Jumat, 12 Juni 2009

KEMANDIRIAN DAYA DAN TEOLOGIA SEBAGAI DASAR GBKP KE DEPAN

KEMANDIRIAN DAYA DAN TEOLOGIA SEBAGAI DASAR GBKP KE DEPAN

1. Latar belakang pemilihan Topik.

Topik ini sengaja dikemukakan sebagai masukan dan latar belakang bagi tulisan bersambung kami, untuk kita gumuli bersama.

2. Konperensi Pendeta (Kon-Pen), Biro Teologia dan Litbang (Teo-Lit) dan Kabid Personalia dan SDM haruslah bekerja sama dalam mencapai kemandirian daya dan teologia.

Umumnya di Gereja- Gereja keputusan yang bersifat teologis digumulkan di forum yang disebut Konperensi Pendeta (Kon-Pen), dengan asumsi bahwa pembagian tugas dalam kepengurusan pelayanan jemaat diantara para Penatua, Diaken dan Pendeta, porsi teologia masih diembani ke Pendeta. Dan ini nampak jelas dalam pendefinisian tentang Pendeta dalam Tata Gereja GBKP Bab III Pasal 11 poin 1, yang walapun jika dikaji seterusnya nampak ketidaksinambungan antara definisi dan fungsi Pendeta dalam Tata Gereja ini. Sehingga wajarlah jika diasumsikan bahwa jawaban dan informasi teologis mampu didapatkan jemaat dari Pendetanya. Walaupun asumsi ini telah digeser oleh penampakan yang ada kini yaitu berjamurnya para Penatua dan Diaken yang mengambil pendidikan /kursus teologia baik secara formil maupun tidak formil. Yang jelas, penampakan ini belum merubah struktur kita yaitu bahwa percakapan dan debat teologis di Gereja forum resminya adalah Kon-Pen, walaupun lapangan menunjukkan bahwa para Pertua dan Diaken sudah mampu berdiskusi tentang Teologia.

Dari pengalaman kehadiran kami yang minim baik di Kon-Pen pusat maupun wilayah, nampak bahwa para Pendeta GBKP masih belum terlatih untuk berdialog/berdiskusi teologis. Hal ini disebabkan mungkin karena kemampuan untuk berpikir secara teologis yang kurang atau jarangnya melatih berbicara ataupun menulis secara teologis, atau juga dikarenakan kurikulum Strata Satu (S1) di semua Sekolah Teologia belum mengarahkan siswa untuk berpikir secara interdisiplinari. Kemampuan berbicara teologia harus menguasai hubungan Sejarah Gereja dengan perkembangan pemikiran Filsafat yang berdampak pada perkembangan sistematik teologia A ataupun B dan Biblika. Juga sangat disayangkan bahwa kurikulum Master Teologia (M.Th) di Indonesia juga menjuruskan siswa pada disiplin daripada inter-disiplinari, sehingga siswa kurang mampu melihat dan menganalisa konteks secara komprehensif.

Penjelasan di atas berdampak pada kemampuan Kon-Pen yang jatuh pada tindakan menghasilkan keputusan-keputusan praktis yang bersifat fragmentaris dan pragmatis, tanpa landasan teologis yang alkitabiah (ini adalah syarat mutlak tradisi Reformasi yang paling ditekankan oleh Calvinis, sola scriptura). Kekurangdalaman pengkajian teologis juga nampak di Tata Gereja kita yang ada kini, buku-buku bimbingan PJJ, pekan-Pekan, Kotbah dan Penelahan Alkitab (PA) kategorial kita.

Sumber masalah adalah SDM kita.
Sehingga hal-hal di bawah haruslah ditangani secara serius oleh GBKP yaitu:

1. Penseleksian para Sarjana Teologia yang melamar menjadi Personalia GBKP.

Sistem yang berlaku sejak tahun 2005 adalah jika Sarjana Teologia yang ber IP sedikitnya 2.75 yang mendapat rekomendasi terikat dari GBKP, langsung divikariskan oleh GBKP. Diluar dari kategori ini, para Sarjana Teologia yang memiliki IP sedikitnya 2.75 dari sekolah yang diakui oleh GBKP yang tertulis di keputusan sinode, direkrut berdasarkan kebutuhan dan dana yang tersedia melalui test yang diadakan oleh Moderamen. Hingga tahun ini (2009) GBKP memberikan rekomendasi terikat bagi orang-orang yang lulus testing menjadi calon mahasiswa Teologia yang dilakukan oleh GBKP.

Di sidang sinode tahun 2010 akan diusulkan untuk memberhentikan cara ini dengan memberikan kebebasan bagi siapa saja untuk memasuki Sekolah Teologia yang direkomendasi oleh GBKP. Setelah mendapat gelar Sarjana Teologia dengan IP minimal 2.75 mereka boleh melamar untuk menjadi calon vikaris selama setahun. Setelah lulus masa calon vikarisnya, kemudian yang bersangkutan menjalani masa vikariat selama 2 tahun. Setelah mendapat rekomendasi - berdasarkan laporan ybs, runggun dan klasisnya - dari Moderamen, lalu berhak untuk diPendetakan.

Dengan system ini GBKP bisa mengontrol dan memetakan jumlah Pendeta dan memilih yang terbaik dari banyak pilihan yang ada. Sedangkan system yang berlaku kini membuat GBKP tidak dapat lagi menyaring para Sarjana Teologia yang memilki IP 2.75 dengan rekomendasi terikat oleh GBKP. Mereka sudah merupakan tanggung jawab GBKP untuk langsung divikariskan. Hingga kini memang tanggung jawab ini belum berubah menjadi beban karena masih banyak runggun yang belum memiliki Pendeta, Cuma untuk ke depan akan menjadi masalah besar.

2. Pemilihan Sekolah Teologia yang direkomendasi GBKP untuk menggodok calon
Pendetanya haruslah selalu ditinjau ulang oleh GBKP.

Sangatlah penting diadakan dialog/pertemuan antara GBKP dengan sekolah teologia yang didukungnya, sedikitnya setahun sekali

3. Hendaklah mulai dari Runggun, Klasis hingga Moderamen melakukan pembinaan bagi
para Pendetanya, sehingga anggaran untuk ini memang harus dengan sengaja
diadakan.

Hal –hal yang tersebut di atas hendaklah dilakukan dengan sengaja untuk menibakan GBKP mandiri dalam daya dan teologia.


3. Kemandirian Teologia dan Daya.

Cita ini sudah lama didengungkan oleh PGI, sejak di-era 70-an. Inkulturasi yang concernnya bersifat lokal haruslah ditempatkan dalam kerangka kontekstual yang utuh, yaitu Nasional dan global.

Beberapa gereja menyatakan sudah melakukan teologia kontekstual yang maksudnya adalah inkulturasi, dalam arti membahasakan kerugma pengajaran dengan menggunakan istilah dan simbol lokal. Menurut saya, hal ini belum selesai. Mengapa? Karena teologia lokal harus bisa didudukkan dalam konteks nasional yang berlandaskan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika.

Teologia lokal dan kontekstual kita sebenarnya adalah kunyahan Konpen dan Biro Teologia yang dibantu oleh Litbang. Dan itu harus nampak dan seragam dalam bahan pengajaran Sekolah Minggu, Ka-Kr, Permata, Mamre, Moria, PJJ, Pekan-Pekan, Katekisasi, Liturgi dan Nyanyian dan Tata Gereja. Teologia lokal haruslah tidak bertolak belakang dari teologia Nasional, malah harus saling berkaitan. Teologia Nasional kita telah nampak dalam konfesi GBKP.

4. Penentuan Identitas diri adalah langkah awal penciptaan teologia kontekstual.

Untuk tiba dikemandirian teologia, GBKP haruslah sepakat lebih dahulu akan identitas dirinya. Cukup lama kita didengungkan bahwa yang mengikat kita untuk setia berada didalam negara kesatuan Indonesia adalah memori penjajahan Belanda, dan kepada GBKP adalah ke-karo-annya. Pertanyaan kami adalah sampai kapan tali pengikat ini kuat mengikat kita?
5. Nasionalisme yang hampir tergeserkan oleh Agamaisme

Penampakan yang muncul akhir-akhir ini di tanah air adalah perasaan se-agama lebih kuat sebagai pengikat rasa persaudaraan, dari pada perasaan sebangsa. Ini nampak dari Peristiwa pertikaian Poso, Ambon dan pengumpulan dana untuk Palestina, munculnya Perda yang berdasarkan Syariat Islam, UU Pornografi dan aksi serta Per-Ber no 9 dan 8 Menteri Agama dan Dalam negeri.

Nasionalisme telah ditindih oleh Agamaisme. Lepas dari semakin berkurangnya jumlah kursi yang didapat Partai Politik yang berlandaskan agama di DPR Pusat - namun masih kuat di DPR TK I dan II- tapi tidak bisa disangkal bahwa PKS dari mulai munculnya hingga kini masih mempunyai peran yang signifikan. Belum lagi jika kita melihat PPP dan PKB (apakah kita mau memasukkan PAN disini, silahkan). Demokrat, Gerindra dan Hanura kini, seperti Golkar di pemerintah masa Orde Baru yang mengklaim Nasionalisme, berperan juga untuk mengecilkan peran partai politik yang berlandaskan agama (Islam maupun Kristen). Golkar dulu berhasil melakukan ini tidak bisa tidak, kredit harus diberikan kepada kemapanan Suharto yang puluhan tahun berkuasa didampingi kekuatan militer. Penggabungan (koalisi) partai-partai yang berlandaskan keagamaan, khususnya yang disebut di atas ke partai yang mampu mencalonkan Presiden (yang memenuhi ataupun berkoalisi untuk mencapai electoral Threshold, sedikitnya 20 %) janganlah dianggap angin lalu saja.

Jika pemerintah tidak kuat, dan “sense of belonging“ bangsa Indonesia akan Negara kesatuan Indonesia tidak kuat, maka kemungkinan besar faktor pengikat bangsa Indonesia yang ada selama ini akan memudar. Hal ini sudah diantisipasi oleh para pendiri bangsa dulu bahkan sebelum tahun 1945. Kita tidak sadar atau mungkin pura pura tidak tahu bahwa jika “perekat“ itu hilang maka konsekwensinya bentuk serta isi negara Indonesia juga akan berubah. Sehingga sudah seharusnyalah jemaat GBKP berpartisipasi secara kritis di dalam pemilihan Umum ini juga dalam menyikapi program-program dan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintahan dari tingkat Desa hingga Pusat. Inilah peran warga dan Gereja sebagai bagian dari Civil Society (masyarakat Sipil).

Tali pengikat GBKP bagaimana dan siapa yang bertanggung jawab atas keadaan jemaat atau GBKP?

6. Faktor Kekaroan atau Faktor Pelayanan yang seutuhnya kah? dan apakah
ditumpukan hanya pada Pendeta atau pada semua Serayan?

Kalau kita mau jujur, sudah banyak warga GBKP khususnya yang di kota, kebaktian pagi di GBKP, setelah itu berkebaktian di gereja lain yang bukan bagian dari main-line churches (Gereja-gereja arus utama: Lutheran, Reformed, Anglikan dll). Yang muda atau Permata sudah banyak yang tidak berkebaktian di GBKP. Alasan, kurang tahu bahasa karo dan kebaktian monoton tidak “greget“. Yang lebih tua, lebih sopan sedikit, ada rasa malu atau “guilty“ (merasa bersalah).

Sebenarnya dalam masa transisi generasi dan budaya yang sangat dipengaruhi oleh M.TV, GBKP bisa dengan cepat menyikapi kesenjangan yang ada antara Permata dan Runggun, dengan menambahkan kebaktian dalam bahasa Indonesia dan mengkemas isinya hingga mengena untuk mereka. Berdasarkan penampakan dalam wawancara testing calon mahasiswa teologia yang diadakan bulan Juni 2009, bukan hanya siswa dari kabupaten Binjai Langkat saja yang bahasa karonya berpasir-pasir atau bahkan kaku sekali, tapi juga siswa dari Kabanjahe.
Bersamaan dengan ini hendaklah Penatua ataupun Pdt yang menangani kategorial khususnya Permata, menguasai “bahasa“ Permata hingga mereka bisa berdialog dalam satu “bahasa“, sehingga terjalin komunikasi.

Bagi para kalangan yang lebih tua yang berkebaktian pagi atau sore di GBKP karena masih merasa “at home“ dengan bahasa Karo, sudah “gerah“ dengan isi kebaktian Minggu, PJJ, PA serta pelayanan para Serayan. Mereka inilah yang umumnya “shopping“ di Gereja lain untuk memuaskan “batin.“ Yang lebih ekstrim mereka menjadi warga di dua gereja. Yang sangat ekstrim bahkan meninggalkan GBKP, dan kembali jika sudah menuju masa memerlukan jasa Diakonia GBKP. Jelas hal ini harus disikapi secara serius bukan dengan menggunakan disiplin Tata Gereja. Tapi dengan meningkatkan mutu Ibadah Minggu, PJJ, PA, Pekan-Pekan serta pelayanan, baik Perkunjungan Rumah Tangga, Pastoral Counseling, Diakonia Karitatif.

Kolekte mereka juga umumnya lebih besar diberikan kegereja kedua. Apakah mungkin karena mereka berpikir sudah banyak memberikan “amplop-amlop keharusan“ yang wajib dikenakan bagi anggota GBKP? Entahlah. Jelas tidak bisa disangkal hubungan timbal balik (dialektik) antara mutu persembahan dengan mutu iman jemaat, namun jangan diabaikan juga hubungan persembahan dengan rasa kepemilikan. Jadi jangan dianggap bahwa warga kita yang berpikir dulu untuk memberi ke GBKP adalah jemaat yang mutu imannya patut dipertanyakan, karena siapa tahu yang bersangkutan memberi banyak persembahan ke gereja lain.

Berdasarkan data Moderamen, persembahan persepuluhan sudah mulai berdampak di hampir setiap Klasis. Hal ini memberikan pengharapan yang cukup cerah untuk GBKP kedepan. Penelitian Garis Besar Pelayanan (GBP) GBKP yang diadakan tahun ini (2009) akan melihat presentasi semua jenis persembahan secara sinodal untuk memampukan kita melihat situasi ini lebih jelas lagi dan hubungannya dengan mutu pelayanan dan para pelayan kita.

Berdasarkan pemaparan di atas bisa kami katakan bahwa faktor kekaroan sudah tidak terlalu memainkan peran sebagai faktor untuk menciptakan sense of belonging (rasa kepemilikan) kepada GBKP khususnya bagi masyarakat metropolitan, kota bahkan semi kota, dan lebih khusus lagi bagi anak mudanya. Apakah jalan memberikan les bahasa Karo akan menjadi jalan keluar yang jitu, bisa saja, jika cara ini lebih “tokcer“ dari globalisasi yang dipromosikan oleh M.TV, station TV dan Radio, mall, bahkan oleh sistem Pasar Bebas (Free Trade).

Bagi jemaat GBKP di wilayah Desa dan Desa Tertinggal, masuknya mereka ke GBKP bukan karena kekaroannya, tapi lebih faktor “gambling“, untung-rugi. Ketika kami praktek di Mardinding Dairi nampak sekali bahwa alasan mayoritas anggota gereja menjadi Kristen karena adanya kuasa “plus“ yang “instan“ dari doa orang Kristen, apakah itu untuk orang sakit, panen, dll. Apakah faktor ini masih ada hingga kini? sepertinya iya. Sehingga jika ada gereja lain yang mempunyai faktor “plus“ yang lebih, serta dapat memberikan sesuatu yang lebih berguna bagi mereka, maka tidak heran jika mereka akan pindah kegereja tsb. Tidak heran di hampir semua semi kota di tanah Karo banyak sekali bermunculan gereja yang bukan GBKP yang berbahasa Indonesia, tapi yang di desa dan desa tertinggal khususnya Gereja Pentakosta bahasa Karo masih digunakan.

Berdasarkan pemaparan di atas seharusnyalah GBKP meningkatkan mutu pelayanan tidak hanya untuk Pendeta tapi juga Penatua dan Diaken. Mutu Pelayanan yang juga tercermin di dalam keseriusan menata ibadah Minggu, PJJ, PA, haruslah menjadi pembicaraan serius di dalam Sidang Ngawan dan Runggun. Hanya dengan cara inilah yang bisa mempertahankan jumlah anggota yang ada atau jika berkeinginan untuk meningkatkan kwantitas dan kwalitas jemaat kita. Sehingga memang penting sekali di dalam kursus Pertua-Diaken untuk periode 2009-14 unsur panggilan ditekankan agar aspek pelayanan dominan menguasai aspek ke-status-an yang berorientasi pada kuasa dan jabatan.

Dalam upaya merayakan ulang tahun Calvin yang ke 500 tahun di bulan July 2009 ini, yang dilakukan oleh hampir semua Gereja Reformed di dunia, GBKP juga akan memadukan perayaan ini dengan Seminar Teologia untuk para Pendeta dan perwakilan serayan yang baru terpilih, dua dari tiap Runggun, yang dimulai di akhir bulan July sampai Oktober 2009. Biarlah disini kita melatih dan berlatih berbicara, berpikir dan bertindak teologis agar keberadaan GBKP semakin berdampak. Biarlah semua Serayan berpadu menyanyikan: Melayani, Mengasihi, Mengampuni lebih sungguh, karena Tuhan lebih dulu Melayani, Mengasihi dan Mengampuni kita. Selamat Melayani.

2 komentar:

Yobta Tarigan Sibero mengatakan...

Syaloom...
Masalah nya sudah jelas dan terang benderang. Kalo dapat kami simpulkan dari tulisan di atas dapat menjadi 2 hal yaitu: pertama dari sisi Teologis dan kedua dari sisi Non Teologis.
Hanya, apakah kita mau dan berani melangkah untuk membenahi nya..Kalo tidak dari sekarang.Kapan lagi.?

Qemayu mengatakan...

Saya jadi mengerti. Trims