentaris atau yang tidak ada korelasi antara solusi praktis dan dasar teologis kita akan gereja. Disamping itu yang juga harus kita lakukan kini adalah memusatkan konsentrasi kita lebih banyak kepada pelayanan (percakapan pastoral, perkunjungan rumah tangga, kegiatan/pelatihan ketrampilan, pembinaan warga gereja, perkunjungan orang sakit) dari pada urusan organisasi/lembaga ataupun membicarakan keuangan.[v] Teologi dan ministry haruslah interrelated yang muncul dari dan untuknya konteksnya, sehingga eksistensial.

Sejak tahun 2003 seminar teologia sudah menyatakan bahwa dalam mencari ekklesiologi GBKP maka kita harus mendasarkannya pada alkitab, tradisi (calvinisme) dan konteks (local-nasional-internasional). Dr. Binsar menyatakan bahwa HKBP mewarisi Uniert yang bisa diartikan sebagai neither Lutheran nor reformed, atau bisa juga diartikan sebagai both, Lutheran and Reformed, memilih bergantung konteks dan tujuan. Walau A. Ginting Suka Dps menyatakan bahwa dalam prakteknya HKBP lebih menampakkan warna Lutheran. Saya sendiri tidak kaget dengan statement Ginting Suka, karena persyaratan LWF adalah keseragaman konfesi anggotanya, yang berbeda dengan persyaratan WARC. WARC lebih menghargai unity in diversity yang bisa diartikan menghargai konteks. Statement HKBP sebagai yang adalah bukan gereja suku, cukup mengangetkan saya, HKBP adalah untuk semua (inklusif). Menurut saya untuk tiba dipengertian GBKP haruslah mencakup sebagai gereja yang berwawasan dan berorientasi keIndonesia saja kita masih dalam proses, itupun mendapat sangat banyak sekali tantangan dengan mengeraskan hati mengatakan bahwa namanya saja GBKP, Batak Karo, ya Gereja Karo. Dr Binsar mengatakan, HKBP namanya saja yang Batak, karena sejak tahun 2002 HKBP adalah gereja yang inclusive. Jadi Batak itu sudah obsolete. Buat GBKP saya pikir yang lebih tepat adalah GBKP yes, gereja Karo, tapi juga gereja yang bisa menjawab tantangan nasional dan internasional. Makanya kami katakan bahwa konteks kita bukan hanya local saja, tapi juga nasional dan internasional. Penggabungan ketiga konteks ditawarkan melihat penampakan yang muncul sekarang dan mengantisipasi keadaan yang akan datang. Hal ini dilakukan agar gereja tetap dan selalu berdampak.

Apakah kecalvinisan GBKP harus dipertahankan? Terserah pada anda! Karena keputusan diambil di sidang sinode oleh perwakilan dari tiap runggun. Walau yang memikirkan ini haruslah moderamen yang membahasnya di konven, karena ini adalah percakapan teologis yang harus dianalisa secara cermat dengan analisa social, politik, budaya dan ekonomi. Cuma, saya hanya mau mengatakan bahwa ajaran calvin selalu berkembang dan tidak pernah berhenti pada satu zaman dan menjadikannya sebagai yang absolute. Makanya saya katakan di atas bahwa tidaklah diperlukan kesatuan konfesi untuk menjadi anggota warc. Malah Ginting suka sudah mengajak kita untuk mengkaji apakah kita masih mau mempertahankan bentuk kita yang presbyterial sinodal? Saya sudah sejak tahun lalu mengingatkan khususnya kepada para pendeta bahwa melihat realita yang ada, ada kemungkinan GBKP menuju kearah congregational. Hal ini akan mewujud jika para pendeta, aparat klasis dan moderamen tidak berfungsi seperti seharusnya. Sudah waktunya, Para pendeta harus tidak hanya mampu melayani tapi juga mempunyai pengetahuan dan skills dan jabatan klasis dan moderamen tidak lagi jabatan politis tapi keahlian dan professional. Apalagi dengan struktur dan job description yang ada. Kenapa ini menjadi pertimbangan prioritas pertama, karena warga jemaat kita, baik warga biasa maupun para pertua dan diaken sudah banyak yang memiliki pengetahun teologi yang dulu masih menjadi kemampuan monopoli para pendeta. Jika anggota jemaat seorang ahli hukum, mempunyai beberapa ketrampilan, lalu tahu teologi, dimana lagi pendeta difungsikan, apalagi pendetanya hanya mampu berteologi dan itupun teologi sampai di level-sarjana-lokal.

Dari kepelbagaian pendapat tentang apa itu gereja seperti People of God[vi]; Body of Christ[vii]; Temple of the holy spirit[viii] dan pandangan gereja sebagai koinonia/community[ix], GBKP berpikir bahwa pandangannya tentang gereja adalah seeprti yang tertulis dalam konfesi GBKP yang disahkan di sidang sinode 2005 (lihat paper S. Tarigan):


a. Gereja adalah persekutuan manusia baru yang harus terus menerus diperbarui oleh Roh Kudus, agar mampu dan bertahan menjadi garam dan terang di konteks dimana ia berada. Sehingga gereja haruslah menyaksikan pola hidup Yesus, agar Kerajaan Allah terwujud di dunia ini. Inilah arti gereja sebagai tubuh Kristus dan Kristus sebagai kepalanya. (Mat. 5:13-16; Ef. 4:12-16)
b. Gereja tidak mengadopsi nilai-nilai dunia, tapi memproklamasikan nilai-nilai Allah yang nampak dari kehidupan Yesus yaitu cinta kasih, keberpihakan pada yang miskin, tidak berdaya, dan yang tersingkirkan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan (diakonia). Inilah panggilan gereja, menyelematkan dunia; mengubah dan mentransformasinya.
c. Gereja harus mampu melakukan dialog dengan pemerintahan dimana ia berada.
d. Semua anggota persekutuan yang adalah manusia baru berperan dan mendapat bagian dalam kesaksian (marturia), persekutuan (koinonia) dan pelayanan (diakonia) gereja, sebagai wujud dari jemaat yang missioner dibawah koordinasi dan arahan dari para pelayan khusus: pendeta, penetua dan diaken.

Itu mengartikan bahwa:

- manusia baru berarti orang yang telah dipanggil keluar (ek-kalio) jadi tidak boleh menjadi sama dengan dunia.
- Terus menerus diperbaharui berarti walaupun anggotanya adalah manusia baru yang seharusnya hidup dalam roh tapi pengampunan dan pertobatan dan hidup baru terus berlangsung dalam persekutuan ini (lihat Institutio 192: ”jadi pengampunan dosa bagi kita merupakan langkah masuk yang pertama ke dalam gereja dan kerajaan Allah. Karena kalau itu tidak ada, kita tidak mempunyai perjanjian atau persekutuan dengan Allah. Tetapi dengan pengampunan dosa itu Allah tidak hanya menerima kita di dalam gerejaNya dan memasukkan kita ke dalamnya, tetapi melaui pengampunan itu juga, kita dipelihara Nya dan dilindungiNya di dalamnya.”
- Diperbarui oleh roh kudus berarti manusia dengan dirinya semata tidak mampu bertahan tinggal di dalam ketaatan pada Tuhan
- Agar mampu dan bertahan menjadi garam dan terang, menjadi saksi adalah suatu proses yang pasti menuju kekesempurnaan (atas bantuan Roh kudus)
- Di konteks dimana ia berada, tidak memisahkan antara dunia gereja, dunia rumah tangga, pergaulan dan kerja
- Gereja harus menyaksikan pola hidup Yesus: berpihak pada orang-orang yang tersingkirkan (Singgih menuliskan ini sebagai ekklesiologi asia-pasific yang harus memperhatikan rakyat, perempuan, pemuda dan anaka-anak, serta orang miskin)- hal ini berkaitan dengan poin b tentang gereja—nampak dalam kehidupan Yesus---
- Agar kerajaan allah terwujud di dalam dunia ini- melalui sikap gereja yang berpihak pada yang tersingkirkan kita mejalankan koinonia, marturia dan diakonia kita-
- Gereja adalah tubuh kristus dan kristus adalah kepalanya, supaya gereja mengingat bahwa arah dan kesianmbungannya bukan bergantung dari siapa dan system/lembaganya, tapi kristus sendiri; gereja tubuh kristus berkonsekwensi bagaimana kita menjaganya agar tidak tercemar dengan nilai keduniawian dan mempertahankan kekudusan (lihat poin b).
- Gereja tidak di atas ataupun dibawah pemerintah, sehingga hubungan dengan pemerintah dilakukan dalam bentuk dialog. Sebagai tubuh dan milik kristus gereja harus menjadi moral support dan konsultan, penasehat, mengarahkan, jika pemerintah tidak mengindahkan hak-hak warga Negara dan ciptaan lainnya. Walaupun gereja bukan dari dunia tapi gereja harus mengetahui system keduniawian untu mampu melakukan dialog dengan pemerintah
- Poin d- mengartikan bahwa semua warga yang adalah manusia baru harus berperan dalam melaksanakan marturia, diakonia dan koinonia. Peran kita beragntung dari kemampuan dan talenta kita. tidak ada talenta dan kemampuan yang satu lebih penting, atau lebih tinggi dari yang lain, semuanya dihargai sama, saling melengkapi. Kesemua talenta ini yang disalurkan melalui jalur diakonia, marturia dan koinonia diarhkan oleh para presbiter yaitu pendeta, pertua dan diaken.



[i]
[ii] Menurut Paul Tillich theologia bergerak antara dua kutub yaitu, “the eternal truth of its foundation, and the temporal situation in which the eternal truth must be received.” Dan ia menerangkan tentang the temporal situation sebagai, “the creative interpretation of existence, an interpretation which is carried on in every period of history under all kinds of psychological and sociological conditions.” Systematic Theology I, 3, 4.
[iii] Lihat “Pergumulan dan Pembaharuan Theologia di Indonesia” dalam Tabah Melangkah, 115.
[iv] Kelley menuliskan, “In the latter years of the 1960’s something remarkable happened in the united States: for the first time in the nation’s history most of the major church groups stopped growing and began to shink. Though not one of the most dramatic developments of thos years, it may prove to be one of the most significant, especially for students of man’s social behavior. Certainly those concerned with religion, either as adherents or observes, have wondered what it means and what it portends for the future. At least ten of the largest Christian denominations in the country, whose membership totaled 77, 666,223 in 1967, had fewer members the next year and fewer yet the year after. Most of these denominations had been growing uninterruptly since colonial times. In the previous decade they had grown more slowly, some failing to keep pace with the the increase in the nation’s population. And now they have begun to diminish, reversing a trend of two centuries.” Dean M. Kelley, Why Consevative Churces Are Growing. New York: harper and Row, 1972,1.
[v] Bandingkan dengan pendapat Singgih yang melihat kegagalan gereja dalam melakukan koinonia, diakonia dan marturia karena gereja tidak peka lagi pada hal-hal kemanusiaan. Jelas ini terjadi karena menipisnya rasa kasih terhadap sesama dan berdampak pada tidak mampu melihat masalah “rakyat,” Gerrit Singgih, Berteologia Dalam Konteks, Jakartadan Yogja: BPK dan Kanisius, 2000, 198-233.
[vi] Lihat Yer 31:33; Yeh 37:27;
echoed didalam 2 Kor 6:16; Ibr 8:10) Gal 6:16; Rm 11:11-36; Ef 2:14; 1 Ptr 2:9-10; Ibr 9:15; Ibr 4:9-11

[vii] Lihat Ef 2:13-14; Ef 2:16; Ef 1:23; Ef 5:26; Rm 12:5; 1 Kor 12:12; 1 kor 12:3-13; 1 Kor 10:16; 1 Kor 12:4; 7-11; Rm 12:4-8; 1 Kor 12:4-30)

[viii] Lihat Kis 2:1-4; Rm. 8:22-23; Wahyu. 21:1; Ef 2:21-22; 1 Ptr 2:5; Kis 1:8; Ef 4:1-3

[ix] Lihat Kej 1-2; Kel 19:4-6; Hos 2:18-23; Kej 3-4; Rm 1:18-3:20; wahyu 21; 1 kor 10:16; Gal 2:9; Rm 15:26; 2 kor 8:3-4; Kis 2:42-45; 1 Yoh 1:3. Juga dituliskan bahwa The biblical images already treated, as well as others such as “the flock” (Jn 10:16), “the vine” (Is 5; Jn 15), “the bride” of Christ (Rev 21:2; Eph 5:25-32), “God’s house” (Heb 3:1-6), “a new covenant” (Heb 8:8-13) and “the holy city, the new Jerusalem” (Rev 21:2), evoke the nature and quality of the relationship of God’s people to God, to one another and to the created order. The term koinonia expresses the reality to which these images refer.

Pdt. Mindawati Perangin angin