Sabtu, 26 Desember 2009

Wawancara Harian Perjuangan Dengan Pdt Minda Perangin angin Di saat Sidang Raya PGI

Wawancara Harian Perjuangan Kepada Kami Menjelang dan Sesudah Sidang Raya PGI di Mamasa November 2009. Inilah transkrip yang mereka kirimkan kepada kami dan kami muat dalam Blog kami,



KONSENTRASI KE GBKP BUKAN PGI

Pendeta Mindawati, itu nama yang dikenal di lingkungan rohaniwan Indonesia khususnya GBKP. Namun di Mancanegara ia dikenali sebagai Revd. Mindawati Perangin-angin PhD
Chairperson of Human Resources Development, Personnel, and Ecumenical Relation of The Karo Batak Protestant Church.Di sela - sela kesibukannya, ia menerima wawancara wartawan HU Perjuangan Drs Jenda Bangun dengan multitema pembicaraan yang dikemas dalam dua edisi penerbitan.
Inilah petikan wawancara pertama.

JB : Apa kabar dan apa kesibukan yang sangat mendesak sekarang ?

MP :Baik-baik saja, Terima kasih. Kesibukan yang sangat mendesak sekarang bagaimanapun menyelesaikan semua tugas menjelang sidang Sinode 2010. Karena mandat penugasan kan lima tahun. Namun disamping itu toch kesibukan lainnya sebagai seorang yang bekecimpung juga dalam konteks nasional dan internasional tidak bisa diabaikan. Juga kesibukan lokal di GBKP dan kesibukan sebagai seorang pendeta, khususnya di saat bulan Natal, Desember ini. Cuma bagaimanapun sibuknya toch kita kan harus mampu me”manage” tidak saja antara prioritas kerja tapi juga antara kerja dan keluarga. Semisal, ini kami baru pulang dari Sidang Raya PGI, di Mamasa. Selesai tanggal 24, lalu bermobil ke Makasar lebih kurang 11 jam, tiba di Makasar sudah lewat tengah malam dan itu sudah tanggal 25. Dan harus tiba di airport Makasar jam 5 pagi, karena ambil flight pertama ke Jakarta, karena ada pekerjaan siangnya tanggal 25 di Medan. Lalu tanggal 27 harus terbang lagi ke Batam untuk beberapa hari ceramah di semua GBKP di Batam. Dalam hal ini kita juga harus mampu menyediakan waktu buat diri kita sendiri agar kesehatan fisik dan mental terjamin. Biasanya ini yang terabaikan, dikorbankan sebagai prioritas terakhir. Kami dalam proses belajar untuk memberikan porsi ini sejajar dengan porsi lainnya.

JB :Kami mendengar Anda disebut – sebut sebagai salah satu kandidat kepengurusan PGI Pusat, apa benar ?

MP : Wah pertanyaan keduanya kok terlalu to the point ya? mbok pakai intro dulu, selain menanyakan apa kabar, kan enak juga jika ada dulu pertanyaan lainnya, sebelum masuk kedalam topik ini, ha-ha-. Kami senang anda bertanya tentang hal ini, walau terus terang kami “kaget” juga disodok dengan pertanyaan ini. Kalian wartawan-wartawan kupingnya ada dimana-mana ya.

Ceritanya begini. Sejak setahun yang lalu sebenarnya sudah didengungkan para perempuan agar Sekum PGI periode 2009-14 haruslah perempuan. Walaupun dalam pemilihan Sekum periode 2004, GBKP sudah mulai mau masuk ke ajang pemilihan Sekum. Cuma waktu itu kandidat dari Sumut cukup banyak, antara lain Dr. Langsung Sitorus, Dr Einar Sitompul dan Dr. Richard Daulay. Karena kita yang paling muda diantara kandidat, maka dimintalah kita mundur. Pdt N. Keliat yang waktu itu Sekum GBKP yang mewakili menjadi team nominasi, mainnya manis dan bijaksana, GBKP mundur, apalagi Dr Daulay mengatakan tidak boleh calon Sekum yang belum 45 tahun, walau itu bau canda, tapi kami sangat menghargai kandidat yang maju saat itu.

Pemilihan tahun ini agak lain, dalam arti setahun sebelumnya kita sudah mulai didekati para perempuan untuk mau jadi Sekum PGI. Namun kami tidak pernah memberikan jawaban yang pasti, karena panggilan tugas di GBKP dan berpikir ada senior perempuan yang lebih berhak yaitu Pdt Ery Lebang dari Toraja.

Kami secara pribadi berpikir sangat serius akan peran perempuan di PGI, mengingat dampak dari tampilan perempuan yang pernah menjadi Sekjen Dewan Gereja Nasional di Negara-negara lain. Dan kesadaran kami bahwa perempuan mempunyai caranya sendiri dalam memimpin, yang dengan manis dinyatakan oleh Pdt Karel Erari dari GKI-Papua dalam diskusi kelompok di Penelahan Alkitab di kebaktian pagi tanggal 21 November di Sidang Raya di Mamasa kemaren, “sebagai ciptaan yang terakhir, she must be better than the previous creation, that was Adam.”
Walau waktu mendengar statementnya tentang perempuan yang memang banyak diutarakannya - yang kami pikir disimak oleh ketua umum GBKP, Pdt J, Peranginangin sebagai anggota kelompok diskusi- kami tertawa, karena mengingatkan kami akan advisor (pembimbing studi) kami di Amerika, Prof. Phyllis Trible yang merupakan perempuan kedua menjadi Presiden Biblis (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) sedunia setelah Prof. Elisabeth Fiorenza yang juga adalah sahabat baik kami, yang pernah mengutarakan hal ini dalam bukunya yang sangat popular Text of Terror. .

Pandangan kami tentang perempuan pernah kami tuliskan untuk hari ulang tahun Dewan Gereja Asia 50 tahun. Jadi kami hingga saat ini, ketika kami menjawab pertanyaan-pertanyaan anda, walau Sidang Raya PGI sudah selesai, dan memilih lelaki, kami masih tetap menganggap perlunya perempuan yang mampu, trampil dan tegas disitu. Ketika kami men-sms beberapa orang peserta PGI di Sidang Raya kemaren tentang hal ini, mereka bertanya, “apa ibu Minda mau disitu, jika ya datanglah cepat kesini,” kami men-sms bukan berarti kami yang mau disitu, kan banyak perempuan lain, dan kami tidak bisa hadir di Sidang Raya secara penuh, karena Sidang Raya ini took more than a week , mana perjalanan saja menghabiskan waktu bisa 3-4 hari dan di masa kami harus konsentrasi menyelesaikan Crash Program. Berdasarkan ini kami pikir kami harus dengan bijaksana menyikapinya.

Beberapa kali dalam pertemuan di Jakarta sejak tahun lalu hal ini disampaikan ke kami. Kami mengatakan bahwa konsentrasi kami ke GBKP bukan ke PGI, apalagi setelah kami diskusi dengan intens dengan mantan ketua Moderamen GBKP Pdt Em. A Ginting Suka. Dalam Konven Pendeta se GBKP di Sukamakmur ketika Pdt Erik Barus bertanya langsung apakah kami mau dicalonkan jadi Sekum, kami bilang tidak. Pdt Erik Barus saat itu juga mengatakan dirinya tidak mau maju, cuma menjelang Sidang Raya dia mengambil keputusan untuk maju jadi calon Sekum.

Kami diundang makan oleh beberapa orang di Medan, di SMS- in beberapa orang, termasuk Pdt GBKP untuk mendukung pencalonannya, kami terima dan mengatakan ya. Yang paling terkahir men-sms kami tentang pencalonan ini adalah Dr SAE Nababan, ketika kami mendiskusikan tentang keberangkatan ke Sidang Raya, karena sms Dr Yewangoe haruslah kami hadir di tgl 16-24 yang kami pikir tidak mungkin. Mahasiswa Crash Program harus dibimbing masuk dalam proposal penulisan tesis, yang jika tidak dilakukan akan berdampak banyak pada pergeseran jadwal mereka, yang tidak mungkin lagi dilakukan. Karena semua Moderamen ke Manado, maka kami harus menangani keduabelas siswa sendiri. Inilah kami prioritas untuk diselesaikan, apalagi mengingat Ketum dan Sekum GBKP sudah ada di sidang dari awal, dan kami berpikir pekerjaan di Sidang Raya baru mulai sibuk biasanya di hari terakhir ketika masuk kelompok dan seksi, dan kami tahu kami selalu dapat tugas jika tidak sebagai ketua kelompok pasti sekretaris kelompok, dan dugaan kami betul. Kami dipilih sebagai sekretaris seksi Dokumen Keesaan Gereja (DKG, kali ini khusus dokumen PBTPB) jadi hari-hari kami selama disana disii dengan kerja.

Kembai kita ke cerita sms Nababan. Mulanya kami katakan kami datang tanggal 17 tapi pulang tanggal 22, karena tanggal 23 kami harus mimpin kursus, lalu Nababan mengatakan, wah kalau mau jadi calon anggota MPH harus hadir sampai selesai. Lalu kami katakan:
a/ tidak bisa kami menghabiskan waktu di Sidang Raya selama 11 hari, karena selain Crash Program harus ditangani, ada juga kursus yang harus dilakukan.
b/. calon ke MPH PGI yang diprioritaskan adalah Pdt Erik Barus yang mau jadi full timer PGI di Sekum dan Pdt Rosmalia Barus yang juga mau jadi full timer di Wasekum. Lalu kalau ada yang part timer itu boleh kami, karena sejak dulu GBKP selalu berperan di gerakan ekumene, yang jelas kami tidak mau dan tidak boleh sebagai full timer di PGI.
Makanya nama yang GBKP berikan adalah tiga (3). Pemberian nama dari GBKP dalam jumlah 3 pun banyak sekali membingungkan orang. Yang kami sendiri tidak bingung, karena memang tidak konsentrasi kesitu. Walau belum diputuskan di sidang Moderamen akan ke-3 nama itu, namun sudah dipercakapkan di Konven pendeta, atas saran Erik yang mengatakannya ke Pdt Panji, Simon dan kami: “masukkan saja 3 nama dari GBKP yaitu Pdt Erik, Rosmalia dan Minda.
Latar-belakang pemikiran waktu itu adalah hanya Rosmalia yang mau jadi fulltimer Wasekum PGI, sedang Erik dan kami mengatakan tidak mau. Memajukan nama 3 hanya sekedar berjaga-jaga saja, dengan pikirannya sedikitnya GBKP bisa mendapat jatah part timer, yaitu salah satu Ketua di jajaran MPH.

Rupanya perkiraan Pdt Erik salah, kalau kami sendiri tidak memperkirakan apapun sebelumnya namun memberikan hak mutlak penuh ke Panitia Nominasi. Kenapa kami bilang perkiraan Pdt Erik salah, karena gereja lain menanggapi tiga nama dari GBKP dengan bingung, “kok ada 3 nama?” Sehingga saya katakana ketika orang menginginkan penegasan, jika harus memfokuskan ke satu nama, fokuskanlah ke Pdt Erik Barus, jadi sekum PGI.
Ini kami katakana baik lisan, telepon maupun sms. Namun ketika kami tiba di Sidang Raya, banyak yang datang bertanya, “ibu minda kok mundur dari pencalonan?” Kami bingung kok ada kata mundur dan pencalonan apa? “Tidak ada GBKP yang mundur, kami bilang. Pdt Erik maju ke Sekum ini prioritas pertama. Jika terjadi sesuatu, Pdt Rosmalia Barus prioritas kedua, karena dia juga mau jadi full timer Wasekum PGI. Kami hanya part timer, jika memungkin saja, dari pada GBKP tidak duduk dimana-mana.
“Wah susah itu” kata mereka, “jika Gereja sudah mencalonkan satu nama untuk Sekum, kursi lainnya tidak lagi.” “Ya tidak apa apa.”, kami bilang, yang jelas GBKP fokus ke Pdt Erik jadi Sekum.” Inilah sebenarnya keadaannya. Jadi jika Pdt Erik pun tidak terpilih jadi Sekum PGI dan GBKP tidak mendapat kursi apapun dalam periode 2009-2014, ada ceritanya sendiri.

JB : Lalu , Anda memilih mengabdi terus di GBKP ?

MP :Setelah mendengar penjelasan di atas anda sudah tahu jawabannya bukan?

JB : Atau ada yang belum terselesaikan sepanjang periode tugas di bidang SDM GBKP ?

MP : Bukan hanya karena ada yang belum terselesaikan dalam masa tugas kami hingga tahun 2010 maka kami mengambil keputusan untuk tinggal di GBKP, tapi dari awal sudah kami katakan bahwa kami pulang dari Amerika untuk kembali ke GBKP bukan PGI. PGI adalah bagian dari hidup kita bernegara dan berbangsa yang bisa dilakukan juga di GBKP.
Inilah kerinduan kami dari dulu agar GBKP mampu berperan dan berindentitas lokal, nasional dan internasional. Kalau dibuka tulisan dan ceramah-ceramah kami sejak kami mulai bekerja di GBKP siapa yang paling mendengungkan hal ini? Siapa yang mulai mempertanyakan identitas kita? Siapa yang mengajak kita untuk me-dekonstruksi- dan rekonstruksi untuk mampu berdampak di konteksnya kini dan nanti- siapa yang membangunkan GBKP ini untuk mulai sadar akan siapa dia dan mau kemana dia? Siapa yang mengajak kita untuk membayangkan GBKP 15-25 tahun kedepan dan menegaskan perlu persiapan itu dilakukan sejak sekarang?
Tugas Moderamen yang ada kini bukan untuk konteks kini, konteks kini harusnya sudah dipersiapkan oleh Moderamen 3-4 periode yang lalu, Moderamen kini harus mampu mengantisipasi bagaimana GBKP 15-25 tahun yang akan datang dan mempersiapkan kader kader muda dan juga teologianya untuk itu. Jadi prinsip kerja kita adalah mempersiapkan hal Nanti, menghadapi hal Kini dan berpijak dari analisa kritis akan hal lalu.

Namun yang kami lihat, yang ada kini adalah kerja untuk masa kini dan lalu, sehingga tidak heran Permata-Permata dan orang-orang tua muda muda (usia 30-45) tahun merasa GBKP sudah tidak up todate- lagi, apalagi nanti 5 tahun yang akan datang dan tahun-tahun seterusnya!.
Hasil penelitian GBP kita menunjukkan hal itu. Melihat realita yang ada ini, bukankah sudah selayaknya kita atau kami fokus secara utuh penuh ke GBKP, khususnya dalam rangka pengembangan SDM dan Teologianya? Mengenai dana bagi kami, bukanlah faktor yang signifikan, karena dana adalah dampak dari kualitas daya, yaitu manusianya. Keseretan dana di GBKP dikarenakan mind set SDMnya, dalam bahasa teologis itu adalah penampakan iman warga jemaatnya. ( Bersambung Minggu Depan )




TUJUAN SAYA AGAR GBKP LEBIH BERMAKNA.


Pendeta Mindawati, itu nama yang dikenal di lingkungan rohaniwan Indonesia khususnya GBKP. Naun di mancanegara ia dikenali sebagai Revd. Mindawati Perangin-angin PhD
Chairperson of Human Resources Development, Personnel, and Ecumenical Relation of The Karo Batak Protestant Church.Di sela - sela kesibukannya, ia menerima wawancara wartawan HU Perjuangan Drs Jenda Bangun dengan multitema pembicaraan yang dikemas dalam dua edisi penerbitan.
Inilah petikan wawancara kedua.

JB : Kenapa tidak selesai, bukankah mitra Anda disana cukup berpengalaman bahkan ada yang pernah bertugas di Jerman ?

MP : Wah-wah kok pertanyaan melenceng begini--- asal anda bukan provokator saja ya, ha.ha. kami minta ampun dekh jika mau diobok-obok lagi. Masih ingat soal SKS kemaren, seusai SKS anda kan yang mewawancarai kami, dan cara-cara menjelang SKS itu kini dipakai lagi persis caranya sama menjelang sidang sinode 2010. Kami pikir cara ini tidak mendidik, bukan hanya ke generasi penerus tapi juga ke diri kita sendiri, sehingga kami sekarang lebih hati-hati walau masih tetap mempertahankan prinsip bahwa kami datang ke GBKP untuk bekerja meng-up-date-in nya.
Kami masih ingat sekali, ketika surat pengunduran diri dicabut, kami dan Ketum berbicara, waktu itu dalam konteks pembentukan Crash Program, dicuplik hanya sedikit saja, …” lihat kan tanpa kamu toch GBKP berjalan, dalam hal rutinitasnya berjalan, Cuma untuk hal-hal yang baru dan mengenai mutu, itu adalah tugasmu, itulah peranmu.” Kami pikir dulu dan hingga kini, itu adalah komentar dan penilain yang jujur.

Pertanyaan anda ini mau kami hubungkan dengan semua pertanyaan anda disaat usai SKS kemaren yang kami masukkan dalam dua blog kami, Wordpress dan Blogspot, jadi orang bisa membacanya sebagai reference.

Beberapa bulan yang lalu, ada ketua klasis yang membuka ke kami, bahwa aktor keramaian di SKS ya Moderamen sendiri. Ha-ha—kami sudah duga, Cuma ketika disidang Moderamen kami buka hal ini minta supaya ada keterbukaan agar kerja team selanjutnya enak, tidak ada seorangpun yang berbicara walau sudah diundang oleh Ketum.
Cuma ada sesorang yang mengatakan bahwa tuduhan itu tidak benar. Yach melihat kondisi team begini, maka diperlukan sekali masinis yang harus tampil bijak dan berpikir untuk GBKP ke depan. Apalagi menjelang sinode 2010. Fokus kita adalah GBKP ke depan, tidak ada pribadi atau kelompok, like atau dislike, bagaimana GBKP bisa berdampak kini dan ke depan. Berbicara kini saja bisa dikatakan bahwa kita belum memenuhi tugas yang dimandatkan GBP (Garis Besar Pelayanan) 2005-2010, itu nampak dalam hasil penelitian GBP yang dibuat dalam kerangka penyusunan GBP 2010-15.
Hanya di konteks Metropolitan GBKP bisa dikatakan masih ok dalam jumlah kehadiran jemaat dan kolekte, tapi di kota, semi kota sudah mulai warning, di desa dan desa tertinggal amat sangat diprihatinkan. Persekutuan kategorial juga sangat mengkawatirkan, Moria yang selama ini dibanggakan sudah mulai terlihat menurun, Permata lampu merah di semua wilayah, Mamre hampir antara ada dan tiada. Aspek spiritualitas jemaat masih bersifat hukum dan anjuran, bukan kesadaran, dalam arti kami hendak mengatakan bahwa ajaran kita masih bersifat dogma yang harus diingat dan dihapal, belum menjadi kebudayaan. Sehingga tidak heran jika pola tindak, pikir dan ucap berbeda. Maka bisa dikatakan bahwa visi GBKP yaitu “Mewujudkan warga yang hidup setia kepada Tuhan,” yang sudah dimulai sejak tahun 2000, masih belum tercapai. Sehingga bisa saja visi ini masih dipakai terus dengan penjabaran misi yang diubah dalam GBP 2010-15. Evaluasi tentang alasan tidak pencapain bagaimanapun akan dilakukan, dan berdampak pada pen-shape-an program kedepan.

Mungkin anda bertanya kenapa pertanyaan anda tentang pekerjaan dan team work namun kami jawab dengan menjelaskan sekilas keadaan team dan GBP. Hal ini kami lakukan agar semua kita tahu bahwa tugas team Moderamen adalah melaksanakan program yang adalah misi untuk mencapai visi GBP 2005-2010. Sehingga jika ada pertanyaan mengapa belum tercapai pemenuhan visi GBP, karena dalam melaksanakan program yang tertuang dalam misi belum terjadi kesepakatan kerja dalam team sendiri karena “person behind the gun” belum terbiasa kerja berlandaskan job description masing-masing dan Masinis juga masih gamang mengarahkan gerbong ke satu tujuan yang jelas.
Sifat kerja yang keroyokan (digumuli secara ramai-ramai) masih sangat dominan dan dipikirkan sebagai yang wajar. Takutnya saya malah dimutlakkan, karena dipikirkan sebagai yang berazas kekaroan yaitu musyawarah dan rembuk bersama. Padahal ini adalah tanda cara kerja yang belum mengerti akan keprofesionalitasan kerja yang berlandaskan job description. Komposisi team yang ada kini yang beragam, ada yang mengerti ada yang tidak dan dengan pemimpin yang tidak mampu menerangkan dan tegas, kacaulah. Jelas ada yang tersinggung jika terjadi “passing through”, dan banyak sekali ini terjadi.

Struktur yang ada sekarang sebenarnya mengharuskan kita memilih orang yang professional, bukan berdasarkan lobi, like and dislike apalagi kade-kade (sada kuta, sada marga) dll. “The right person at the right place”, sehingga semua orang harus mempunyai visi dan misi, bukan lobbi sana-sini apalagi melakukan “Character assassination”.

Jadi ketika anggota team yang terpilih tanpa visi dan misi asal masuk saja dalam komposisi Moderamen, atau Klasis atau juga BP Runggun, maka ybs akan bingung melandaskan dan mewujudkannya programnya atas GBP, apalagi jika tidak di back-up oleh ketuanya. Lihatlah hasil penelitian GBP tentang pandangan jemaat tentang GBP:

JB : Kalau demikian program SDM selama ini belum tersosialisasikan seutuhnya ?

MP : Tidak juga dan bukan ini persoalannya. Yang patut menjadi perhatian ke depan bukan per bidang, tapi orang-orang yang mau masuk sebagai pemegang mandat hasil sidang sinode, menguasai bidangnya, serta memiliki visi dan misi di bidangnya secara khusus dan umum (GBKP) secara keseluruhan. Kemampuan dan tenaga Masinis sangat penting di dalam menggerakkan dan menibakan kereta di tempat tujuan yang tepat.

JB : Maaf, kalau ada “trouble” dalam kinerja ini bersifat tim atau sendiri ?

MP : Semua sudah saya jelaskan di atas, tidak perlu saya ulangi lagi.

JB : Anda tentu masih kuat dengan sistem yang ada ?

MP : Ha-ha jelas, wong ketika ini masih dalan bentuk kerangka kan team saya yang memberikan dagingnya. Cuma waktu itu kita belum terlalu sadar bahwa sistem struktur baru kita menuntut orang yang professional, konseptor, tapi juga mampu sebagai pelaku jika perlu. Yang saya dengungkan hingga kini adalah jika kita mempertahankan struktur yang ada tanpa membenahi “person behind the gun”nya, kita seperti naik mobil BMW tapi membuang tisu atau sampah dijalan. Dalam arti itu seperti tongkrongan (struktur) keren, tapi “mind set” pengemudinya nol. Tidak cocok.

JB : Bagaimana kalau Anda dicitrai sangat teoritis ?

MP : Ya wajar saja, wong tugas saya sejak datang adalah mengkonsep-konsep-dan konsep—wong sejak mantan Ketum A. Ginting Suka kan tidak banyak konsep yang diperbaharui, padahal teologia itu harus acap diperbaharui. Lihat saja sudah berapa lama kita melaksanakan PJJ, Pekan-pekan. Pernahkah ada evaluasi secara menyeluruh, tentang apakah masih layak, di konteks manakah? Methodenya bagaimanakah?

Kita terlalu takut atau malas, melakukan sesuatu yang baru. Saya memunculkan banyak konsep yang baru, jelas berdasarkan pengalaman dan analisa saya yang belajar, ceramah dan konperensi dimana-mana. Semuanya hanya bertujuan agar GBKP lebih bermakna. Itu juga yang dikatakan Ketum ketika saya balik dari pertapaan bukan? (lihat poin 5 di atas). Dalam Seminar Teologia acap dipertemukan antara teoritis dan praktis. Perlu saya katakan di sini bahwa kita sudah terlalu jauh jatuh dalam masalah praktis sehingga sudah banyak yang lari dari landasan teologis yang mencirikan identitas kita.

Hal-hal inilah yang saya upayakan untuk membenahinya. Perlu disadari bahwa Gereja bukan partai politik atau LSM, Gereja adalah milik Kristus yang berdasarkan Alkitab. Sehingga segala sesuatu ada dasar teologisnya yang beranjak dari pandangan “ekkesiologia”nya.

JB : Maksud kami, apakah Anda siap bertemu “ngawan” dalam konsep praktis dengan segala kondisi yang tercipta ?

MP :Ya Jelas saja, itu kan bergantung pada kondisi pekerjaanya. Jika kondisi pekerjaan masih menuntut perlunya konsep-konsep dasar, ya habislah waktu kita untuk mengkonsep. Jika kondisi sudah mapan dengan konsep, sekarang membutuhkan prakteknya ke lapangan, ya mulailah praxis dilakukan sambil melakukan analisa konsep yang dibuat sebelumnya. Inilah makanya ada “job description”, program kerja lima tahunan yang dibagi per tahunan. Saya malah mengusulkan bagaimana jika GBKP membuat program kerja 15-25 tahunan yang dibagi dalam pola lima tahunan yang dijabar tahunan?

Dalam praxis banyak sekali hal-hal yang kasuistik. Namun bagaimanapun semua hal yang praxis yang kasuistik ataupun tidak kasuistik kan harus diteoritiskan kembali bukan? Dalam praxis kita dirambui oleh Tata Gereja, GBP, Alkitab, Konteks dan tradisi Calvinis. Kepraktisan kita biarlah dalam koridor ini. Yang menjadi percakapan kini, dan sangat hangat semisal di Seminar Teologia adalah apakah kepraktisan kita ini masih menampakkan kecirian GBKP kita. Inilah pergumulan kini. Baik juga kita mulai merancang mana yang sentral, hal yang substansi dan mana yang praktis, hal hal metode pendekatan yang bisa diotonomikan.

Kalau pertanyaan anda lebih ke arah pola pikir dan sikap yang praktis dan kondisi jemaat yang beragam, mengapa tidak. Kalau saya suka roti bukan berarti saya tidak suka atau anti cimpa kan? Ha-ha-- (*)

Senin, 02 November 2009

Peranan Ekklesiology Dalam Pembentukan Tata Gereja

Peranan Ekklesiology Dalam Pembentukan Tata Gereja

I. Ekklesiology haruslah berdialektika dengan tata gereja

Bagaimanapun Tata Gereja harus berangkat dari dan menuju pada pemenuhan pengertian Gereja itu akan dirinya. Sehingga isi tata gereja haruslah berdialektika dengan pengertian gereja itu akan dirinya. Sehingga, jika hendak meninjau Tata Gereja Calvin maka yang perlu disimak adalah pengertian Calvin akan apa itu Gereja. Begitu juga jika hendak meninjau isi tata gereja GBKP maka yang harus dilihat pertama sekali adalah apa pengertian GBKP akan dirinya sebagai gereja.

II. Ekklesiology haruslah alkitabiah dan kontekstual

Perlu diingat bahwa lepas dari upaya Calvin yang mengupayakan untuk sealkitabiah mungkin, namun sangat disadari bahwa pengertian Gereja yang diangkatnya adalah dari dan untuk kepentingan konteks saat itu, yaitu dimasa Reformasi yang berada pada ketertarikan antara dua kutub yaitu, ekklesiologi Katolik Roma yang mengamini bahwa Gereja Katolik adalah kesinambungan historic apostolic Petrus, hingga Paus bukan hanya penerus Petrus bahkan penerus Kristus, dan kelompok Protestan Radikal yang menyatakan bahwa Gereja yang benar (the real church) adalah Gereja yang tidak nampak (invisible) yaitu yang berada disurga (pengaruh pandangan Plato, dualisme) seperti yang dinyatakan oleh kelompok Anabaptis, dan prinsip Reformasi [1] yaitu:

1. Keselamatan adalah anugerah[2] yang diamini berdasarkan iman (sola gracia, sola fidei/ justification by faith menjadi articulus stantis et cadentis ecclesiae /artikel yg membuat Gereja berdiri atau jatuh[3]).
2. Sola Scriptura. Pengetahuan yang sejati mengenai Allah hanya diperoleh dari Alkitab yang adalah dasar Gereja sehingga tidak pernah Gereja lebih tinggi dari Alkitab[4].
3. Imamat Am Semua Orang Percaya (1 Pet 2:5 dan tambahkan pengertian imam dalam surat Ibrani)[5]

Dampak dari poin 1 yaitu pernyatan bahwa keselamatan adalah anugerah yang diamini berdasarkan iman sehingga manusia yang percaya pada Kristus seharusnyalah manusia baru (regeneration, rebirth)[6] memunculkan konsepnya atas:

1. Gereja yang kelihatan (visible church).

Gereja yang kelihatan adalah gereja yang terdiri dari campuran orang munafik, yang mencari kehormatan, kekayaan, iri, memfitnah, orang-orang yang hidupnya tidak suci[7] (jelas pengertian ini dilandaskan atas pengertian Calvin akan apa itu manusia dan Allah), sehingga bagi Calvin gereja adalah sebagai seorang ibu[8] yang mengasuh serta mendidik anaknya sejak dari rahim[9] hingga mapan.

1. Pengertiannya akan manusia yang berhubungan dengan pengertiannya akan anggota gereja yang walaupun sudah diselamatkan namun tetap merupakan manusia yang berdosa sehingga gereja perlu melakukan
2. Penerapan disiplin dalam Gereja/Tata Gereja yang bertujuan untuk mengingatkan dan mengarahkan anggotanya untuk tetap hidup dalam status manusia baru sehingga:
3. Pentingnya unsur pengakuan dosa dan hidup baru dalam liturgy ibadah dan pengingatan akan sepuluh perintah Tuhan ( dan dalam menjalankan kehidupannya sehari hari anggota jemaat sangat bergantung akan
4. Peran Roh Kudus. Sehingga berdasarkan poin a, b, c, d dan e di atas Calvin menegaskan bahwa dalam gereja bukanlah factor disiplin yang prioritas tapi factor
5. penyampain firman dan sakramen, karena gereja adalah alat utama Allah untuk mewujudkan persekutuan dengan Kristus (invisible church) sehingga berdasarkan hal ini maka:
6. Allah memanggil orang-orang untuk ditugaskan untuk memberitakan firman, melayani sakramen, serta menuntun dan membina jemaat (Ordonnances Ecclesiastiques). Mulanya Calvin menetapkan hanya peran pendeta dan dibantu oleh para diaken di gereja Jenewa. Kemudian sekembalinya dari Starsburg ia menetapkan empat jabatan dalam Gereja untuk melakukannya yaitu Pendeta (pembawa firman dan sakramen); Pengajar (unsur teologia), Penatua (penilik), serta diaken. Ketiganya saling melengkapi untuk mencapai tujuan pembinaan.[10] Dengan mengutip Efesus 4:10 Calvin menegaskan

…”Kita melihat bagaimana Allah yang dapat saja membuat umatNya sempurna dalam sekejap mata, tidak menghendaki mereka mencapai kedewasaan kecuali melalui pendidikan dari Gereja.” … “sebab gembala-gembala diberi tugas untuk memberitakan ajaran surgawi--- Ia tidak hanya menghendaki supaya kita membaca dengan tekun, tetapi ia juga mengangkat guru-guru yang dapat membantu kita dengan jasa mereka…”[11]

1. Hal ini menyebabkan pengaplikasian pengertian akan “imamat am orang percaya” yang menjadi landasan para reformator sebagai upaya menentang keabsolutan peran manusia dan hirarki gereja yang nampak dalam gereja Katolik Roma dibatasi oleh Calvin.[12]

Dampak dari poin dua (2) Sola Scriptura nampak dalam upaya Calvin yang semaksimal mungkin mengalaskan semua konsepnya (Gereja, Peraturan Gereja, Pemerintahan Gereja, Manusia, Allah dll, lihat Institutio, Katekismus dan Tata Gereja Genewa dan Prancis) berdasarkan Alkitab. Sehingga tradisi tidak akan pernah lebih tinggi dari Alkitab. Alkitab haruslah dipelajari (lihat proposalnya akan jabatan pengajar), dan Alkitab haruslah diwartakan (kotbah minggu) secara benar[13], begitu juga Perjamuan Kudus[14]. Kotbah menjadi sentral di gereja serta tafsiran atas alkitab tidak bisa diabaikan. Mata pelajaran Biblika menjadi focus sekolah teologia Calvinis dan khusus di gereja Presbyterian, untuk semua calon pendeta harus lulus ujian bahasa Ibrani dan Yunani sebagai bahasa asli Alkitab.

Dampak dari Poin tiga (3), Imamat Am Semua Orang Percaya menghasilkan sistem musyawarah atau arih-arih dalam sistem Gereja yang dirancang Calvin yang nampak di Tata Gereja Jenewa dan Tata Gereja Calvinis untuk seterusnya. Juga dalam hal anggota gereja berhak memilih para presbyter dan ikut dalam mengambil keputusan. Sehingga sistem ini menempatkan keputusan yang tertinggi adalah sidang Sinode, bukan perkataan Paus. Perlu menjadi catatan bagi kita saya pikir bahwa walaupun ada upaya Calvin untuk menghilangkan jabatan dalam Gereja (semua jemaat sama, namun dengan pembagian jabatan yang dibuatnya yang diawali dengan jabatan Pendeta dan Diaken, lalu mucul jabatan Penatua dan Pengajar (lihat sistem konsistori/ BP Runggun dan Tata Gereja Perancis, pasal xxvii.29) toch juga tidak bisa mencapai pengertian Imamat Am Rajawi yang Murni.[15] Dalam arti disistem Calvin toch terjadi juga perbedaan antara anggota jemaat (awam, lay) dengan presbiter. [16]

III. Tata Gereja Calvin

Bagaimanapun diperlukan alat untuk mewujudkan pengertian gereja akan dirinya, itulah Tata Gereja. Tata gereja pertama yang dirancang oleh Calvin adalah Tata Gereja Jenewa yang bertujuan untuk menciptakan jenis manusia yang memuliakan Allah yang dipesan oleh pemerintah Geneva setelah pemerintah itu mengadopsi ajaran Reformasi. Adapun isi Tata Gereja Jenewa adalah:

A: empat jenis jabatan yaitu:

1. Pendeta. Fungsinya sebagai gembala: pelayanan sakramen dan pengawasan hidup (Ef 4:11)

Dalam Tata Gereja Jenewa tentang Pendeta dimuat dalam:

1. Siapa yang berwenang meneguhkan Pendeta
2. cara memperkenalkan calon pendeta
3. cara bentuk sumpah dan janji dari para pelayan evangelis
4. aturan jabatan kesalahan yang dapat dan tidak dapat diterima
5. peraturan perkunjungan (visitation)
6. cara perkunjungan.

1. Doktor (pengajar, Ef 4:11)). Fungsinya sebagai penafsir Alkitab
2. Penatua.[17] (Roma 12, orang-orang yang lanjut usianya yang dipilih dari anggota jemaat sebagai pemimpin[18]). Dalam bagian ini juga termuat sumpah konsistori

4. Diaken (1 Kor 12) untuk mengurus kaum miskin.

B: Tambahan isi Tata Gereja Jenewa adalah tentang:

1. Sakramen
2. Perjamuan
3. Nyanyian Gereja
4. Perkawinan
5. Hal-hal tambahan
6. Pemakaman
7. Kunjungan orang sakit; di penjara; anak-anak kecil; orang dewasa
8. Pemilihan Penatua dan
9. Pengucilan Gereja.

Tata Gereja Prancis (Discipline ecclesistique) yang ditulis Calvin setelah Tata Gereja Jenewa adalah dasar dari Tata Gereja Presbyterial Sinodal[19] yang diadopsi banyak Gereja Calvinis ditetapkan di sidang sinode di Paris tahun 1559. Tata Gereja ini lebih pendek dari Tata Gereja Jenewa terdiri dari:

1. Tentang Sinode
2. Pelayan
3. Penatua dan Diaken. Disini Diaken masuk dalam tatanan Presbyteros seperti yang diwarisi GBKP.
4. Ajaran Bidat/ Teologia dan
5. Perkawinan.

Di Tata Gereja yang dihasilkan Dalam Sinode Emden (Jerman) pada tahun 1571 mulailah peranan Klasis dipertajam.[20]

Hal yang penting dalam Tata Gereja Calvinis adalah:

1. Tugas Gereja tidak dilaksanakan oleh satu orang saja (Katolik Roma)
2. Bagaimana orang dipilih dan diangkat dalam masing-masing jabatan. Terjamin bahwa yg diangkat mempunyai kemampuan, tingkah laku dan kehidupan rohani[21]
3. Ada perundingan antar Pendeta dan antar Pendeta dengan Penatua.

Walaupun demikian jangan dikatakan bahwa system pemerintahan yang disukai Calvin adalah demokrasi. Bukan, tapi Aristokrasi (pemerintahan yang dipimpin oleh orang yang terbaik- aristoi- terkemuka). Kritiknya terhadap demokrasi adalah dapat merosot menjadi kekacauan.[22]

IV: Tata Gereja GBKP

Sistem pemerintahan GBKP mayoritas dipengaruhi tata gerja Belanda Emden 1571 dan Dordrecht, 1619. Namun seperti yang telah disebutkan di atas bagaimanapun tata gereja suatu gereja haruslah berdasarkan pengertian gereja itu akan dirinya, maka merefleksikan pemaparan di atas ke Tata Gereja GBKP, bisa dikatakan bahwa dasar teologis GBKP tentang Gereja diadopsi dari dokumen-dokumen Calvinis namun nampak kurang dikaji secara mendalam dan menyeluruh sehingga belum menampakkan suatu keutuhan teologis. Padahal diketahui bahwa setiap pernyataan teologia dihasilkan berdasarkan konteks dan untuk kebutuhan konteksnya, sehingga itu nampak dalam perwujudan tata laksana.

Hubungan pernyataan teologis tentang apa itu Gereja, jemaat dll, dengan Konfesi GBKP yang baru dan pemaparan-pemaparan teologis lainnya yang terdapat di Tata Gereja, secara keseluruhan belum kena mengena, seharusnya dalam pembukaan Tata gereja dimunculkan pengertian gereja akan dirinya sesuai yang tertulis dalam Konfesinya.

Coba kita cuplik satu poin teologis yang terdapat dalam Tata Gereja GBKP :

Dasar teologis anggota jemaat dituliskan:

Anggota sidi wajib :

1. a. Menjalankan fungsi dan peran sebagai Nabi, Imam dan Raja (imamat am orang percaya) untuk menyebarluaskan Kerajaan Allah (Keluaran 19 : 5 – 6; I Petrus 2 : 9 – 10).

Pertanyaan kami jika anggota sidi sudah wajib menjalankan fungsi dan peran sebagai nabi, imam dan raja, maka bagaimana peran para presbyter? Dalam menyimak tata gereja GKI dan GKJW dan HKBP hanya HKBP yang menuliskan hal ini itupun dalam fungsi dan peran para presbyter, bukan anggota sidi jemaat. Karena berdasarkan defini inilah maka dijabarkan tata laksana dari tugas, hak dan kewajiban yang bersangkutan. Namun jika pengertian ini yang mau dipertahankan terus, maka pembinaan terhadap warga jemaat haruslah menjadi prioritas agar mampu menciptakan anggota baptis menjadi mampu untuk Menjalankan fungsi dan peran sebagai Nabi, Imam dan Raja setelah menjadi anggota sidi.

Saya pikir Calvin juga tidak mengartikan anggota sidi jemaatnya seperti hal di atas mengingat Calvin mencantumkan itu sebagai fungsi para pendeta dan presbyteros.

Definisi Pendeta, Penatua dan Diaken dalam Tata Gereja GBKP sangat menampakkan warna Calvin (bandingkan dengan Tata Gereja Jenewa) Cuma dalam pemilihan (lihat banyaknya kemelut pemilihan Pertua, Diaken- BP Runggun – BP Klasis dan Moderamen; syarat- syarat pemilihan yang tidak diwujudkan secara tegas; sistem penilaian Sekolah Teologia yang berorientasi dominan pada aspek kognitif) dan penggodokan para presbyteros (kursus pengembangan dan penyegaran Pertua, Diaken dan Pendeta) sangat diperlukan pembenahan yang serius. Definisi yang diberikan Calvin menggodok Pendeta menjadi Pastor dan Theolog. Sehingga kurikulum Sekolah Teologianya diarahkan untuk menghasilkan Pendeta dengan kwalitas ini.

Strategi pembinaan yang merupakan inti dari tugas Gereja harus dilakoni serius, seperti:

1.
1. Pengadaan Pengajar yang handal
2. Sermon
3. PWG harus diaktifkan ,
4. Bahan dan pengelolaan pengajaran Katekisasi
5. Bahan-bahan PJJ, Bimbingan dll
6. Sekolah Teologia tempat penggodokan calon Pendeta GBKP
7. Konven.

Sistem organisasi yang diberlakukan di GBKP, seperti: Runggun- Klasis- Moderamen, sidang-sidang yang pengambilan keputusan dimusyawarahkan, yang ada dalam Tata Gereja GBKP berwarna Calvin, selain SKS (Sidang Kerja Sinode), karena peserta SKS tidak ada perwakilan Runggun (lihat Tata Gereja Sinode Emden). Cuma walaupun sistem GBKP Calvinis, namun dalam prakteknya sering terbentur kepentingan-kepentingan (ketertarikan kepentingan antar Runggun, Klasis dan Moderamen; juga ketertarikan antara peran Penatua dan Pendeta.[23] Perlu dipikirkan serius akan aspek dan kepentingan Runggun, Klasis dan Moderamen, dasar pemikiran haruslah kepentingan bersama sehingga aspek Gereja sebagai tubuh Kristus yang saling melengkapi dan solidaritas harus kembali dihidupkan

Satu hal yang kurang nampak dalam Tata Gereja kita adalah peraturan ibadah yang sebenarnya adalah faktor penting dalam Tata Gereja Calvin dan Calvinis dan ini harus disikapi atas dasar perpaduan antara pandangan ekklesiology dan konteks.

-----------------------------------------------------------------------------------------

[1] Calvin disebut sebagai Reformator generasi kedua yang berdiri dipundak Luther.

[2] Pengertian ini sebenarnya dengan tegas dimuat Paulus dalam teologianya yang nampak di suratnya ke jemaat Roma, lalu diteruskan oleh Agustinus (354-430—yang juga menghadapi Donatisme). Ketegasan teologia ini tidak berlaku mutlak di Gereja Katolik saat itu yang mengamini usaha manusia melalui pelayanan Gereja, khususnya dalam sakramen-sakramen, untuk melawan dosa dan berbuat apa yang berkenan pada Allah. Kasih karunia diperhitungkan sebagai unsur pelengkap.

[3] Gereja wajib memberitakan berita pengampunan dosa tapi hak mengampuni hanya pada Allah.

[4] Institutio I vii --- pada banyak orang terdapat kekeliruan yang teramat merusak, yaitu bahwa besarnya wibawa yang diberikan kepada kitab suci tergantung dari persetujuan Gereja. Hal 18.

[5] Imam menjadi bukan lagi jabatan khusus untuk orang tertentu (sebagai perantara manusia dan Allah, dalam pengertian PL) tapi fungsi pelayanan. Tentu perlu ada pembagian tugas dan jabatan serta pelayanan, namun hakikatnya adalah sederajat. Diantara para pejabat dan warga gereja tidak ada perbedaan derajat, yang ada hanyalah pengkhususan fungsi pelayanan.

[6] Inilah yang memisahkan Lutheran dan Reformed hingga kini. Perbedaannya sebenarnya adalah dalam penekanan Luther yang lebih berat atas justification, sedang Calvin atas sanctification. Kami sebagai anggota dialog Reformed sedunia dan Lutheran sedunia berupaya bagaimana segera akan terjadi merger diantara dua kutub ini menjadi uniert yang sudah dilakukan beberapa gereja di beberapa Negara.

[7] Lihat Institutio, hal 187-8; lihat juga pengakuan Iman Perancis pasal xxv.27 yang adalah buah tangan Calvin.

[8] Lihat Emidio Campi, “Calvin’s understanding of the church,” dalam John Calvin. What is his legacy? Reformed World vol.57. December 2007, 291-4. Lihat pernyataan Calvin di Institutio:

Bagi orang orang yang menganggap Allah adalah Bapa, Gereja juga akan menjadi ibu mereka (so that, for those to whom he is Father the church may also be Mother)

[9] Gereja yang kelihatan sebagai ibu orang orang percaya THE VISIBLE CHURCH AS MOTHER OF BELIEVERS

--- tetapi karena maksud kami sekarang ini ialah membicarakan Gereja yang kelihatan, maka marilah kita belajar dari nama “ibu” itu saja. Betapa besar manfaatnya, bahkan betapa perlunya pengetahuan mengenai Gereja itu bagi kita. Sebab bagi kita tidak ada jalan masuk ke dalam kehidupan kalau kita tidak dikandung di dalam rahimnya, dilahirkan olehnya, disusuinya, dan akhirnya dilindungi dan dimbimbingnya, sampai kita menanggalkan daging yang mesti mati ini dan menjadi sama dengan malaikat. Lagipula di luar pangkuannya tidak dapat diharapkan pengampunan dosa, ataupun keselamatan.

…I shall start, then, with the church, into whose bosom God is pleased to gather his sons, not only that they may be nourished by her help and ministry as long as they are infants and children, but also that they may be guided by her motherly care until they mature and at last reach the goal of faith. “For what God has joined together, it is not lawful to put asunder” [<411009>Mark 10:9 p.], Lihat juga pandangan De Jonge bahwa Gereja adalah sarana yg diberikan Allah kepada orang-orang percaya yang lemah untuk membina dan memelihara mereka dalam iman. Apa Itu Calvinisme, 99.

[10] Now we must speak of the order by which the Lord willed his church to be governed. He alone should rule and reign in the church as well as have authority or pre-eminence in it, and this authority should be exercised and administered by his Word alone. Nevertheless, because he does not dwell among us in visible presence [<402611>Matthew 26:11], we have said that he uses the ministry of men to declare openly his will to us by mouth, as a sort of delegated work, not by transferring to them his right and honor, but only that through their mouths he may do his own work—just as a workman uses a tool to do his work.

[11] Institutio, 186, lihat juga:

EDUCATION THROUGH THE CHURCH, ITS VALUE AND ITS OBLIGATION

But let us proceed to set forth what pertains to this topic. Paul writes that Christ, “that he might fill all things,” appointed some to be “apostles, some prophets, some evangelists, some pastors and teachers, for the equipment of the saints, for the work of the ministry, for the building up of the body of Christ, until we all reach the unity of the faith and of the knowledge of the Son of God, to perfect manhood, to the measure of the fully mature age of Christ” [<490410>Ephesians 4:10-13li, Comm., but cf. also Vg.].

We see how God, who could in a moment perfect his own, nevertheless desires them to grow up into manhood solely under the education of the church. We see the way set for it: the preaching of the heavenly doctrine has been enjoined upon the pastors. We see that all are brought under the same regulation, that with a gentle and teachable spirit they may allow themselves to be governed by teachers appointed to this function.

Isaiah had long before distinguished Christ’s Kingdom by this mark: “My spirit which is upon you, and my words which I have put in your mouth, shall never depart out of your mouth, or out of the mouth of your children, or... of your children’s children” [<235921>Isaiah 59:21]. From this it follows that all those who spurn the spiritual food, divinely extended to them through the hand of the church, deserve to perish in famine and hunger. God breathes faith into us only by the instrument of his gospel, as Paul points out that “faith comes from hearing” [<451017>Romans 10:17]. Likewise, the power to save rests with God [<450116>Romans 1:16]; but (as Paul again testifies) He displays and unfolds it in the preaching of the gospel [ibid.].

[12] Lihat penjabaran poin 3 di bawah ini dan catatan kaki no 39.

[13] And in order that the preaching of the gospel might flourish, he deposited this treasure in the church. He instituted “pastors and teachers” [<490411>Ephesians 4:11] through whose lips he might teach his own; he furnished them with authority; finally, he omitted nothing that might make for holy agreement of faith and for right order. First of all, he instituted sacraments, which we who have experienced them feel to be highly useful aids to foster and strengthen faith.

[14] Disini Calvin meneruskan pemahaman Luther bahwa Gereja yang kelihatan dibentuk oleh pemberitaan firman Allah. Tidak ada perkumpulan manusia yang boleh mengklaim menjadi “Gereja Tuhan” kecuali jika dia dilandaskan di atas Injil ini. Disini Luther menyangkal pengertian Katolik akan kesinambungan histories Gereja dari apostolic- tapi teologis bersifat fungsional-

[15] Lihat pikiran Calvin akan Gereja dan pejabatnya di De Jonge, Calvinisme, 48-50.

[16] De Jonge menuliskan …Akan tetapi ternyata Calvin merasa keberatan untuk menerapkan ajaran mengenai imamat am orang orang percaya dengan segala konsekuensi. Itulah sebabnya gereja yang digariskan dalam Ordonnances Ecclesiatiques dalam banyak segi dapat disebut gereja pendeta. walaupun Calvin segan untuk memakai istilah “klerus” sebutan dalam gereja abad pertengahan untuk menunjukkan status istimewa pejabat pejabat gereja, namun dalam praktek gereja dibaginya atas pejabat-pejabat dan “rakyat, dengan para pejabat sebagai kelompok istimewa tertutup yang menentukan sendiri siapa layak menjadi anggotanya dan mengadakan sendiri pengawasan terhadap para anggotanya, Calvinisme, 111-112, lihat juga catatan kaki # 22.

[17] Jabatan penatua adalah unsur tambahan kemudian yang diperoleh Calvin dari Starsburg dimana Bucer mengangkat untuk setiap bagian kota seorang pemelihara gereja yang diberi tugas mengawasi kehidupan iman di bagian kota yang dipercayakan kepadanya.

[18] Tugas memimpin tidak dimaksudkan mengatur hal-hal organisatoris, melainkan bersama dengan para penilik (yaitu pendeta) memberi teguran dan melakukan hukum disiplin.

[19] Gereja pertama di luar Jenewa yang mengatur diri menurut tata gereja yang disusun oleh Calvin adalah Gereja Perancis. Tata Gereja ini disebut Tata Gereja Presbyterial Sinodal karena semua keputusan jemaat diambil pada tingkat Presbyterium (para Penatua, Pendeta dan Diaken). Perkara-perkara yang menyangkut kepentingan seluruh gereja diputuskan di tingkat Sinode yang dalam hal ini diikuti oleh wakil-wakil Presbyterium dari setiap jemaat. Cuma harus diingat bahwa Anglican menganut episkopal yang sentralistis, dan kelompok Puritan congregational yang sangat menekankan otonomi jemaat serta hak dan kedaulatan warga jemaat yang tidak lebih kecil dari pejabat gereja sesuai dengan semboyan imamat semua oarng percaya.

[20] Semua jemaat dan jabatan mempunyai status yang sama. - jemaat satu wilayah dikumpulkan dalam 1 sidang, kemudian disebut klasis – jemaat dalam 1 propinsi bergabung dalam satu sinode propinsi- kalau memungkinkan setahun sekali sinodal yg mengatur hal-hal umum seperti Tata Gereja dan pengakuan Gereja – Tata Gereja ini mencoba mencari jalan tengah antar kesatuan yg mengutamakan keseragaman antara semua jemaat dalam semua hal, menurut apa yang ditetapkan oleh pimpinan tertinggi dalam Gereja (Paus ataupun Sinode) dan Gereja yang merupakan federasi jemaat-jemaat otonom, yang masing-masing mengatur diri sendiri secara bebas (seperti dalam congregational) . demi keseragaman dalam hal-hal dasariah seperti Pengakuan Iman dan Tata Gereja . Jemaat-jemaat setempat menyerahkan sebagian kebebasan kepada sidang-sidang yang terdiri atas wakil-wakil jemaat dan mengambil keputusan mengenai hal-hal yang menyangkut semua yang diwakili. Demikianlah terjamin bahwa jemaat-jemaat dapat saling mengakui ajaran dan saling menerima anggotanya.

[21] Lihat Pengakuan Iman Gereja Perancis pasal xxvii.31, 32 yang menyatakan bahwa orang-orang yang dalam pemerintahan Gereja haruslah dipiih (31) dan semua Pendeta, Penilik dan Diaken harus memiliki bukti bahwa mereka telah dipanggil dalam jabatan mereka. Dan mereka ini semua haruslah berunding bersama-sama mengenai cara yang harus ditempuh dalam hal pemerintahan seluruh tubuh. ..tidak boleh menyimpang sedikitpun dari apa yang diperintahkan Kristus. Hal ini tidak mencegah adanya beberapa ketentuan khusus di tiap tempat, sesuai dengan kebutuhan dalam praktek

[22] De jonge, Calvinisme, 102. Patut digaris bawahi bahwa Tata Gereja Jenewa bukan Tata Gereja yang demokratis. Walaupun ada unsur di dalamnya yang bercorak demokratis atau yang berkembang kearah itu- namun jelas bahwa ia tidak melihat mereka yang memegang jabatan sebagai wakil anggota jemaat. Institutio 4 iii 10-16- jabatan bukanlah ciptaan manusia, melainkan pemberian Allah, De jonge, Calvinisme 114.

[23] Saya setuju dengan pendapat Aritonang yang menyatakan bahwa …melihat pentingnya jabatan Penatua, baik di jemaat Jenewa pada masa Calvin maupun di gereja gereja Calvinis dikemudian hari ada anggapan bahwa di lingkungan gereja gereja Calvinis yang paling besar wewenangnya adalah para Penatua. Tetapi sebenarnya tidak demikian, terutama bagi Calvin. Sebab justru Calvin memberikan wewenang terbesar pada Pendeta sesuai dengan tugasnya sebagai pengemban perkara utama di dalam kehidupan gereja. Peraturan yang disusun Calvin justru mengarahkan gereja itu menjadi gereja-Pendeta, dan itu membuat pemerintah kota Jenewa kuatir kalau-kalau gereja menajdi semacam Negara dalam Negara. Kemudian dijelaskannya bagaimana pemerintah Jenewa hendak mengintervensi pemilihan dan pengujian Pendeta, ini tidak disetujui Calvin. Lihat Jan Aritonang. Berbagai Aliran di Dalam dan Disekitar Gereja. Jakarta: BPK, 2009, 70.

Selasa, 04 Agustus 2009

Inkulturasi atau Kontekstualisasi

Inkulturasi atau Kontekstualisasi

Berbicara tentang mandiri dalam teologi kami ajak kita untuk menelaah tentang apakah GBKP dan gereja-gereja di Indonesia berinkulturasi atau kontekstualisasi. Juga sadarkah kita bahwa sebenarnya kedua upaya ini adalah upaya pencarian identitas yang tidak berkesudahan?

1. Inkulturasi.

Inkulturasi adalah tindakan atau gerakan mengkulturasikan kembali (merekonstruksi) kebudayaan asli/pribumi atau lebih sering disebut indigenization yang asal katanya adalah indigenous (asli/pribumi). GerejaKatolik bertitik tolak dari lampu hijau konsili Vatican II cenderung menggunakan istilah indigenization ini, Lihat Franz Magnis Suseno, Beriman Dalam Masyarakat: Butir-Butir Teologia Kontekstual, 193-206, Yogyakarta: Kanisius, 1993; Hub J.W.M. Boelaars, Indonesianisasi; dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 2005, 390-3. lihat juga Anicetus B. Sinaga, Dendang Bakti: Inkulturasi Teologia Dalam Budaya Batak, Medan: Media perintis, 2004. Perdebatan antara gerakan Evangelikal dan Ekumene di David J. Hesselgrave dan Edward Rommen dalam Kontekstualisasi: Makna, Metode dan Model, (terjm), Jakarta: BPK, 1996, 47-55).

Gerakan ini semarak dilakukan oleh Gereja-Gerejadi Asia, Afrika dan Amerika Latin (Selatan), sejalan dengan proses pencarian identitas diri nasional maupun lokal setelah beratus tahun dibawah penjajahan “Barat”. Penjajahan yang di dalamnya Mission (Zending) mengambil kesempatan untuk memperluas misinya, umumnya “membunuh” identitas lokal, tidak hanya dengan mengklaimnya sebagai sesuatu yang “kafir” tapi juga memakai faktor ini sebagi dasar politik Devide et Imperanya, memecah belah dan menguasai.

“Pembunuhan” ini dilakukan dengan sengaja, karena tidak hanya penjajah tapi juga zending sangat sadar akan arti dari kekuatan identitas lokal. Di dalam identitas lokal, adat menyatu dengan religi, sehingga pola tindak dan pikir adalah hasil dari pola belief (kepercayaan). Keterpaduan pola tindak, pikir dan belief, bisa terjadi jika ketiganya diangkat dari dan untuk situasi lokal. Kalaupun ada unsur dari luar kelokalan yang bisa menjadi bagian dari lokal, hal ini bisa terjadi karena faktor waktu, metode atau power (kuasa), seperti yang nampak atas pengaruh Hinduisme dalam kepercayaan lokal Batak (Toba,Karo dll).

Sehingga ketika penjajah dan zending (tidak dapat disangkal bahwa ada mutual relationship antara penjajah dan missionaris/lembaga zending) “membunuh” identitas lokal, itu berarti bahwa penjajah membunuh kekuatan politik dan kepercayaan lokal yang jelas akan berdampak ke aspek ekonomi lokal. Mungkin para zending dulu melakukan ini secara tidak sadar. Dalam arti metode ini harus dilakukan untuk memisahkan aspek religi dari adat. Kami pikir juga bahwa para zending tidak menyadari bahwa dampak dari apa yang mereka lakukan dulu, menciptakan orang orang Karo Kristen kini yang split personality. Lebih jauh lagi yang mungkin sama sekali tidak mereka sadari adalah bahwa dampak dari metode yang mereka gunakan dulu, berdampak pada pemisahan yang tajam antara konfesi (pengakuan iman) dan etika kini. Pola tindak dan pola pikir tidak sesuai dengan pola ucap. Penampakan ini juga terdapat di jemaat Gereja-gereja di benua Afrika, lihat Eunice Karanja Kamaara, From Anthropocentricsm to Community Mission in Caring For God’s dan Jean-Blaise Kenmogne and Ka Mana, An African Experience on Ecology And Sustainable Development.

2. Kontekstualisasi.

Untuk konteks Indonesia, pencarian identitas lokal tidak bisa tidak, sejalan dengan pencarian identitas nasional. Karena jika tidak sejalan, maka identitas yang tercipta, apakah itu identitas lokal saja, atau nasional saja, tidak menghadirkan identitas yang utuh. Lokal adalah bagian dari Nasional. Tidak ada satu identitas lokalpun yang diangkat untuk menjadi identitas nasional. Sehingga yang harus dilakukan adalah bagaimana menempatkan identitas lokal dalam konteks identitas nasional. Hal seperti ini juga dilakukan oleh Negara yang penduduknya plural dalam arti terdiri dari banyak suku seperti Indonesia, India, Afrika, atau yang memiliki suku asli, seperti di Amerika Latin dan New Zealand. Sedang di Korea ataupun negara yang tidak bersuku lagi, konteks teologia mereka jauh lebih bersifat fight for sosial justice.


3. Sejarah perkembangan inkulturasi dan kontekstualisasi.

Seperti diketahui bahwa gerakan ekumene sebelum perang dunia ke II hingga tahun 70-an masih sejalan sekali dengan gerekan kemerdekaan, fight for justice for every nation. Sehinga agenda mereka banyak terlibat dalam political practice (praxis), yang bagiannya di Dewan Gereja se-Dunia (DGD) adalah bagian Church and Society (Gereja dan Masyarakat). Cukup lama bahkan hingga kini, kami pikir, terjadi jarak yang cukup jauh antara bagian Faith and Order (Iman dan Peraturan) yang begitu Biblika dan Dogmatik oriented dengan Church and Society yang begitu konteks oriented (sosiologi, politik dan ekonomi).

Tetapi kemudian setelah makin banyaknya gereja-Gerejadi Asia dan Afrika yang telah merdeka, terlibat aktif dalam program DGD, maka peran konteks yang berorientasi praktis mewarnai program dan juga konsep-konsep teologia di DGD. Nama-nama seperti: M.M Thomas, D.T Niles, Koyama, CS Song, Mbiti dll mengedepankan bahwa konteks adalah bagian dari identitas. Pernyataan ini pertama diproklamasikan di pertemuan pertama East Asia Christian Conference yang kemudian menjadi CCA, Christian Conference of Asia/ Dewan Gereja Asia pada tahun 1949. . :

…”Pesan kekristenan akan semakin menantang jika dihadirkan dalam hubungan yang dekat dengan kebutuhan khusus manusia pada tempat dan waktu nya (konteksnya), dan juga ia mengadopsi dan menggunakan beberapa nilai-nilai kebudayaan di tempat tsb,” Lihat Ans J. Van der Bent, Vital Ecumenical Concerns, Geneva: WCC, 1986, 1.

Semangat ini juga dimiliki oleh gereja-Gereja Afrika yang mendeklarasikan keinginan ini dengan lebih hati-hati pada tahun 1963 di Kampala di Africa Conference of Churches:

…”Gereja-gereja harus mempelajari kepercayaan-kepercayaan tradisional Afrika. Kebudayaan Afrika tradisional tidak semuanya jelek, tapi juga tidak semuanya bagus. Sebagaimana di semua kebudayaan,ada selalu faktor yang positif yang menyatukan kesemua kebudayaannya, dan ada juga faktor yang jelek yang melecehkan kemanusiaan.Gereja-gereja seharusnya terlibat dalam dialog yang serius antara pandangan dunia yang tradisional dan kesinambungan pernyatan Kristus Yesus melalui Alkitab.”.
lihat, Van der Bent, 2.

Jika melihat kedua pernyataan di atas, nampak sekali bahwa Gereja-Gereja di Asia jauh lebih demanding di dalam reclaiming their own identities. Lepas dari apakah ini dampak dari karismatik Sukarno, Nehru dan Naser dll, dan Konperensi Asia Afrika (KAA), yang jelas kami tahu bahwa semangat dan jiwa Sukarno sangat mempengaruhi teolog Asia saat itu.

Seperti laporan Van der Bent dalam bukunya bahwa semangat ini ditampung dan dikembangkan di Church and Society division dalam pertemuan New Delhi, 1961 dimana kombinasi dari religion, nationalism dan secular ideologies didiskusikan. Tapi hal ini tidak digodok di bagian Faith and Order secara serius, walau sejak tahun 1971 di Louvain, seksi V menangani thema The Unity of the Church and the Differences in Culture. Akibatnya, perjalanan kedua bagian ini timpang sekali. Dan hal ini nampak di dalam kegamangan Gereja-Gereja di Asia dan Afrika di dalam merevisi konsep teologisnya, seperti konsep Gereja, Trinitas yang seharusnya nampak dalam konfesi mereka. Juga kegamangan Gereja-gereja di “Barat” (khususnya Eropah dan Orthodox) untuk masuk dalam praxis tapi sibuk dengan Konfesi, Doktrin dan Tradisi.

Karena tidak ada konsep teologis yang absolut, maka perevisian memang wajib dilakukan. Mengenai The Truth kami mengutip pendapat Terry

, ....“When we try to describe the truth about God, we can only go part-way in our descriptions. We can say that God is like a king, God is good and not evil,and God wants to help us. But we must admit that, in the end, there are some things about God we can not describe, because God (or the transcendent), by definition, lies outside the normal sphere of things that can be seen, heard, tasted, and felt. God eludes final description,” lihat Terry, How To Study Religion, 98.

Dan mengenai perevisian itu baik juga jika disimak apa yang Julius katakan, …

… for so long that even when some of these structures are dismantled the momentum of traditional Christian theologizing tends to continue. An example of this is Christianity’s still poor records in the area of interreligious and cross-cultural dialogue. Too many Christian theologians still tend to discourse in naïve supremacist and exclusivist terms, not only soteriology (e.g., by sticking to some unnuanced account of Jesus as saviour of the world),but also epistemologically (e.g., by maintaining some forms of exclusive cognitive access to God’s plan of salvation , or divine revelation) as well as methaphysically (through a form of theism that is grossly dualistic).” Lihat Julius Lipner dalam artikelnya, “Religion and Religious Thinking in the New Millennium,“ di Plurarity, Power and Mission. London: The Council for World Mission, 2000, 87-8.

4. Inkulturasi adalah proses yang tiada henti

Mengakui keberadaan budaya lokal yang mempunyai kekuatan untuk merevisi ajaran dan arah gereja, serta keterbukaan di dalam mengakui keberadaan iman di luar iman kekristenan, sangat mengkawatirkan Gereja-gereja dari kalangan Ortodox dan Evangelical, karena mengancam peran sola scriptura (Apalagi pernyataan keabsolutan Alkitab sebagai firman Allah) dan doktrin kristologi dan soteriologi..

Richard Niebuhr dengan bukunya Christ and Culture dari kelima pendekatan yang dikemukakannya tetap menempatkan Kristus di atas kebudayaan. Wajar saja, karena di zamannya adalah masa keemasan Karl Barth dan Hendrik Kraemer. Sedang gerakan Evangelical walau mendukung proses kontekstualisasi tapi untuk tujuannya sendiri yaitu digunakan sebagai jalan masuk (metodologi) Kristenisasi. Tapi kini, dimasa post-kolonial, Christ and culture, keduanya duduk sama rendah berdiri sama tinggi, keduanya saling mempengaruhi dan melengkapi, equally, bergantung pada kepentingan konteks, band. Gerit Singgih, “Membangun Sebuah Teologia Budaya Pasca Niebuhr di Dalam Era Reformasi, 59-75, Iman dan Politik Dalam Era Reformasi. Jakarta: BPK, 2000.Lihat juga Masalah-masalah di sekitar definisi kontekstualisasi, dalam Berteologia Dalam Konteks, Jakarta: BPK dan Kanisius, 2000, 17-33. Inilah metode hibriditas, yaitu percampuran berbagai elemen kultural yang berbeda sehingga tercipta makna dan identitas identitas baru. Hibrida mengguncang stabilitas dan mengaburkan batas-batas kultural yang mapan lewat proses pengabungan.

Pendekatan hibriditas ini memudahkan kita untuk hidup di dalam konteks Pancasila yang memberi tempat pada segala sesuatu dan semboyan kita Bhineka Tunggal Ika. Dan tujuan kita melakukan inkulturasi bukan untuk kristenisasi tapi untuk pencapaian untuk menjadi diri kita sendiri. Bagaimana melakukannya? Tidak gampang. Huub yang meneliti upaya inkulturasi Gereja Katolik di Indonesia menuliskan:

…“khususnya refleksi teologis tentang kaitan antara injil dan inkulturasi, hal ini memang disebut “salib” para misiolog dan missionaries.“ (392). …“hubungan antara injil dan kebudayaan serta pengaruh timbal balik antara keduanya itu adalah perkara yang sukar dan masalah yang abadi.“ (430). Namun demikian, bukan berarti GBKP dan gereja lainnya di Indonesia harus berhenti dalam upayanya. Yang harus dilakukan adalah meningkatkan kemampuan SDMnya untuk meneruskan pekerjaan yang sudah dirintis untuk diteruskan.

Jumat, 12 Juni 2009

KEMANDIRIAN DAYA DAN TEOLOGIA SEBAGAI DASAR GBKP KE DEPAN

KEMANDIRIAN DAYA DAN TEOLOGIA SEBAGAI DASAR GBKP KE DEPAN

1. Latar belakang pemilihan Topik.

Topik ini sengaja dikemukakan sebagai masukan dan latar belakang bagi tulisan bersambung kami, untuk kita gumuli bersama.

2. Konperensi Pendeta (Kon-Pen), Biro Teologia dan Litbang (Teo-Lit) dan Kabid Personalia dan SDM haruslah bekerja sama dalam mencapai kemandirian daya dan teologia.

Umumnya di Gereja- Gereja keputusan yang bersifat teologis digumulkan di forum yang disebut Konperensi Pendeta (Kon-Pen), dengan asumsi bahwa pembagian tugas dalam kepengurusan pelayanan jemaat diantara para Penatua, Diaken dan Pendeta, porsi teologia masih diembani ke Pendeta. Dan ini nampak jelas dalam pendefinisian tentang Pendeta dalam Tata Gereja GBKP Bab III Pasal 11 poin 1, yang walapun jika dikaji seterusnya nampak ketidaksinambungan antara definisi dan fungsi Pendeta dalam Tata Gereja ini. Sehingga wajarlah jika diasumsikan bahwa jawaban dan informasi teologis mampu didapatkan jemaat dari Pendetanya. Walaupun asumsi ini telah digeser oleh penampakan yang ada kini yaitu berjamurnya para Penatua dan Diaken yang mengambil pendidikan /kursus teologia baik secara formil maupun tidak formil. Yang jelas, penampakan ini belum merubah struktur kita yaitu bahwa percakapan dan debat teologis di Gereja forum resminya adalah Kon-Pen, walaupun lapangan menunjukkan bahwa para Pertua dan Diaken sudah mampu berdiskusi tentang Teologia.

Dari pengalaman kehadiran kami yang minim baik di Kon-Pen pusat maupun wilayah, nampak bahwa para Pendeta GBKP masih belum terlatih untuk berdialog/berdiskusi teologis. Hal ini disebabkan mungkin karena kemampuan untuk berpikir secara teologis yang kurang atau jarangnya melatih berbicara ataupun menulis secara teologis, atau juga dikarenakan kurikulum Strata Satu (S1) di semua Sekolah Teologia belum mengarahkan siswa untuk berpikir secara interdisiplinari. Kemampuan berbicara teologia harus menguasai hubungan Sejarah Gereja dengan perkembangan pemikiran Filsafat yang berdampak pada perkembangan sistematik teologia A ataupun B dan Biblika. Juga sangat disayangkan bahwa kurikulum Master Teologia (M.Th) di Indonesia juga menjuruskan siswa pada disiplin daripada inter-disiplinari, sehingga siswa kurang mampu melihat dan menganalisa konteks secara komprehensif.

Penjelasan di atas berdampak pada kemampuan Kon-Pen yang jatuh pada tindakan menghasilkan keputusan-keputusan praktis yang bersifat fragmentaris dan pragmatis, tanpa landasan teologis yang alkitabiah (ini adalah syarat mutlak tradisi Reformasi yang paling ditekankan oleh Calvinis, sola scriptura). Kekurangdalaman pengkajian teologis juga nampak di Tata Gereja kita yang ada kini, buku-buku bimbingan PJJ, pekan-Pekan, Kotbah dan Penelahan Alkitab (PA) kategorial kita.

Sumber masalah adalah SDM kita.
Sehingga hal-hal di bawah haruslah ditangani secara serius oleh GBKP yaitu:

1. Penseleksian para Sarjana Teologia yang melamar menjadi Personalia GBKP.

Sistem yang berlaku sejak tahun 2005 adalah jika Sarjana Teologia yang ber IP sedikitnya 2.75 yang mendapat rekomendasi terikat dari GBKP, langsung divikariskan oleh GBKP. Diluar dari kategori ini, para Sarjana Teologia yang memiliki IP sedikitnya 2.75 dari sekolah yang diakui oleh GBKP yang tertulis di keputusan sinode, direkrut berdasarkan kebutuhan dan dana yang tersedia melalui test yang diadakan oleh Moderamen. Hingga tahun ini (2009) GBKP memberikan rekomendasi terikat bagi orang-orang yang lulus testing menjadi calon mahasiswa Teologia yang dilakukan oleh GBKP.

Di sidang sinode tahun 2010 akan diusulkan untuk memberhentikan cara ini dengan memberikan kebebasan bagi siapa saja untuk memasuki Sekolah Teologia yang direkomendasi oleh GBKP. Setelah mendapat gelar Sarjana Teologia dengan IP minimal 2.75 mereka boleh melamar untuk menjadi calon vikaris selama setahun. Setelah lulus masa calon vikarisnya, kemudian yang bersangkutan menjalani masa vikariat selama 2 tahun. Setelah mendapat rekomendasi - berdasarkan laporan ybs, runggun dan klasisnya - dari Moderamen, lalu berhak untuk diPendetakan.

Dengan system ini GBKP bisa mengontrol dan memetakan jumlah Pendeta dan memilih yang terbaik dari banyak pilihan yang ada. Sedangkan system yang berlaku kini membuat GBKP tidak dapat lagi menyaring para Sarjana Teologia yang memilki IP 2.75 dengan rekomendasi terikat oleh GBKP. Mereka sudah merupakan tanggung jawab GBKP untuk langsung divikariskan. Hingga kini memang tanggung jawab ini belum berubah menjadi beban karena masih banyak runggun yang belum memiliki Pendeta, Cuma untuk ke depan akan menjadi masalah besar.

2. Pemilihan Sekolah Teologia yang direkomendasi GBKP untuk menggodok calon
Pendetanya haruslah selalu ditinjau ulang oleh GBKP.

Sangatlah penting diadakan dialog/pertemuan antara GBKP dengan sekolah teologia yang didukungnya, sedikitnya setahun sekali

3. Hendaklah mulai dari Runggun, Klasis hingga Moderamen melakukan pembinaan bagi
para Pendetanya, sehingga anggaran untuk ini memang harus dengan sengaja
diadakan.

Hal –hal yang tersebut di atas hendaklah dilakukan dengan sengaja untuk menibakan GBKP mandiri dalam daya dan teologia.


3. Kemandirian Teologia dan Daya.

Cita ini sudah lama didengungkan oleh PGI, sejak di-era 70-an. Inkulturasi yang concernnya bersifat lokal haruslah ditempatkan dalam kerangka kontekstual yang utuh, yaitu Nasional dan global.

Beberapa gereja menyatakan sudah melakukan teologia kontekstual yang maksudnya adalah inkulturasi, dalam arti membahasakan kerugma pengajaran dengan menggunakan istilah dan simbol lokal. Menurut saya, hal ini belum selesai. Mengapa? Karena teologia lokal harus bisa didudukkan dalam konteks nasional yang berlandaskan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika.

Teologia lokal dan kontekstual kita sebenarnya adalah kunyahan Konpen dan Biro Teologia yang dibantu oleh Litbang. Dan itu harus nampak dan seragam dalam bahan pengajaran Sekolah Minggu, Ka-Kr, Permata, Mamre, Moria, PJJ, Pekan-Pekan, Katekisasi, Liturgi dan Nyanyian dan Tata Gereja. Teologia lokal haruslah tidak bertolak belakang dari teologia Nasional, malah harus saling berkaitan. Teologia Nasional kita telah nampak dalam konfesi GBKP.

4. Penentuan Identitas diri adalah langkah awal penciptaan teologia kontekstual.

Untuk tiba dikemandirian teologia, GBKP haruslah sepakat lebih dahulu akan identitas dirinya. Cukup lama kita didengungkan bahwa yang mengikat kita untuk setia berada didalam negara kesatuan Indonesia adalah memori penjajahan Belanda, dan kepada GBKP adalah ke-karo-annya. Pertanyaan kami adalah sampai kapan tali pengikat ini kuat mengikat kita?
5. Nasionalisme yang hampir tergeserkan oleh Agamaisme

Penampakan yang muncul akhir-akhir ini di tanah air adalah perasaan se-agama lebih kuat sebagai pengikat rasa persaudaraan, dari pada perasaan sebangsa. Ini nampak dari Peristiwa pertikaian Poso, Ambon dan pengumpulan dana untuk Palestina, munculnya Perda yang berdasarkan Syariat Islam, UU Pornografi dan aksi serta Per-Ber no 9 dan 8 Menteri Agama dan Dalam negeri.

Nasionalisme telah ditindih oleh Agamaisme. Lepas dari semakin berkurangnya jumlah kursi yang didapat Partai Politik yang berlandaskan agama di DPR Pusat - namun masih kuat di DPR TK I dan II- tapi tidak bisa disangkal bahwa PKS dari mulai munculnya hingga kini masih mempunyai peran yang signifikan. Belum lagi jika kita melihat PPP dan PKB (apakah kita mau memasukkan PAN disini, silahkan). Demokrat, Gerindra dan Hanura kini, seperti Golkar di pemerintah masa Orde Baru yang mengklaim Nasionalisme, berperan juga untuk mengecilkan peran partai politik yang berlandaskan agama (Islam maupun Kristen). Golkar dulu berhasil melakukan ini tidak bisa tidak, kredit harus diberikan kepada kemapanan Suharto yang puluhan tahun berkuasa didampingi kekuatan militer. Penggabungan (koalisi) partai-partai yang berlandaskan keagamaan, khususnya yang disebut di atas ke partai yang mampu mencalonkan Presiden (yang memenuhi ataupun berkoalisi untuk mencapai electoral Threshold, sedikitnya 20 %) janganlah dianggap angin lalu saja.

Jika pemerintah tidak kuat, dan “sense of belonging“ bangsa Indonesia akan Negara kesatuan Indonesia tidak kuat, maka kemungkinan besar faktor pengikat bangsa Indonesia yang ada selama ini akan memudar. Hal ini sudah diantisipasi oleh para pendiri bangsa dulu bahkan sebelum tahun 1945. Kita tidak sadar atau mungkin pura pura tidak tahu bahwa jika “perekat“ itu hilang maka konsekwensinya bentuk serta isi negara Indonesia juga akan berubah. Sehingga sudah seharusnyalah jemaat GBKP berpartisipasi secara kritis di dalam pemilihan Umum ini juga dalam menyikapi program-program dan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintahan dari tingkat Desa hingga Pusat. Inilah peran warga dan Gereja sebagai bagian dari Civil Society (masyarakat Sipil).

Tali pengikat GBKP bagaimana dan siapa yang bertanggung jawab atas keadaan jemaat atau GBKP?

6. Faktor Kekaroan atau Faktor Pelayanan yang seutuhnya kah? dan apakah
ditumpukan hanya pada Pendeta atau pada semua Serayan?

Kalau kita mau jujur, sudah banyak warga GBKP khususnya yang di kota, kebaktian pagi di GBKP, setelah itu berkebaktian di gereja lain yang bukan bagian dari main-line churches (Gereja-gereja arus utama: Lutheran, Reformed, Anglikan dll). Yang muda atau Permata sudah banyak yang tidak berkebaktian di GBKP. Alasan, kurang tahu bahasa karo dan kebaktian monoton tidak “greget“. Yang lebih tua, lebih sopan sedikit, ada rasa malu atau “guilty“ (merasa bersalah).

Sebenarnya dalam masa transisi generasi dan budaya yang sangat dipengaruhi oleh M.TV, GBKP bisa dengan cepat menyikapi kesenjangan yang ada antara Permata dan Runggun, dengan menambahkan kebaktian dalam bahasa Indonesia dan mengkemas isinya hingga mengena untuk mereka. Berdasarkan penampakan dalam wawancara testing calon mahasiswa teologia yang diadakan bulan Juni 2009, bukan hanya siswa dari kabupaten Binjai Langkat saja yang bahasa karonya berpasir-pasir atau bahkan kaku sekali, tapi juga siswa dari Kabanjahe.
Bersamaan dengan ini hendaklah Penatua ataupun Pdt yang menangani kategorial khususnya Permata, menguasai “bahasa“ Permata hingga mereka bisa berdialog dalam satu “bahasa“, sehingga terjalin komunikasi.

Bagi para kalangan yang lebih tua yang berkebaktian pagi atau sore di GBKP karena masih merasa “at home“ dengan bahasa Karo, sudah “gerah“ dengan isi kebaktian Minggu, PJJ, PA serta pelayanan para Serayan. Mereka inilah yang umumnya “shopping“ di Gereja lain untuk memuaskan “batin.“ Yang lebih ekstrim mereka menjadi warga di dua gereja. Yang sangat ekstrim bahkan meninggalkan GBKP, dan kembali jika sudah menuju masa memerlukan jasa Diakonia GBKP. Jelas hal ini harus disikapi secara serius bukan dengan menggunakan disiplin Tata Gereja. Tapi dengan meningkatkan mutu Ibadah Minggu, PJJ, PA, Pekan-Pekan serta pelayanan, baik Perkunjungan Rumah Tangga, Pastoral Counseling, Diakonia Karitatif.

Kolekte mereka juga umumnya lebih besar diberikan kegereja kedua. Apakah mungkin karena mereka berpikir sudah banyak memberikan “amplop-amlop keharusan“ yang wajib dikenakan bagi anggota GBKP? Entahlah. Jelas tidak bisa disangkal hubungan timbal balik (dialektik) antara mutu persembahan dengan mutu iman jemaat, namun jangan diabaikan juga hubungan persembahan dengan rasa kepemilikan. Jadi jangan dianggap bahwa warga kita yang berpikir dulu untuk memberi ke GBKP adalah jemaat yang mutu imannya patut dipertanyakan, karena siapa tahu yang bersangkutan memberi banyak persembahan ke gereja lain.

Berdasarkan data Moderamen, persembahan persepuluhan sudah mulai berdampak di hampir setiap Klasis. Hal ini memberikan pengharapan yang cukup cerah untuk GBKP kedepan. Penelitian Garis Besar Pelayanan (GBP) GBKP yang diadakan tahun ini (2009) akan melihat presentasi semua jenis persembahan secara sinodal untuk memampukan kita melihat situasi ini lebih jelas lagi dan hubungannya dengan mutu pelayanan dan para pelayan kita.

Berdasarkan pemaparan di atas bisa kami katakan bahwa faktor kekaroan sudah tidak terlalu memainkan peran sebagai faktor untuk menciptakan sense of belonging (rasa kepemilikan) kepada GBKP khususnya bagi masyarakat metropolitan, kota bahkan semi kota, dan lebih khusus lagi bagi anak mudanya. Apakah jalan memberikan les bahasa Karo akan menjadi jalan keluar yang jitu, bisa saja, jika cara ini lebih “tokcer“ dari globalisasi yang dipromosikan oleh M.TV, station TV dan Radio, mall, bahkan oleh sistem Pasar Bebas (Free Trade).

Bagi jemaat GBKP di wilayah Desa dan Desa Tertinggal, masuknya mereka ke GBKP bukan karena kekaroannya, tapi lebih faktor “gambling“, untung-rugi. Ketika kami praktek di Mardinding Dairi nampak sekali bahwa alasan mayoritas anggota gereja menjadi Kristen karena adanya kuasa “plus“ yang “instan“ dari doa orang Kristen, apakah itu untuk orang sakit, panen, dll. Apakah faktor ini masih ada hingga kini? sepertinya iya. Sehingga jika ada gereja lain yang mempunyai faktor “plus“ yang lebih, serta dapat memberikan sesuatu yang lebih berguna bagi mereka, maka tidak heran jika mereka akan pindah kegereja tsb. Tidak heran di hampir semua semi kota di tanah Karo banyak sekali bermunculan gereja yang bukan GBKP yang berbahasa Indonesia, tapi yang di desa dan desa tertinggal khususnya Gereja Pentakosta bahasa Karo masih digunakan.

Berdasarkan pemaparan di atas seharusnyalah GBKP meningkatkan mutu pelayanan tidak hanya untuk Pendeta tapi juga Penatua dan Diaken. Mutu Pelayanan yang juga tercermin di dalam keseriusan menata ibadah Minggu, PJJ, PA, haruslah menjadi pembicaraan serius di dalam Sidang Ngawan dan Runggun. Hanya dengan cara inilah yang bisa mempertahankan jumlah anggota yang ada atau jika berkeinginan untuk meningkatkan kwantitas dan kwalitas jemaat kita. Sehingga memang penting sekali di dalam kursus Pertua-Diaken untuk periode 2009-14 unsur panggilan ditekankan agar aspek pelayanan dominan menguasai aspek ke-status-an yang berorientasi pada kuasa dan jabatan.

Dalam upaya merayakan ulang tahun Calvin yang ke 500 tahun di bulan July 2009 ini, yang dilakukan oleh hampir semua Gereja Reformed di dunia, GBKP juga akan memadukan perayaan ini dengan Seminar Teologia untuk para Pendeta dan perwakilan serayan yang baru terpilih, dua dari tiap Runggun, yang dimulai di akhir bulan July sampai Oktober 2009. Biarlah disini kita melatih dan berlatih berbicara, berpikir dan bertindak teologis agar keberadaan GBKP semakin berdampak. Biarlah semua Serayan berpadu menyanyikan: Melayani, Mengasihi, Mengampuni lebih sungguh, karena Tuhan lebih dulu Melayani, Mengasihi dan Mengampuni kita. Selamat Melayani.

Kamis, 14 Mei 2009

Yes We Need Change, However What Kind of Change: GBKP dan Ekklesiology (III)

Setelah memaparkan upaya pembaharuan yang diupayakan oleh Gereja-Gereja di dunia serta institusi ekumene nasional, regional dan dunia dalam upaya untuk mampu tetap bermakna sebagai garam dan terang dalam tulisan sebelum ini, maka biarlah kita menyimak lebih dahulu pandangan GBKP dan ekklesiologynya yang nampak di Konfesi GBKP.

GBKP dan ekklesiologynya adalah penegasan tentang GBKP dan konsepnya tentang Gereja atau keberadaannya. Ekklesiology adalah ilmu (studies/knowledge) tentang Gereja. Atau dengan kata lain, konsep Gereja yang bagaimana yang seharusnya dianut GBKP. Untuk mendapatkan jawabannya, pertama yang harus dilakukan adalah pemilihan dasar teologis Alkitabiah yang tepat.

Pemilihan dasar teologis Alkitabiah yang tepat maksudnya adalah bahwa karena konsep tentang Gereja dalam Alkitab (PB) beragam, maka kita harus memilih satu atau beberapa pengertian untuk digabung menjadi satu, sebagai dasar pengertian GBKP akan dirinya. Jelas ketika memilih konsep yang tepat itu kita harus mendasarkannya pada Konteks dimana GBKP berada. Konteks dalam arti situasi kondisi warganya dari sudut social (termasuk psikologis), ekonomi dan politik. (Band. Paul Tillich, Systematic Theology I, 3, 4: disini ia menuliskan bahwa theologia bergerak antara dua kutub yaitu, “the eternal truth of its foundation, and the temporal situation in which the eternal truth must be received.”).

Keberagaman pengertian Gereja dalam Perjanjian Baru didasarkan karena perbedaan konteks. Perbedaan konteks itu disebabkan oleh dan menyebabkan perbedaan motifasi dan tujuan penulisan. Mengapa motifasi dan tujuan ditempatkan sebagai faktor yang penting dalam pemilihan dasar teologis? karena keduanya membantu satu institusi atau organisasi untuk mencapai tujuan, yaitu menjawab sedikitnya, kebutuhan dasar anggotanya. Organisasi apapun atau persekutuan apapun atau perkumpulan apapun, jika diperhitungkan sudah tidak menjawab kebutuhan anggotanya, akan ditinggalkan oleh mereka. Hal ini tidak hanya berlaku kepada organisasi politik ataupun sosial, seperti serikat tolong menolong, merga silima atau Persatuan Ginting Mergana dll, tapi juga Gereja.

Eka Darmaputra menuliskan,: “Gereja yang bertheologia adalah Gereja yang dengan bersungguh-sunguh secara terus menerus dan sadar menggumuli makna kehadirannya (Lihat “Pergumulan dan Pembaharuan Theologia di Indonesia” dalam Tabah Melangkah, 115).

Hal inilah yang menyebabkan GBKP sejak tahun 2003 melakukan seminar teologia untuk selain memperkenalkan teologia dan strukturnya seperti yang ada kini - yang juga masih belum diketahui oleh banyak tidak hanya warga tapi juga pertua dan diakennya - tapi juga sekaligus untuk mencari bentuk yang “pas/cocok/tepat” untuk GBKP agar keberadaannya berdampak, sedikitnya bagi warganya.

Di seminar teologia sudah dikatakan bahwa dalam mencari ekklesiologi GBKP maka kita harus mendasarkannya pada 1. Alkitab, 2. Tradisi (calvinisme) dan 3. konteks (lokal-nasional-internasional). Pemilihan bagian-bagian dari poin 1 (Alkitab) dan 2 (Tradisi) haruslah berdialektik dengan konteks. Dalam ketegangan triple konteks: lokal, nasional dan internasional, kita harus berani memilih karena pilihan kita berperan sekali dalam pengklaiman identitas. Sehingga bisa kami katakan bahwa pilihan yang kita lakukan haruslah tidak berdasarkan perasaan melankolis semata yang mampu membutakan realitas masa depan generasi penerus angota dan kepemimpinan di GBKP.

Menurut kami GBKP hingga kini belum menjawab kebutuhan konteks lokal dan nasional sepenuhnya, hal inilah maka seminar teologia mengupayakan terus pencarian teologia kontekstual. Yang agak mengkawatirkan adalah mencari keindonesiaan GBKP dalam konteks wawasan kebangsaan. Jemaat berada diketertarikan antara identitas lokal dan nasional, dan acap lupa bahwa ini berdampak pada keutuhan bangsa. Rasa kepemilikan belakang ini sepertinya lebih besar ke aspek lokal dari pada nasional. Bukankah dengungan yang acap terdengar adalah, “namanya saja GBKP, ya Gereja karo”. Kami ingat komentar Prof. Sukaria Sinulingga. Beliau pernah berkata bahwa tidak ada Gereja suku, yang ada adalah pendekatan kesukuan. Jadi menurut kami beliau hendak mengatakan bahwa kesukuan itu adalah metode pendekatan bukan substansi.

Dr Binsar, Kadep Maturia HKBP mengatakan bahwa HKBP namanya saja Gereja Batak, namun sejak tahun 2002 ia telah dinyatakan sebagai Gereja yang inklusif. Jadi pengertian HKBP sebagai Gereja Batak untuk orang Batak sudah usang. Buat GBKP kami pikir yang lebih tepat adalah GBKP adalah Gereja Kristus yang memakai pendekatan kekaroan untuk menjangkau orang karo, dan tetap Gereja itu bukan dan tidak pernah menjadi milik orang karo, sampai kapanpun Gereja itu pemiliknya tetap Kristus. Pemiliknya tidak pernah berubah tapi metode pendekatannya bisa berubah bergantung kepada konteksnya, dalam arti bergantung dari era dan manusia/ jemaat/angotanya (lihat pandangan Paul Tillich dan Eka Darmaputra di atas)

Karena anggota GBKP kini yang walau tinggal dalam era yang sama yaitu globalisasi, namun dalam konteksnya sangat beragam yaitu ada yang masih dalam 1. taraf lokal saja, 2. percampuran antara lokal dan nasional, 3. nasional saja, 4. lokal, nasional dan internasional, 5. nasional dan internasional yang disebut metropolitan, maka yang patut digumulkan adalah metode pendekatan yang bagaimana yang tepat untuk dilakukan agar memampukan anggotanya bersaksi sebagai saksi Kristus hingga menampakkan bahwa Gereja adalah milik Kristus.

Dalam hal Tradisi, acap muncul pertanyaan apakah keCalvinisan GBKP harus dipertahankan? Terserah pada kita! Walau Moderamen dan Konperensi Pendeta yang menggumulinya tapi Sidang Sinode yang memutuskannya. Namun kami berpikir haruslah keputusan-keputusan teologis yang diputuskan di Sidang Sinode dan yang didiskusikan di Konperensi Pendeta dianalisa secara cermat dengan analisa sosial, politik, budaya dan ekonomi. Perlu diingat bahwa ajaran Calvin selalu berkembang dan tidak pernah berhenti pada satu zaman sehingga tidak perlu menjadikan sebagai sesuatu yang absolute. Makanya kami setuju dengan pandangan World Alliance of Reformed Churches (WARC) yaitu bahwa tidaklah diperlukan keseragaman konfesi (pengakuan iman)untuk menjadi anggotanya.

Dari kepelbagaian pendapat tentang apa itu Gereja, seperti

1. People of God (umat Allah), Lihat Yer 31:33; Yeh 37:27 (bergaung di 2 Kor 6:16; Ibr 8:10) Gal 6:16; Rm 11:11-36; Ef 2:14; 1 Ptr 2:9-10; Ibr 9:15; Ibr 4:9-11;

2. Body of Christ (Tubuh Kristus) Lihat Yer 31:33; Yeh 37:27 ( bergaung di 2 Kor 6:16; Ibr 8:10); Gal 6:16; Rm 11:11-36; Ef 2:14; 1 Ptr 2:9-10; Ibr 9:15; Ibr 4:9-11;

3. Temple of the Holy Spirit (rumah Roh Kudus) Lihat Kis 2:1-4; Rm. 8:22-23; Wahyu. 21:1; Ef 2:21-22; 1 Ptr 2:5; Kis 1:8; Ef 4:1-3;

4. Koinonia/community (Persekutan) Lihat Kej 1-2; Kel 19:4-6; Hos 2:18-23; Kej 3-4; Rm 1:18-3:20; wahyu 21; 1 kor 10:16; Gal 2:9; Rm 15:26; 2 kor 8:3-4; Kis 2:42-45; 1 Yoh 1:3 dan

5. simbol-simbol yang digunakan untuknya seperti, Kawanan Domba, the Flock (Yun 10:16), Pokok Anggur, the Vine (Yes 5; Yun 15), Pengantin Perempuan Kristus, the bride of Christ (Wah 21:2; Ep 5:25-32), Rumah Allah, God’s house (Ibr 3:1-6), Perjanjian Baru, a New Covenant (Ibr 8:8-13) dan Kota yang Kudus, Jerusalem yang baru, the Holy City, the New Jerusalem (Wah 21:2),

maka GBKP menganalisa, memilih berdasarkan konteksnya bahwa pandangannya tentang Gereja adalah seperti yang tertulis dalam konfesi GBKP yang disahkan di sidang sinode 2005 yaitu:

A. Gereja adalah persekutuan manusia baru yang harus terus menerus diperbarui oleh
Roh Kudus, agar mampu dan bertahan menjadi garam dan terang di konteks dimana ia
berada. Sehingga Gereja haruslah menyaksikan pola hidup Yesus, agar Kerajaan Allah
terwujud di dunia ini. Inilah arti Gereja sebagai tubuh Kristus dan Kristus sebagai kepalanya (Mat. 5:13-16; Ef. 4:12-16)

B. Gereja tidak mengadopsi nilai-nilai dunia, tapi memproklamasikan nilai-nilai Allah yang nampak dari kehidupan Yesus yaitu cinta kasih, keberpihakan pada yang miskin, tidak berdaya, dan yang tersingkirkan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan (Diakonia). Inilah panggilan Gereja, menyelamatkan dunia; mengubah dan mentransformasinya.

C. Gereja harus mampu melakukan dialog dengan pemerintahan dimana ia berada.

D. Semua anggota persekutuan yang adalah manusia baru berperan dan mendapat bagian
dalam kesaksian (Marturia), persekutuan (Koinonia) dan pelayanan (Diakonia) Gereja,
sebagai wujud dari jemaat yang missioner dibawah koordinasi dan arahan dari para pelayan khusus: Pendeta, Penatua dan Diaken.

Butir A mengartikan bahwa:

1. Manusia baru berarti orang yang telah dipanggil keluar (ek-kalio) jadi tidak boleh menjadi sama dengan dunia.

2. Terus menerus diperbaharui berarti walaupun anggotanya adalah manusia baru yang
seharusnya hidup dalam Roh, tapi pengampunan dan pertobatan dan hidup baru terus
berlangsung dalam persekutuan ini (lihat Institutio 192: ”jadi pengampunan dosa bagi kita merupakan langkah masuk yang pertama ke dalam Gereja dan kerajaan Allah. Karena kalau itu tidak ada, kita tidak mempunyai perjanjian atau persekutuan dengan Allah. Tetapi dengan pengampunan dosa itu Allah tidak hanya menerima kita di dalam GerejaNya dan memasukkan kita ke dalamnya, tetapi melalui pengampunan itu juga, kita dipelihara Nya dan dilindungiNya di dalamnya.”)

3. Diperbarui oleh Roh Kudus berarti manusia dengan dirinya semata tidak mampu bertahan tinggal di dalam ketaatan pada Tuhan

4. Agar mampu dan bertahan menjadi garam dan terang, menjadi saksi adalah suatu proses yang pasti menuju kekesempurnaan (atas bantuan Roh Kudus).

5. Di konteks dimana ia berada, tidak memisahkan antara dunia Gereja, dunia rumah tangga,pergaulan dan kerja.

6. Gereja harus menyaksikan pola hidup Yesus: berpihak pada orang-orang yang tersingkirkan (Singgih menuliskan ini sebagai ekklesiologi Asia-Pasific yang harus memperhatikan rakyat,perempuan, pemuda dan anak-anak, serta orang miskin, lihat Berteologia Dalam Konteks, Jakarta dan Yogja: BPK dan Kanisius, 2000, 198-233.)- hal ini berkaitan dengan butir B di atas, tentang Gereja—nampak dalam kehidupan Yesus---

7. Agar kerajaan Allah terwujud di dalam dunia ini- melalui sikap Gereja yang berpihak pada yang tersingkirkan kita menjalankan Koinonia, Marturia dan Diakonia kita.

8. Gereja adalah tubuh Kristus dan Kristus adalah kepalanya, supaya Gereja mengingat bahwa arah dan kesinambungannya bukan bergantung dari siapa, system/lembaga, atau metode pendekatannya, tapi Kristus sendiri; Gereja tubuh Kristus berkonsekwensi bagaimana kita menjaganya agar tidak tercemar dengan nilai keduniawian dan mempertahankan keKudusan (lihat butir B).

Butir C mengartikan bahwa:

Gereja tidak di atas ataupun dibawah pemerintah, sehingga hubungan dengan pemerintah dilakukan dalam bentuk dialog. Sebagai tubuh dan milik Kristus Gereja harus menjadi moral support dan konsultan, penasehat, mengarahkan, jika pemerintah tidak mengindahkan hak-hak warga Negara dan ciptaan lainnya. Walaupun Gereja bukan dari dunia tapi Gereja harus mengetahui system keduniawian untuk mampu melakukan dialog dengan pemerintah

Butir D mengartikan bahwa:

Semua warga yang adalah manusia baru harus berperan dalam melaksanakan Marturia, Diakonia dan Koinonia. Peran kita bergantung dari kemampuan dan talenta kita. tidak ada talenta dan kemampuan yang satu lebih penting, atau lebih tinggi dari yang lain, semuanya dihargai sama, saling melengkapi. Kesemua talenta ini yang disalurkan melalui jalur Diakonia, Marturia dan Koinonia diarahkan oleh para presbiter yaitu Pendeta, Penatua dan Diaken (bersambung).

Rabu, 15 April 2009

Yes, We Need Change, However What Kind of Change

Yes, We Need Change, However What Kind of Change (Bagian II)


Ecclesia Semper Reformanda

Ecclesia semper reformanda, adalah prinsip dasar keberadaan gereja reformasi yang diawali oleh Luther. Dan semboyan ini harus acap diwujudkan agar tetap gereja menjadi gereja yang selalu bermakna bagi warga dan dunia, sehingga ecclesiology harus selalu up to date.

The Westphalian Church, Church With The Future.

Tujuh tahun yang lalu, tahun 2002, Sinode Gereja Westphalia (Westphalian Synod) di Jerman melakukan pertemuan Internasional dengan mengundang semua gereja yang mempunyai hubungan kerja sama dengannya untuk melakukan penelitian bersama tentang “Church With the Future” (Gereja dengan Masa Depannya). Tujuannya adalah untuk mengaktualkan kehadiran gereja Westphalia bagi semua anggotanya. Better late than never, walau pengunjung gereja di Jerman khususnya, dan hampir di seluruh Eropa umumnya, saat itu sudah sangat minim. Mayoritas pengunjung gereja adalah yang sudah lanjut usia (lansia). Yang jelas, upaya yang dilakukan oleh Synode Gereja Westphalia ini adalah untuk dalam rangka mengaktualisasikan diri, atau bisa juga dikatakan bahkan upaya merevitalisasi diri yang bertujuan bukan hanya untuk sekedar layak jual, tapi juga berdampak dan mampu berfungsi sebagai “kompas.”

Efisiensi dan Revitalisasi Gereja dan Institusi Ekumene

Inisiatif yang dilakukan oleh Synode Westphalia juga dilakukan oleh banyak gereja di seluruh dunia, bahkan juga oleh institusi Ekumene, seperti Dewan Gereja Asia (CCA), Dewan Gereja seDunia (WCC) , Reformed seDunia (WARC), Lutheran seDunia (LWF) dlsbnya. Di institusi Ekumene, sama seperti di Westphalian Synod, perubahan difokuskan pada program dan arah institusi, bukan teologi. Mengapa? Karena Westphalian synod seperti umumnya gereja di Eropah adalah sudah merupakan hasil dari proses peleburan beberapa teologi dalam upaya pencarian identitas mereka, dan bentuk itu sudah hampir final, apalagi setelah hampir semua gereja di Eropah, Lutheran Refromed dan Uniting Churches mengadopsi Leunberg Agreemnt pada tahun 1973. Sedangkan institusi ekumene jelas harus mengakomodasi pandangan teologis anggotanya. Peleburan gereja yang mutahir yang condong mengekumene nampak dalam peleburan gereja Belanda menjadi Uniting Churches of the Netherlands. Yang lebih kecil aspek perbedaan teologianya adalah penyatuan World Alliance of Reformed Churches (WARC) dimana GBKP adalah anggotanya, dengan Reformed Ecumenical Council (REC).

Waktu dan Tempat menjadi “obsolete” di era globalisasi

Sepertinya untuk bisa berdampak, semua institusi harus mengkaji dirinya apakah masih relevan atau tidak. Reconstruct berlaku kesemua kalangan tidak eksklusif di kalangan keagamaan saja. Era globalisasi yang dikenal sebagai era informatika membuat aspek waktu dan tempat tidak berlaku. Semua jarak menjadi dekat, tiada pagi atau malam. Pecahnya situ di Banten langsung diketahui di Amerika dan seluruh dunia melalui CNN, BBC, juga jaringan TV nasional setiap Negara di dunia. Kami melihat berita ini hampir di semua station TV yang ada di St Ulrich Augsburg, Jerman. Gaya hidup kosmopolitan tidak mengenal perbedaan waktu lagi, apakah pagi atau malam. Karena pagi di Indonesia, malam di Amerika, subuh di Eropa. Kita hidup dalam waktu global (dunia).

Era Complicated, semua interrelated, sehingga memerlukan inter-disiplinari.

Pergeseran ini memberi kuasa kepada technologi komunikasi dan informatika. Semuanya ada dan melalui internet. Semuanya bisa dikomunikasikan dalam perhitungan detik melalui sms dan email. Kantor pos, telepon rumah, komputer meja sudah ketinggalan zaman. Telepon genggam yang kecil, yang harganya terjangkau oleh umumnya masyarakat, mampu berfungsi untuk mengirim, menerima, melihat dan mendengar berita. Dampaknya? Era kini disebut post sekular, post konfesional, post kolonial dan post patriakhal.

Lalu era apa ini? Era complicated yang semuanya interraled, sehingga harus dianalisa, diprediksi secara inter-disiplinari. Di era informatika, aspek lokal dan nasional menjadi diantara ada dan tiada, tertindih oleh aspek global yang diback-up oleh multi korporasi. Semua untuk dijual, semua untuk kepentingan global, global market. Uang menjadi mammon, hingga aspek ekonomi dibayangi oleh kekuasaan politik. Keduanya terikat menjadi satu mempengaruhi kebijaksanaan politik luar negeri yang berimbas pada kebijaksanaan departemen pertahanan dan perdagangan. Sehingga tidak heran jika dasawarsa kini mengclaim bahwa Amerika adalah empire. Julukan yang ingin dipertipis oleh Omaba kini yang nampak dalam pernyataan pernyataannya dalam pertemuan G20 kemaren di London dan NATO di Prancis.

Dalam situasi seperti ini agama tidak bisa lagi sekedar sebagai “candu (penghibur/pelarian sesaat),” atau sebagai pernyataan-pernyataan dogmatik yang menakutkan dengan memperhitungkan psikologis jemaat yang masih dalam taraf anak-anak; tempat untuk mendapat pengakuan (kelas, gender dan kewarganegaraan; dll); atau bahkan spekulasi atau polemik teologia, karena zaman telah membuktikan bahwa di zaman post-post modern ini orang menganut free spirit dan free of expression. Di dalam menghadapi situasi ini, dimana dimana teori dan praxis sudah menyatu, kami menganjurkan kita memadukan pola pikir eksistensial dan pragmatis, atau bisa juga dikatakan menggunakan analisa filsafat dalam tatanan ilmu social, yang mampu dengan manis dilakukan oleh para theolog Amerika, daripada Eropah yang dominan berkacamata dan berbahasa filsafat, sedang teolog Afrika dan Asia katanya cenderung berbicara dalam bahasa ilmu social.

Pemisahan yang tajam antara analisa dan bahasa filsafat dan social.

Cukup lama kedua bahasa ini terpisah dengan tajam di Dewan Gereja seDunia dimana ilmu sosial menggantikan filsafat (lihat juga paper kami “Inkulturasi dan Kontekstualisasi” dalam Beras Piher yang menjleskan pemisahan yang tegas komisi Faith and Order dalam DGD dengan komisi Church and Society). Sedangkan Gereja Katolik walaupun setelah Vatikan II berorientasi pada konteks tapi tidak pernah meninggalkan tradisi argumentasi filsafat khususnya dalam hal natural law. Di poin inilah kami hendak mengajak kita untuk membahasakan teologia kontekstual kita dengan pemikiran filsafat. Hal ini juga membantu kita melakukan deconstruct untuk mendapat akar masalah. Pemikiran-pemikiran teologis kita yang harusnya nampak dalam konfesi dan katekisasi haruslah bisa dipakai sebagai landasan dan menjabarkan program.

The Augsburg Meeting Maret 25-April 1, 2009

Pertemuan yang kami hadiri sebagai the only Reformed among the Lutherans akan menjelaskan apa yang kami tuliskan di atas dan memaparkan bahwa upaya yang sama juga dilakukan oleh gereja main line churches di Afrika.

Lutheran yang diekspor dari Jerman ke semua kontinen beradaptasi dengan tradisi setempat, menghibrid dan menghasilkan bentuk Lutheran yang kontekstual yang bermakna bagi kepentingan lokal, namun tetap mengupayakan ruang singgung sesempit apapun dengan gereja Lutheran lainnya di konteks yang berbeda. Ruang singgung itulah yang dibicarakan dalam pertemuan Teolog Lutheran sedunia yang diadakan di Augsburg Maret 25- April 1 2009. Lokasi pertemuan sendiri sebenarnya secara tidak langsung hendak menegaskan penyegaran titik singgung diantara gereja Lutheran yaitu Konfesi Augsburg. Perlu diketahui bahwa Lutheran lebih mengikat gereja anggotanya untuk mengadopsi konfesi yang seragam dari pada Calvinis, HKBP dalam hal ini mendapat pengecualian. Di dalam pertemuan ini barulah kami sadari bahwa pergumulan, upaya dan bahasa gereja gereja di Asia dan Afrika, lepas daripada mereka tergabung dalam Lutheran Sedunia atapun Reformed Sedunia hampir sama, yaitu penekanan atas konteks dan bahasa ilmu social yang digunakan. Cukup lama kami bergumul sebagai yang mewakili Asia di Reformed sedunia dalam berdialog dengan Lutheran Sedunia untuk mencari titik temu bahasa. Hingga pertemuan yang hampir terakhir tahun lalu di Argentina, kesamaan bahasa masih jauh panggang dari api. Hal itu sirna dengan mendengarkan pemaparan-pemaparan gereja-gereja dari Afrika dan Asia lainnya. Kedominanan pola pikir dan konteks continental dari Lutheran Sedunia dalam dialog ini rupanya memberikan kontribusi besar dalam menghasilkan kesamaan bahasa. Ingatan yang tidak pernah sirna adalah di tahun 2001 ketika hendak memutuskan Justification by Faith (factor yang diangkat oleh Luther yang memunculkan Reformasi) yang telah disepakati lebih dahulu oleh Lutheran Sedunia dan Vatikan, keduanya mengundang Reformed Sedunia dan Methodist sedunia, disinilah perwakilan Lutheran memojokkan kami sebagai yang mewakili Asia tapi pernah belajar di Amerika untuk mencoba mengerti bahasa mereka dan kemudian membujuk Reformed Sedunia untuk ikut dalam agreement ini. Kami menolak. Hingga kini Reformed sedunia belum ikut dalam kesepakatan itu, tapi Methodist sedunia pada saat itu langsung bergabung dengan mereka. Bahasa mampu mengekspresikan pola pikir, tapi belum tentu bisa mengekspresikan pola sikap. Bahasa memiliki dimensi dan struktur dan mampu hanya berdampak baginya saja tanpa perlu diurai dan direalisasikan dalam konteks dan sikap (bersambung di Bagian III)

Yes, We Need Change, However What Kind of Change!

Yes, We Need Change, However What Kind of Change (Bagian I)


1. Melakukan perubahan memerlukan analisa sebagai pendahuluan

Dalam tulisan yang berjudul GBKP Quo Vadis kami menawarkan bahwa kita membutuhkan perubahan yang akan berdampak maksimal jika dilakoni secara bersama, dalam arti seluruh anggota GBKP. Tawaran ini diamini oleh Diaken Em. Sinuhaji di Maranatha edisi lalu dengan memaparkan dua perubahan yang perlu dipertimbangkan yaitu metode ibadah dan sistem mutasi.
Namun perlu disimak bahwa perubahan tidak bisa dilakukan hanya untuk perubahan an sich, tanpa didahului oleh analisa secara interdisiplinari atas konteks kini dan nanti yang beragam dan dengan tetap memiliki identitas yang jelas. Perubahan yang dilakukan sekedar untuk tetap digemari akan jatuh ke dalam pola pikir pragmatis dan pola sikap yang instan, yang sekarang kita rasakan sebagai sebab dari financial krisis. Jika disimak, tulisan kami sejak awal telah mengingatkan bahwa kita harus mampu menghibridkan pola pikir kontinental yang eksistensial dan Amerika yang pragmatis, dalam arti mampu memadukan berpola pikir jangka panjang yang mendasar dan jangka pendek yang acap berubah yang bersifat kasuistik.

2. Pemisahan yang tajam antara rasio dan rasa serta keberadaan manusia.

Di Amerika, sama seperti di Asia, Afrika dan Amerika Selatan, gereja-gereja yang mengakomodasi dan mengekspresikan rasa, adalah yang diminati, tapi tidak di Eropah. Di Eropah yang berkembang adalah Migrant churches, gereja-gereja imigran yang umumnya dari Asia dan Afrika.
Mainline churches di Eropah sudah berfungsi hanya sebagai public utility yang hanya dikunjungi jika perlu: seperti kelahiran, perkawinan/perceraian dan kematian. Tempat-tempat meditasi dan perenungan masih dinikmati.
Hingga kini saya masih berkeyakinan, lepas dari munculnya penampakan kelompok atheis di Eropah dan Amerika- bahwa manusia dengan keterbatasannya akan selalu mencari sesuatu yang “beyond” dari keberadaannya sebagai manusia. Apa dan bagaimana bentuk yang “beyond” itu, bergantung pada roh zamannya (konteks).
Dalam beberapa hal cara pandang Eropah sejajar dengan filsafat Jawa. Perasaan harus bisa dikendalikan. Sedih, gembira, lucu, marah tidak perlu terlalu diekspresikan, sewajarnya saja, atau adalah bersikap dewasa jika mampu tidak mengekspresikannya, menandakan mampu menahan diri. Perasaan yang dieskpresikan menunjukkan manusianya belum dewasa. Disinilah secara tajam pemisahan rasio dan rasa yang berdampak pada pengclaiman bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah karena perasa ditambah lagi dengan bentuk jasmani, dan lelaki adalah makhluk yang kuat, perpaduan penekanan jasmani dan rasio.

3. Pergeseran sistem dan fungsi gereja berhubungan dengan pergeseran
pandangan ilmu sosial yang saling berkaitan.

Amerika berbeda. Ilmu psikologis sangat berkembang disini. Amerika memproklamasikan lelaki boleh menangis, juga di depan umum. Tindakan yang menyehatkan mental. Tidak hanya rasio yang patut dikembangkan tapi juga rasa. Keduanya harus berkembang sejajar untuk mencapai kedewaan yang utuh. Amerikalah yang menjual teori emotional inteligence. Statement ini jelas mulai menggeser pola pikir kebudayan patriarkhi dimana lelaki tidak lagi super human, kesejajaran antara lelaki dan perempuan berkembang (sosial politik/gender studies, hukum/ketegangan dengan hukum adat; HAM; anthropologi dan sosiologi). Kebudayaan patriarkhi menganut ideologi “aku berpikir maka aku ada” dan ini adalah kebudayaan yang diakomodasi dunia.

4. Teologia dan cara/sistem gereja adalah penampakan identitas.

Jadi ketika gereja muncul dengan tata ibadah yang tertib, teratur (in order) dan meredam rasa ini adalah sejajar dengan pola budaya Eropah. Paket inilah yang diekspor ke semua benua, Amerika, Asia, Afrika dan Australia sejalan dengan ekspansi kolonialis dulu . Ketika muncul ibadah yang tidak teratur: dimana-mana ada suara bukan dari pemimpin liturgi saja; tepuk tangan serta menangis, bagi budaya Eropah, ini bukan ibadah, tapi pasar malam. Chaos, kacau, ketidak teraturan. Eropah dan beberapa di Amerika menganut pola pikir everything has to be in order (semuanya harus teratur sesuai dengan tempatnya).

Amerika yang mengclaim dirinya sebagai melting pot, negara imigran, jelas harus mengakomodasi semua latarbelakang warganya - sikap inilah yang memajukan negara ini – tradisi Eropah tidak bisa dipertahankan lebih lama. Tiba dikesimpulan seperti ini memerlukan waktu ratusan tahun dengan puncaknya diperjuangan kaum kulit hitam, dibarengi dengan womens liberation movements ditahun enampuluhan. Orang Amerika berbeda dengan Eropah, mereka lebih jujur dan terbuka pada rasa. Sehingga mereka lebih hangat, berbicara terbuka, everything has to be put on the table, tidak ada pembicaraan di belakang punggung atau meja. Kita boleh berdebat sampai pukul meja, namun setelah itu kita tetap makan siang atau ngopi bersama. Hal-hal seperti ini dianggap orang Eropah adalah “tabu.” Dari sini bisa kita lihat bagaimana “gereja gerakan haleluyah” berkembang bahkan beberapa lahir disini. Ingat bahwa musik jazz yang lahir di Amerika adalah ekspresi rasa orang kulit hitam Amerika yang kini bahkan perlahan tapi nyata di akomodasi di Eropah bahkan di gereja Eropah (musik ini dimainkan ketika kami menghadiri acara pembukan sidang sinode Westphalian di Jerman 2007). Namun metode gerakan haleluyah belum bisa terakomodasi di Mainline churches di Eropah. Sehingga jika gaya ini dengan cepat terakomodasi di Amerika Latin dan Afrika, wajar saja, karena kedua kontinen ini dikenal sebagai penduduk yang hangat dan pengekspresi rasa. Asia kita kaji dulu dan Australia sepertinya perkembangan gereja mirip dengan Eropah.

Asia beragam. Namun umumnya pola sikap kita adalah meditatif, keheningan. Bukankah agama Budha dan Hindu lahir disini dan keduanya menekankan meditasi dan kedua agama ini adalah strata selapis diatas agama sipemena oleh semua suku di Indonesia? Lihat pola tari kita. India yang klasik, bukan Bollywood yang sekarang, gerakannya meditatif, hening, hanya sesekali gerakan cepat, lihat juga Thailand, Korea dan Jepang. Begitu juga tari Bali, Jawa, Karo, agak lambat geraknya. Amat sangat jarang tari klasik suku di Indonesia memiliki gerakan cepat yang banyak. Karena tari, lagu dan puisi mulanya adalah ekspresi dari perenungan dan bersifat religius, pemujaan.
Yang mau saya katakan disini adalah metode ibadah haruslah disesuaikan dengan budayanya, sehingga tidak terjadi krisis identitas. Identits kita berada diantara ketertarikan pengaruh konteks lokal, nasional dan internasional. Pengaruh global yang dimotori mega industri sangat kuat, sehingga nasional dan lokal haruslah disengajakan untuk dikuatkan. Apakah kita mau memperkuat identitas lokal, atau menghibridnya dengan global, terserah kita. Keputusan kita semua yang menentukan warna GBKP ini. Cuma, jika kita mengadopsi apa saja yang ditawarkan, lalu apa identitas kita? Apa bedanya beribadah di GBKP dengan di gereja lain? Keseragaman identitas inilah sebenarnya yang diinginkan oleh globalisasi (lih. The World is Flat. Thomas L. Friedman. New York:Farrar, 2006). Kemarakan gereja gerakan haleluyah adalah buah globalisasi sehingga gereja bahkan sudah menjadi bagian dari mega industri.
Berdasarkan inilah maka kami katakan bahwa sebelum melakukan perubahan perlu didahului oleh analisa yang mendalam terhadap keberadaan gereja kini dan nanti. Bukankah sudah terlalu banyak hal-hal dari luar yang telah kita adopsi tanpa didahului analisa? lihat Permata dan beberapa cara dan program gereja tetangga lokal yang diadopsi GBKP.
Pemilihan atas Calvinis dan sistem presbyterial sinodal juga berdasarkan kecocokan dengan sistem budaya lokal, jadi ada upaya penyatuan keutuhan identitas agama yang notabene adalah produk import dengan penganutnya, walau masih sebatas sistem, karena teologia hingga kini masih banyak dalam bentuk pemisahan seperti minyak dengan air dengan tradisi kita. Selain konteks, pengertian akan apa itu agama dan mengapa manusia beragama juga harus dimengerti untuk memampukan kita merancang metode untuk menjawab kebutuhan umat selain pertimbangan akan peran alkitab dan warisan teologis (calvinis)

Sebelum kita memaparkan lebih lanjut tentang perubahan yang bagaimana yang bisa dipikirkan dan dilakukan, kita simak dulu komentar kami akan hal mutasi.

5. Mutasi.

Begitu juga sistem mutasi, metode yang digunakan harus berdasarkan realita yang ada dan menuju kedepan. Jika kita pakai sistem militer pengkaderan dari desa lalu ke kota, maka yang terjadi di desa adalah dominan vikaris ditambah dengan para presbiter yang sebenarnya juga masih “enggan” untuk melayani. Semarak pemilihan Pertua dan Diaken nampak di kota tidak di desa. Dengan pergeseran dari sentralisasi menuju otonomi daerah, dan pulangnya banyak sarjana ke daerah, serta pergeseran konteks orang karo, metode mutasi harus dipikir ulang. Pemerataan tenaga sudah waktunya. Apalagi sistem kita presbyterial sinodal maka yang diupayakan adalah pengecilan gap antara klasis kota yang berdaya dan klasis desa yang disubsidi. Pengecilan gap haruslah dengan pola pemberdayaan, bukan pola charity. Jelas pemberdayaan itu di SDM dan dana (peningkatan ekonomi jemaat). Penampakan kini adalah sangat sedikit pendeta kita yang bersedia ditempatkan di desa, khususnya desa yang berada di klasis tersubsidi. Bisa saja kita memberlakukan pendislipinan seperti yang termuat di Tata Gereja, namun menurut kami, sudahlah waktunya untuk dijalankan pemberian subsidi bagi pendeta yang cukup senior yang mampu memimpin dan mengayomi untuk ditempatkan di klasis tersubsidi agar klasis ini berkembang. Beberapa peraturan personalia telah dikeluarkan, dan segera akan ada peraturan kenaikan jabatan, vikaris dll. Semua ini dilakukan dalam upaya pembenahan untuk memampukan GBKP berdampak di zamannya (bersambung)