Kamis, 26 Agustus 2010

BARACK OBAMA DENGAN KONTROVERSI PEMBANGUNAN ISLAMIC CENTRE DI GROUND ZERO, NEW YORK, AMERIKA SERIKAT

Kami mengikuti perjalanan perkembangan pemilihan calon presiden Amerika yang dimenangkan oleh Obama, sejak ia masih sebagai calon dari Demokrat sebagai saingan Hillary Clinton. Ketika pemilihan umum itu terjadi, kami berada di New York. Kami masih ingat, sampai tengah malam saat itu, kami masih berpikir ia tak kan menang, mengingat bagaimana Amerika yang cukup rasis, walaupun negaranya adalah yang paling getol berbicara tentang Demokrasi. Kami tidak sekedar cuap, karena kami tinggal disitu selama sembilan tahun. Selama masa kampanyenya pun, dalam diskusi kami dengan perwakilan kulit putih dari belbagai golongan, gema rasisme itu masih bergaung. Kemenangannya adalah kemenangan partai Demokrat, karena orang Amerika sudah “muntah” dengan kebijaksanaan Bush dari partai Republik. Kemenangan Obama atas Hillary, karena orang mau “a new fresh person.” Hillary dipikirkan sebagai “the continued Clinton.” Pengaruh Clinton masih sangat besar hingga kini, bisa dilihat dari perkawinan Chelsea yang baru berlangsung (link dengan “the jewish heritage”).


Kita tahu bahwa Obama tidak sama dengan SBY. Ini tidak hanya karena faktor perbedaan usia dan latarbelakang, tapi juga perbedaan cara dan konteks berpolitik. Obama berani mengambil keputusan yang tidak popular, terbuka dan berdialog dengan kepentingan publik. Wajar, karena ia dari partai Demokrat, hampir sejajar dengan symbol PDIP untuk wong cilik, di Indonesia. Dalam hal ini sebenarnya jika PDIP secara serius fokus pada kebutuhan rakyat, besar kemungkinan partai ini akan “gets more voters” untuk pemilihan umum di Indonesia yang akan datang. It is a time orang merindukan pemerintah yang pro-rakyat.


Cuma, untuk vote Obama kali ini terhadap pembangunan “Islamic centre” di “ground zero” meragukan kami, karena menurut kami kebijaksanaan ini tidak memecahkan atau menjawab masalah yang ada, karena “the root of the problem” adalah paradigma politik luar negeri Amerika. Coba kita simak latarbelakang timbulnya “the ground zero”, “who was the actor?” (lepas dari tidak bisa disangkal bahwa ini adalah buah yang dipetik dari permainan politik luarnegeri Amerika dengan CIAnya, dll). Di sini kami tidak mau mengangkat pemerintah yang diwakili oleh Obama, tapi masyarakat banyak, “the people.” Banyak sekali “innocent peoples” yang mati karena peristiwa yang disebabkan kesalahan politik luar negeri negaranya. Sekarang Negara tidak mau mendengar suara rakyat yang adalah “victim” (korban) dari pada kebijaksanaan mereka.


Dua bulan setelah “Nine Eleven”, terjadi, kami ke New York dan menginap di Soho. Kami suka jalan dari Soho hingga ke “downtown” (lokasi ground zero) karena meliwati China and Italian towns yang banyak makanan dan barang pernak pernik lainnya, juga “the second hand book store”, Strand. Saat itu Nampak di sudut sudut jalan, orang membuat monumen - dengan dipenuhi gambar-gambar korban the Nine_Eleven dengan kata-kata penghiburan mereka, bendera Amerika, lilin-lilin, sahdu sekali- peringatan terhadap orang orang yang meninggal di peristiwa itu.. Hari ini menjadi hari perkabungan nasional. Jika anda masuk ke gereja (namanya kami lupa) yang berlokasi sangat dekat dengan “the ground zero”, disinilah korban korban dibawa, bahkan ada yg dikubur disitu. Kalau anda lihat ke dalam sudah hampir seperti museum the ground zero. Memory ini sangat kental, bahkan masih sangat kental di masyarakat sekitar.
Amerika berbeda dgn Indonesia. Nyawa org dihargai (jangan bilang, lho kok infasi ke Irak? Bedakan antara pemerintah dan rakyat). Mereka tidak seperti kita yang baik pemerintah maupun rakyatnya sudah mengidap memory lost—(kalau rakyat mungkin karena apatis, yang lainnya karena tidak tahu malu), orang Amerika itu mengingat lama, dan ada ketulusan dalam ingatan. (ukh, sy seperti pro Amerika sekali ya).


Persatuan Gereja Amerika (NCC-USA) berkomentar tentang rencana pendirian ini
“For thousands of families, Ground Zero in southern Manhattan is holy ground. Thousands lost someone they love in the terror attacks of September 11, 2001, and hundreds of thousands know someone who was directly or indirectly scarred by the collapse of the World Trade Center. The emotional investment in Ground Zero cannot be overestimated.
That is precisely why Ground Zero must be open to the religious expression of all people whose lives were scarred by the tragedy: Christians, Jews, Sikhs, Buddhists, Hindus, and more. And Muslims.”


Kami tidak mengutip semuanya, tapi dalam “statement of affirmation” dari Sekretaris Jendral NCC-USA ini beliau mengajak semua khususnya orang Kristen di Amerika untuk mengaminkan pembangunan centre ini dengan menuliskan beberapa nama korban yang beragama Islam.


Pernyataan Sekjen NCC USA di paragraph satu kami pikir tidak kena mengena jika dipakai sebagai dasar alasan di paragraph dua:
“That is precisely why Ground Zero must be open to the religious expression of all people whose lives were scarred by the tragedy: Christians, Jews, Sikhs, Buddhists, Hindus, and more. And Muslims.”

Kami khawatir, sebagai institusi, NCC USA kembali harus melakukan “politically correct,” dan harus mengikuti trend (in the post-post modern era we have to be inclusive). Pertanyaan kami kembali, apakah pendirian ini memecahkan masalah yang ada? Atau malah merugikan dengan menyakitkan perasaan masyarakat yang merasa hal ini adalah miliknya, dan menjadi boomerang bagi partai Demokrat kelak. Apakah dengan meluluskan pendirian ini bisa menjinakkan “teroris” yang sebenarnya isunya dipakai sebagai bahan propaganda politik dimulai oleh Bush dan serikatnya, lalu diikuti oleh Obama dan SBY?


Kami sendiri tidak setuju jika hal ini dipolitisasi baik oleh lawan politik Obama, baik oleh Obama sendiri, ataupun siapa saja. Sangat keterlaluan jika ini dilakukan. Mengambil keuntungan di atas nyawa nyawa orang yang tidak bersalah. Tidak ada yang dipecahkan dengan pendirian ini. Janganlah kita sekedar melakukan “politically correct” for the sake of pluralistic society and religion. Ini bukan jawaban yang menyentuh akar masalah. Tapi perubahan paradigma politik luar negeri Amerika Serikat sedikitnya akan memberikan sedikit kesejukan bagi tatanan hidup dunia. Kami hanya mau kita merasa apa yang dirasakan oleh keluarga yang ditinggalkan, juga oleh masyarakat yang mengalaminya disana. Jawaban ada dimereka.


Pdt Mindawati Perangin angin Ph.D