Jumat, 11 Juli 2008

BERTEOLOGIA SEUTUHNYA

BERTEOLOGIA SEUTUHNYA

1. Apa itu teologi.

Pertama tentu saja kita harus mengklarifikasikan apa itu teologi. Teologi berasal dari bahasa Yunani yaitu theos-logia, jadi teologia diartikan sebagai perkataan tentang Allah atau bisa dimengerti sebagai pernyatan (statement) mengenai Allah.

2. Siapa yang berteologi

Definisi di atas menempatkan Allah sebagai objek pemahaman dan manusia sebagai subjek dan objek pernyataan. Sehingga bisa dikatakan bahwa yang berteologia adalah manusia dan untuk manusia/sesama (Band. Daniel Adams, Teologia Lintas Budaya. Refleksi Barat di Asia. Jakarta: BPK, 1996, 3-5; Juga lihat P. Latuihamallo, “Sekitar Persoalan Kontekstualisasi,” , Theodoron. Jakarta: BPK, 1979, 5-16. Eka menyatakan bahwa bertheologia tidak pernah selesai, selalu dalam proses yang dinamis, lihat, Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia. Jakarta: BPK, 2001,
4-5).

3. Sumber berteologi dan perannya di dalam berteologi seutuhnya.

Jika teologi adalah pernyataan mengenai Allah, maka bisa dikatakan bahwa jika seorang berteologi itu berarti ia menyatakan tentang Allah. Yang patut dipernyatakan adalah apakah pernyataan tentang Allah itu didapatkannya dari:
a. Allah yang menyatakan dirinya lalu manusia memahaminya? (ini yang disebut pendekatan dari atas, Paulus, Karl Barth dll),
b. Manusia yang mencoba memahami Allah melalui pengalamannya (ini yang disebut pendekatan dari bawah yang sangat dipengaruh pendekatan ilmu-ilmu sosial).
c. Manusia mendapat pengetahuan tentang Allah dari luar dirinya (mayoritas umat yang mengaku dirinya beragama ada dikategori ini. Ketika agama sudah identik menjadi dogma, maka faktor pengalaman religius sudah langka.) atau
d. Gabungan poin b dan c.

Perlu diingat bahwa Allah tidak bermateri sehingga tidak dapat diinderakan. Ia hanya diamini oleh iman. Sehingga seharusnya berbicara tentang Allah haruslah dari dan untuk kalangan sendiri/seiman. (Pendekatan fenomenologis bisa membantu kita dalam hal mencoba mengerti iman orang lain). Kalau tidak akan terjadi kepincangan atau pengungkapan yang tidak utuh. (Tom Jacob menuliskan bahwa paham Allah (atau teologi) bukanlah pemahaman atau pengetahuan tentang Allah, tetapi pemahaman diri manusia dalam relasinya dengan Allah. Jelas bagaimanapun pemahaman Jacob disini adalah pemahaman dari bawah. Sehingga penekanan unsur “pengalaman/pribadi-komunitas” sangat dipentingkan dalam pembentukan satu teologi, dan unsur ini yang saya sebut sebagai dialog yang tidak berkeputusan antara internalisasi dan praxis sehari-hari, Lihat Tom Jacob, Paham Allah. Yogjakarta: Kanisius, 2002, 211,217,231.)

Sehingga adalah konyol ketika pemahaman tentang Allah yang kita pahami hanya bersumber dari dogmatik atau ajaran gereja yang diajarkan oleh Alkitab, Tradisi, Misionaris, Pendeta, Penginjil, Penatua atau/dan Diaken, sedangkan kita sendiri tidak mempunyai pengalaman dalam berhubungan dengan Allah. Pemahaman yang bersifat fragmentaris seperti inilah yang menyebabkan semakin menjauhnya hubungan antara agama dan etika.

Maka adalah keharusan bagi subjek pelaku teologia mempunyai pengalaman berhubungan dengan Allah, dan pengalaman itu bisa memperkuat pernyataan-pernyataan-pernyataan tentang Allah yang telah dimilikinya selama ini. Pengalaman berhubungan dengan Allah ini menghasilkan pendalaman yang sejalan antara pengenalan diri akan manusia itu sendiri dan Allah (Adam mengatakan ini sebagai unsur spiritualitas, lihat Adams, Teologia Lintas, xiii. Dalam hal ini Tom Jacobs masuk kedalam diskusi antara iman dan agama, Paham Allah, 211-13. Atau dengan kata lain, ia mempertanyakan apakah pemahaman manusia tentang Allah dimulai dari pengalaman atau pernyataan dogma (agama)? Jelas pertanyaan ini sejajar dengan perdebatan yang ada antara kubu Emperisme dan rasionalisme. Namun tidak bisa disangkal bahwa mayoritas pemeluk Kristen di Indonesia menjadi Kristen dikarenakan warisan. Bandingkan dengan pengertian Calvin yang menuliskan judul untuk bab I dari Institutes of the Christian Religion, “The Knowledge of God and that of ourselves are connected, how they are interrelated,” lihat John Dillenberger. John Calvin. Montana:Scholar Press, 1975, 320-3; Yohanes Calvin, Institutio, Jakarta:BPK,1983,5-9.). Sumber dari pemahaman pelaku teologia tentang Allah sangat penting di dalam upaya berteologia seutuhnya.

4. Berteologia seutuhnya.

Berteologia seutuhnya ialah dimana pola pikir, tindak dan ucap subjek (pelaku) sejalan, sehingga menghasilkan pengakuan iman yang dibahasakan sesuai dengan konteks penyampaian.

Kata memahami/mengenal/mengetahui mempunyai pengertian yang dalam di Perjanjian Lama (PL). Pengertian ketiga kata ini dalam PL ditemukan dalam pengertian kata iman. Sehingga ketika seseorang disebut sebagai yang memahami Allah, itu berarti ia mengetahui kehendak Allah dan pengetahuannya tentang Allah itu terbukti dari ucapan dan tindakannya sehari-hari. Di sini pola pikir, tindak dan ucap sejalan. Orang seperti inilah yang disebut orang yang beriman. Seorang yang dikatakan beriman bukan dari pengakuan bibirnya, tapi dari penilain manusia diluar dirinya. Sehingga berteologia seutuhnya adalah dimana pola pikir, ucap dan tindak pelaku adalah sejalan.

5. Perbedaan antara berbicara teologia/talking about theology dan berteologia/doing theology (Band. Gerit Singgih tentang periode pra-akademis; akademis dan periode akademis kontekstual di Berteologia Dalam Konteks, Jakarta: BPK, 2000132-146.)

Ketika sumber pemahaman tentang Allah hanya di dapat dari luar diri, maka pelaku teologi masih ditaraf talking about theology. Di taraf ini hanya unsur kognitif yang berperan, dan subjek hanya memindahkan teologi dari luar dirinya ke sesama manusia, tanpa menghiraukan apakah objek penerimaan mengamininya. Indoktrinasi yang menekankan metode pengulangan (hapalan) adalah metode yang ampuh untuk tujuan ini. Semakin banyak teori yang diketahui, semakin aman kita, walau hanya dibatas kepala, tidak ada pergumulan akan pernyataan itu, atau teori itu tidak pernah didialogkan kerealitas kehidupan.

Berteologi/doing theology, pelaku, selain mendialogkan unsur pengetahuan kognitif tentang Allah dengan realitas kehidupan, ia juga mengindahkan keberadaan tidak hanya objek penerimaan pernyataan, tapi juga keberadaan dari sumber diluar dirinya yang mengenalkannya tentang Allah itu. Atau yang hendak ditekankan adalah ia memperhatikan factor konteks dari objek penerimaan pernyataan dan sumber pernyataan. Sehingga bagaimanapun deconstruct dan reconstruct adalah metode yang harus dilakukan di dalam upaya penemuan dan penyampaian kerygma di dalam konteks masing-masing (teks-konteks).

6. Alkitab dan Tradisi sebagai sumber diluar diri yang mendominasi pemahaman pelaku teologi.

Mayoritas gereja di Indonesia, Alkitab dan tradisi Calvinislah yang mendominasi pemahaman kita tentang Allah.

7. Pelaku teologi harus menguasai konteks sumber diluar diri dan konteks objek sipenerima pernyataan (Gerit Singgih mengertikan ini sebagai konteks alkitab, konteks tradisi sistematis dan konteks kita masa kini, E.G Singgih, Berteologia Dalam Konteks,19.)

Seperti ditulis di atas bahwa dalam upaya berteologia seutuhnya maka kedua sumber ini, sumber dari luar diri pelaku dan pengalaman religius pribadi dengan Allah haruslah dideconstruct sebagai upaya pencarian kerygma dan penyadaran akan factor konteks dalam pembentukan teologi.

Kerygma inilah yang diinternalisasikan dan dibahasakan/diwujudkan dalam konteks dimana pernyatan ini disampaikan [Paul Tillich menyebutkan ini sebagai metode korelasi antara iman dan konteks. Dikarenakan budaya, social dan keagamaan adalah bagian dari konteks, maka ketika terjadi pertemuan antara iman dengan konteks maka haruslah ada transformasi social, (Banawiratma) budaya (lihat proposal Richard Niebuhr dalam Christ and Culture yang dikomentari oleh Singgih dalam Iman dan Politik dalam Era Reformasi di Indonesia. Jakarta: BPK, 2000, 59-75, juga dalam Berteologia Dalam Konteks, 36-40. Sehingga Kobong menyatakan bahwa kebudayaan adalah masalah missiologis, lihat TH Kobong, “Kebudayaan Sebagai masalah Misiologis,” dalam Berakar Didalam Dia dan Membangun Di atas Dia. Jakarta: BPK, 1998, 162-175) dan agama (Viktor Tanya, Aloysius Pieris. S.J. Bandingkan dengan Danile Lukito, “The Unending Dialogue of Gospel and Culture,” Struggling in Hope. Jakarta: BPK, 1999, 233-237)]. Sehingga bisa dikatakan bahwa di dalam berteologia seutuhnya pelaku tidak hanya mampu mendialogkan pemahaman dari luar dirinya tentang Allah dengan realitas kehidupan, tapi juga mengenal konteks sumber dari luar dirinya dan konteks dari objek sipenerima pernyataan tadi yang mencakup budaya situasi sosial dan keagamaan. Dan mengcounterkan hasil dialognya kekonteks sipenerima pernyatan.

Jadi dalam berteologia seutuhnya metode deconstruct dan reconstruct harus dilakukan sehingga teologia ini menjadi teologia yang fungsional (bdngkan, Eka Darmaputera, “Menuju Teologia Kontekstual,” dan Banawiratma SJ, “Teologia Fungsional Teologi Kontekstual,” keduanya dalam buku Konteks Berteologi di Indonesia. Jakarta: BPK, 1988, 3-19, 47-64.)

Selamat Berteologi!