Rabu, 15 April 2009

Yes, We Need Change, However What Kind of Change

Yes, We Need Change, However What Kind of Change (Bagian II)


Ecclesia Semper Reformanda

Ecclesia semper reformanda, adalah prinsip dasar keberadaan gereja reformasi yang diawali oleh Luther. Dan semboyan ini harus acap diwujudkan agar tetap gereja menjadi gereja yang selalu bermakna bagi warga dan dunia, sehingga ecclesiology harus selalu up to date.

The Westphalian Church, Church With The Future.

Tujuh tahun yang lalu, tahun 2002, Sinode Gereja Westphalia (Westphalian Synod) di Jerman melakukan pertemuan Internasional dengan mengundang semua gereja yang mempunyai hubungan kerja sama dengannya untuk melakukan penelitian bersama tentang “Church With the Future” (Gereja dengan Masa Depannya). Tujuannya adalah untuk mengaktualkan kehadiran gereja Westphalia bagi semua anggotanya. Better late than never, walau pengunjung gereja di Jerman khususnya, dan hampir di seluruh Eropa umumnya, saat itu sudah sangat minim. Mayoritas pengunjung gereja adalah yang sudah lanjut usia (lansia). Yang jelas, upaya yang dilakukan oleh Synode Gereja Westphalia ini adalah untuk dalam rangka mengaktualisasikan diri, atau bisa juga dikatakan bahkan upaya merevitalisasi diri yang bertujuan bukan hanya untuk sekedar layak jual, tapi juga berdampak dan mampu berfungsi sebagai “kompas.”

Efisiensi dan Revitalisasi Gereja dan Institusi Ekumene

Inisiatif yang dilakukan oleh Synode Westphalia juga dilakukan oleh banyak gereja di seluruh dunia, bahkan juga oleh institusi Ekumene, seperti Dewan Gereja Asia (CCA), Dewan Gereja seDunia (WCC) , Reformed seDunia (WARC), Lutheran seDunia (LWF) dlsbnya. Di institusi Ekumene, sama seperti di Westphalian Synod, perubahan difokuskan pada program dan arah institusi, bukan teologi. Mengapa? Karena Westphalian synod seperti umumnya gereja di Eropah adalah sudah merupakan hasil dari proses peleburan beberapa teologi dalam upaya pencarian identitas mereka, dan bentuk itu sudah hampir final, apalagi setelah hampir semua gereja di Eropah, Lutheran Refromed dan Uniting Churches mengadopsi Leunberg Agreemnt pada tahun 1973. Sedangkan institusi ekumene jelas harus mengakomodasi pandangan teologis anggotanya. Peleburan gereja yang mutahir yang condong mengekumene nampak dalam peleburan gereja Belanda menjadi Uniting Churches of the Netherlands. Yang lebih kecil aspek perbedaan teologianya adalah penyatuan World Alliance of Reformed Churches (WARC) dimana GBKP adalah anggotanya, dengan Reformed Ecumenical Council (REC).

Waktu dan Tempat menjadi “obsolete” di era globalisasi

Sepertinya untuk bisa berdampak, semua institusi harus mengkaji dirinya apakah masih relevan atau tidak. Reconstruct berlaku kesemua kalangan tidak eksklusif di kalangan keagamaan saja. Era globalisasi yang dikenal sebagai era informatika membuat aspek waktu dan tempat tidak berlaku. Semua jarak menjadi dekat, tiada pagi atau malam. Pecahnya situ di Banten langsung diketahui di Amerika dan seluruh dunia melalui CNN, BBC, juga jaringan TV nasional setiap Negara di dunia. Kami melihat berita ini hampir di semua station TV yang ada di St Ulrich Augsburg, Jerman. Gaya hidup kosmopolitan tidak mengenal perbedaan waktu lagi, apakah pagi atau malam. Karena pagi di Indonesia, malam di Amerika, subuh di Eropa. Kita hidup dalam waktu global (dunia).

Era Complicated, semua interrelated, sehingga memerlukan inter-disiplinari.

Pergeseran ini memberi kuasa kepada technologi komunikasi dan informatika. Semuanya ada dan melalui internet. Semuanya bisa dikomunikasikan dalam perhitungan detik melalui sms dan email. Kantor pos, telepon rumah, komputer meja sudah ketinggalan zaman. Telepon genggam yang kecil, yang harganya terjangkau oleh umumnya masyarakat, mampu berfungsi untuk mengirim, menerima, melihat dan mendengar berita. Dampaknya? Era kini disebut post sekular, post konfesional, post kolonial dan post patriakhal.

Lalu era apa ini? Era complicated yang semuanya interraled, sehingga harus dianalisa, diprediksi secara inter-disiplinari. Di era informatika, aspek lokal dan nasional menjadi diantara ada dan tiada, tertindih oleh aspek global yang diback-up oleh multi korporasi. Semua untuk dijual, semua untuk kepentingan global, global market. Uang menjadi mammon, hingga aspek ekonomi dibayangi oleh kekuasaan politik. Keduanya terikat menjadi satu mempengaruhi kebijaksanaan politik luar negeri yang berimbas pada kebijaksanaan departemen pertahanan dan perdagangan. Sehingga tidak heran jika dasawarsa kini mengclaim bahwa Amerika adalah empire. Julukan yang ingin dipertipis oleh Omaba kini yang nampak dalam pernyataan pernyataannya dalam pertemuan G20 kemaren di London dan NATO di Prancis.

Dalam situasi seperti ini agama tidak bisa lagi sekedar sebagai “candu (penghibur/pelarian sesaat),” atau sebagai pernyataan-pernyataan dogmatik yang menakutkan dengan memperhitungkan psikologis jemaat yang masih dalam taraf anak-anak; tempat untuk mendapat pengakuan (kelas, gender dan kewarganegaraan; dll); atau bahkan spekulasi atau polemik teologia, karena zaman telah membuktikan bahwa di zaman post-post modern ini orang menganut free spirit dan free of expression. Di dalam menghadapi situasi ini, dimana dimana teori dan praxis sudah menyatu, kami menganjurkan kita memadukan pola pikir eksistensial dan pragmatis, atau bisa juga dikatakan menggunakan analisa filsafat dalam tatanan ilmu social, yang mampu dengan manis dilakukan oleh para theolog Amerika, daripada Eropah yang dominan berkacamata dan berbahasa filsafat, sedang teolog Afrika dan Asia katanya cenderung berbicara dalam bahasa ilmu social.

Pemisahan yang tajam antara analisa dan bahasa filsafat dan social.

Cukup lama kedua bahasa ini terpisah dengan tajam di Dewan Gereja seDunia dimana ilmu sosial menggantikan filsafat (lihat juga paper kami “Inkulturasi dan Kontekstualisasi” dalam Beras Piher yang menjleskan pemisahan yang tegas komisi Faith and Order dalam DGD dengan komisi Church and Society). Sedangkan Gereja Katolik walaupun setelah Vatikan II berorientasi pada konteks tapi tidak pernah meninggalkan tradisi argumentasi filsafat khususnya dalam hal natural law. Di poin inilah kami hendak mengajak kita untuk membahasakan teologia kontekstual kita dengan pemikiran filsafat. Hal ini juga membantu kita melakukan deconstruct untuk mendapat akar masalah. Pemikiran-pemikiran teologis kita yang harusnya nampak dalam konfesi dan katekisasi haruslah bisa dipakai sebagai landasan dan menjabarkan program.

The Augsburg Meeting Maret 25-April 1, 2009

Pertemuan yang kami hadiri sebagai the only Reformed among the Lutherans akan menjelaskan apa yang kami tuliskan di atas dan memaparkan bahwa upaya yang sama juga dilakukan oleh gereja main line churches di Afrika.

Lutheran yang diekspor dari Jerman ke semua kontinen beradaptasi dengan tradisi setempat, menghibrid dan menghasilkan bentuk Lutheran yang kontekstual yang bermakna bagi kepentingan lokal, namun tetap mengupayakan ruang singgung sesempit apapun dengan gereja Lutheran lainnya di konteks yang berbeda. Ruang singgung itulah yang dibicarakan dalam pertemuan Teolog Lutheran sedunia yang diadakan di Augsburg Maret 25- April 1 2009. Lokasi pertemuan sendiri sebenarnya secara tidak langsung hendak menegaskan penyegaran titik singgung diantara gereja Lutheran yaitu Konfesi Augsburg. Perlu diketahui bahwa Lutheran lebih mengikat gereja anggotanya untuk mengadopsi konfesi yang seragam dari pada Calvinis, HKBP dalam hal ini mendapat pengecualian. Di dalam pertemuan ini barulah kami sadari bahwa pergumulan, upaya dan bahasa gereja gereja di Asia dan Afrika, lepas daripada mereka tergabung dalam Lutheran Sedunia atapun Reformed Sedunia hampir sama, yaitu penekanan atas konteks dan bahasa ilmu social yang digunakan. Cukup lama kami bergumul sebagai yang mewakili Asia di Reformed sedunia dalam berdialog dengan Lutheran Sedunia untuk mencari titik temu bahasa. Hingga pertemuan yang hampir terakhir tahun lalu di Argentina, kesamaan bahasa masih jauh panggang dari api. Hal itu sirna dengan mendengarkan pemaparan-pemaparan gereja-gereja dari Afrika dan Asia lainnya. Kedominanan pola pikir dan konteks continental dari Lutheran Sedunia dalam dialog ini rupanya memberikan kontribusi besar dalam menghasilkan kesamaan bahasa. Ingatan yang tidak pernah sirna adalah di tahun 2001 ketika hendak memutuskan Justification by Faith (factor yang diangkat oleh Luther yang memunculkan Reformasi) yang telah disepakati lebih dahulu oleh Lutheran Sedunia dan Vatikan, keduanya mengundang Reformed Sedunia dan Methodist sedunia, disinilah perwakilan Lutheran memojokkan kami sebagai yang mewakili Asia tapi pernah belajar di Amerika untuk mencoba mengerti bahasa mereka dan kemudian membujuk Reformed Sedunia untuk ikut dalam agreement ini. Kami menolak. Hingga kini Reformed sedunia belum ikut dalam kesepakatan itu, tapi Methodist sedunia pada saat itu langsung bergabung dengan mereka. Bahasa mampu mengekspresikan pola pikir, tapi belum tentu bisa mengekspresikan pola sikap. Bahasa memiliki dimensi dan struktur dan mampu hanya berdampak baginya saja tanpa perlu diurai dan direalisasikan dalam konteks dan sikap (bersambung di Bagian III)

Yes, We Need Change, However What Kind of Change!

Yes, We Need Change, However What Kind of Change (Bagian I)


1. Melakukan perubahan memerlukan analisa sebagai pendahuluan

Dalam tulisan yang berjudul GBKP Quo Vadis kami menawarkan bahwa kita membutuhkan perubahan yang akan berdampak maksimal jika dilakoni secara bersama, dalam arti seluruh anggota GBKP. Tawaran ini diamini oleh Diaken Em. Sinuhaji di Maranatha edisi lalu dengan memaparkan dua perubahan yang perlu dipertimbangkan yaitu metode ibadah dan sistem mutasi.
Namun perlu disimak bahwa perubahan tidak bisa dilakukan hanya untuk perubahan an sich, tanpa didahului oleh analisa secara interdisiplinari atas konteks kini dan nanti yang beragam dan dengan tetap memiliki identitas yang jelas. Perubahan yang dilakukan sekedar untuk tetap digemari akan jatuh ke dalam pola pikir pragmatis dan pola sikap yang instan, yang sekarang kita rasakan sebagai sebab dari financial krisis. Jika disimak, tulisan kami sejak awal telah mengingatkan bahwa kita harus mampu menghibridkan pola pikir kontinental yang eksistensial dan Amerika yang pragmatis, dalam arti mampu memadukan berpola pikir jangka panjang yang mendasar dan jangka pendek yang acap berubah yang bersifat kasuistik.

2. Pemisahan yang tajam antara rasio dan rasa serta keberadaan manusia.

Di Amerika, sama seperti di Asia, Afrika dan Amerika Selatan, gereja-gereja yang mengakomodasi dan mengekspresikan rasa, adalah yang diminati, tapi tidak di Eropah. Di Eropah yang berkembang adalah Migrant churches, gereja-gereja imigran yang umumnya dari Asia dan Afrika.
Mainline churches di Eropah sudah berfungsi hanya sebagai public utility yang hanya dikunjungi jika perlu: seperti kelahiran, perkawinan/perceraian dan kematian. Tempat-tempat meditasi dan perenungan masih dinikmati.
Hingga kini saya masih berkeyakinan, lepas dari munculnya penampakan kelompok atheis di Eropah dan Amerika- bahwa manusia dengan keterbatasannya akan selalu mencari sesuatu yang “beyond” dari keberadaannya sebagai manusia. Apa dan bagaimana bentuk yang “beyond” itu, bergantung pada roh zamannya (konteks).
Dalam beberapa hal cara pandang Eropah sejajar dengan filsafat Jawa. Perasaan harus bisa dikendalikan. Sedih, gembira, lucu, marah tidak perlu terlalu diekspresikan, sewajarnya saja, atau adalah bersikap dewasa jika mampu tidak mengekspresikannya, menandakan mampu menahan diri. Perasaan yang dieskpresikan menunjukkan manusianya belum dewasa. Disinilah secara tajam pemisahan rasio dan rasa yang berdampak pada pengclaiman bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah karena perasa ditambah lagi dengan bentuk jasmani, dan lelaki adalah makhluk yang kuat, perpaduan penekanan jasmani dan rasio.

3. Pergeseran sistem dan fungsi gereja berhubungan dengan pergeseran
pandangan ilmu sosial yang saling berkaitan.

Amerika berbeda. Ilmu psikologis sangat berkembang disini. Amerika memproklamasikan lelaki boleh menangis, juga di depan umum. Tindakan yang menyehatkan mental. Tidak hanya rasio yang patut dikembangkan tapi juga rasa. Keduanya harus berkembang sejajar untuk mencapai kedewaan yang utuh. Amerikalah yang menjual teori emotional inteligence. Statement ini jelas mulai menggeser pola pikir kebudayan patriarkhi dimana lelaki tidak lagi super human, kesejajaran antara lelaki dan perempuan berkembang (sosial politik/gender studies, hukum/ketegangan dengan hukum adat; HAM; anthropologi dan sosiologi). Kebudayaan patriarkhi menganut ideologi “aku berpikir maka aku ada” dan ini adalah kebudayaan yang diakomodasi dunia.

4. Teologia dan cara/sistem gereja adalah penampakan identitas.

Jadi ketika gereja muncul dengan tata ibadah yang tertib, teratur (in order) dan meredam rasa ini adalah sejajar dengan pola budaya Eropah. Paket inilah yang diekspor ke semua benua, Amerika, Asia, Afrika dan Australia sejalan dengan ekspansi kolonialis dulu . Ketika muncul ibadah yang tidak teratur: dimana-mana ada suara bukan dari pemimpin liturgi saja; tepuk tangan serta menangis, bagi budaya Eropah, ini bukan ibadah, tapi pasar malam. Chaos, kacau, ketidak teraturan. Eropah dan beberapa di Amerika menganut pola pikir everything has to be in order (semuanya harus teratur sesuai dengan tempatnya).

Amerika yang mengclaim dirinya sebagai melting pot, negara imigran, jelas harus mengakomodasi semua latarbelakang warganya - sikap inilah yang memajukan negara ini – tradisi Eropah tidak bisa dipertahankan lebih lama. Tiba dikesimpulan seperti ini memerlukan waktu ratusan tahun dengan puncaknya diperjuangan kaum kulit hitam, dibarengi dengan womens liberation movements ditahun enampuluhan. Orang Amerika berbeda dengan Eropah, mereka lebih jujur dan terbuka pada rasa. Sehingga mereka lebih hangat, berbicara terbuka, everything has to be put on the table, tidak ada pembicaraan di belakang punggung atau meja. Kita boleh berdebat sampai pukul meja, namun setelah itu kita tetap makan siang atau ngopi bersama. Hal-hal seperti ini dianggap orang Eropah adalah “tabu.” Dari sini bisa kita lihat bagaimana “gereja gerakan haleluyah” berkembang bahkan beberapa lahir disini. Ingat bahwa musik jazz yang lahir di Amerika adalah ekspresi rasa orang kulit hitam Amerika yang kini bahkan perlahan tapi nyata di akomodasi di Eropah bahkan di gereja Eropah (musik ini dimainkan ketika kami menghadiri acara pembukan sidang sinode Westphalian di Jerman 2007). Namun metode gerakan haleluyah belum bisa terakomodasi di Mainline churches di Eropah. Sehingga jika gaya ini dengan cepat terakomodasi di Amerika Latin dan Afrika, wajar saja, karena kedua kontinen ini dikenal sebagai penduduk yang hangat dan pengekspresi rasa. Asia kita kaji dulu dan Australia sepertinya perkembangan gereja mirip dengan Eropah.

Asia beragam. Namun umumnya pola sikap kita adalah meditatif, keheningan. Bukankah agama Budha dan Hindu lahir disini dan keduanya menekankan meditasi dan kedua agama ini adalah strata selapis diatas agama sipemena oleh semua suku di Indonesia? Lihat pola tari kita. India yang klasik, bukan Bollywood yang sekarang, gerakannya meditatif, hening, hanya sesekali gerakan cepat, lihat juga Thailand, Korea dan Jepang. Begitu juga tari Bali, Jawa, Karo, agak lambat geraknya. Amat sangat jarang tari klasik suku di Indonesia memiliki gerakan cepat yang banyak. Karena tari, lagu dan puisi mulanya adalah ekspresi dari perenungan dan bersifat religius, pemujaan.
Yang mau saya katakan disini adalah metode ibadah haruslah disesuaikan dengan budayanya, sehingga tidak terjadi krisis identitas. Identits kita berada diantara ketertarikan pengaruh konteks lokal, nasional dan internasional. Pengaruh global yang dimotori mega industri sangat kuat, sehingga nasional dan lokal haruslah disengajakan untuk dikuatkan. Apakah kita mau memperkuat identitas lokal, atau menghibridnya dengan global, terserah kita. Keputusan kita semua yang menentukan warna GBKP ini. Cuma, jika kita mengadopsi apa saja yang ditawarkan, lalu apa identitas kita? Apa bedanya beribadah di GBKP dengan di gereja lain? Keseragaman identitas inilah sebenarnya yang diinginkan oleh globalisasi (lih. The World is Flat. Thomas L. Friedman. New York:Farrar, 2006). Kemarakan gereja gerakan haleluyah adalah buah globalisasi sehingga gereja bahkan sudah menjadi bagian dari mega industri.
Berdasarkan inilah maka kami katakan bahwa sebelum melakukan perubahan perlu didahului oleh analisa yang mendalam terhadap keberadaan gereja kini dan nanti. Bukankah sudah terlalu banyak hal-hal dari luar yang telah kita adopsi tanpa didahului analisa? lihat Permata dan beberapa cara dan program gereja tetangga lokal yang diadopsi GBKP.
Pemilihan atas Calvinis dan sistem presbyterial sinodal juga berdasarkan kecocokan dengan sistem budaya lokal, jadi ada upaya penyatuan keutuhan identitas agama yang notabene adalah produk import dengan penganutnya, walau masih sebatas sistem, karena teologia hingga kini masih banyak dalam bentuk pemisahan seperti minyak dengan air dengan tradisi kita. Selain konteks, pengertian akan apa itu agama dan mengapa manusia beragama juga harus dimengerti untuk memampukan kita merancang metode untuk menjawab kebutuhan umat selain pertimbangan akan peran alkitab dan warisan teologis (calvinis)

Sebelum kita memaparkan lebih lanjut tentang perubahan yang bagaimana yang bisa dipikirkan dan dilakukan, kita simak dulu komentar kami akan hal mutasi.

5. Mutasi.

Begitu juga sistem mutasi, metode yang digunakan harus berdasarkan realita yang ada dan menuju kedepan. Jika kita pakai sistem militer pengkaderan dari desa lalu ke kota, maka yang terjadi di desa adalah dominan vikaris ditambah dengan para presbiter yang sebenarnya juga masih “enggan” untuk melayani. Semarak pemilihan Pertua dan Diaken nampak di kota tidak di desa. Dengan pergeseran dari sentralisasi menuju otonomi daerah, dan pulangnya banyak sarjana ke daerah, serta pergeseran konteks orang karo, metode mutasi harus dipikir ulang. Pemerataan tenaga sudah waktunya. Apalagi sistem kita presbyterial sinodal maka yang diupayakan adalah pengecilan gap antara klasis kota yang berdaya dan klasis desa yang disubsidi. Pengecilan gap haruslah dengan pola pemberdayaan, bukan pola charity. Jelas pemberdayaan itu di SDM dan dana (peningkatan ekonomi jemaat). Penampakan kini adalah sangat sedikit pendeta kita yang bersedia ditempatkan di desa, khususnya desa yang berada di klasis tersubsidi. Bisa saja kita memberlakukan pendislipinan seperti yang termuat di Tata Gereja, namun menurut kami, sudahlah waktunya untuk dijalankan pemberian subsidi bagi pendeta yang cukup senior yang mampu memimpin dan mengayomi untuk ditempatkan di klasis tersubsidi agar klasis ini berkembang. Beberapa peraturan personalia telah dikeluarkan, dan segera akan ada peraturan kenaikan jabatan, vikaris dll. Semua ini dilakukan dalam upaya pembenahan untuk memampukan GBKP berdampak di zamannya (bersambung)