Minggu, 16 November 2008

Tragedi palungan

TRAGEDI PALUNGAN

Alkisah tertera di New York Times, “Palungan tempat Yesus dilahirkan ditawar dengan harga pembukaan sebesar 2 Milyar di lelang Christie di New York.”

Berita ini menggerakkan senyum Yesus dengan harapan mendapat tawaran maksimal untuk digunakan meneruskan kehidupan anak yatim, janda dan orang-orang yang tersisihkan. Tiada terbersit menyumbangkan uang lelang untuk perayaan ulang tahunNya, atau untuk acara-acara gereja yang notabene adalah milikNya.

Ironis.

Palungan dulu, kumal tak berharga, balok kayu bersegi empat, di kandang domba, berbau kotoran dan penuh bulu. Palungan kini, kotak berlapis emas murni, di hotel, berbau harum, berlebur santap, hirup dan tawa, masuk dalam bursa dunia.

Ironis.

Palungan yang hina dan dina, kini simbol status dan kuasa. Palungan dan Golgota sasaran empuk manipulasi orang-orang berdaya.

Subjek telah menjadi objek.

Yesus kesepian kini.

Makna kehidupan dan ajaranNya jauh panggang dari api. Tafsiran bermuara kekesenangan diri atau kelompok, status, kuasa dan harta. Isi pencobaan yang telah dilaluiNya sebelum memulai masa pelayanan (Luk 4:1-13; Mat 4:1-13; Mar 1:12-13). Kini, Gereja dan petugasnya tidak lagi berdialektikal. Seperti minyak dan air. Gereja milik Kristus, petugas milik dunia (band. Yoh 8:23).

Jangan salahkan politikus. Kepentingan adalah ideologinya. Jika Yesus politikus, Golgota tidak pernah ada. Politikus bermain diantara bidak gereja yang penuh dengan Judas dan Pilatus. Semua kompromi. Either/Or (ini atau itu!), etika Yesus. Etika kini: ini atau itu, jawabannya atau.

Gereja kehilangan warna, antara ada dan tiada. Tidak hitam, tidak putih, abu-abu. Yang dipertahankan bukan teladanNya: melayani, berpihak pada yang tertindas, tapi: kedudukan, fasilitas dan penampilan.

Politikus dan bidak gereja memporandakan batas antara agama dan negara. Ketika Negara menganggarkan agama, kuasa dan control dipegangnya. Tak lelah Abdurahman Wahid menyela siksaan pada Ahmadiyah, politikus Kristen dan bidak gereja mematahkan upaya yang sudah begitu lama. Murka tampil, ketika negara menyentuh gereja dan warga, namun, senyum dan tawa terlepas ketika gereja dan bidaknya mendapat jatah fasilitas negara. Kilau dunia membuat semua buta, tuli dan bodoh (band. R. Niebuhr, The Moral Man and Immortal Society).

“jangan kamu membuat rumah Bapa-Ku menjadi tempat berjualan." (Yoh 2:16b)

Berpuluh tahun yang lalu, PGI (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia) sudah memandatkan agar gereja-gereja di Indonesia untuk mandiri dalam dana (lih. Lima Dokumen Keesaan Gereja). Kini, tergiur oleh peralihan kebijaksanaan pemerintah- melihat tetangga memanfaatkan semua yang ada dengan berbagai cara, “ sehingga: mengapa tidak cerdik seperti ular?” katanya, “tapi apakah tulus seperti merpati”? Atau malah seperti burung pemakan bangkai, saling mematuk berebut mayat?

Siapa dan apa sebenarnya yang diuntungkan ketika Natal dan acara-acara gereja disubsidi pemerintah, orang kaya atau berpangkat? None! Tak ada! Ketika religiositas dimanipulasi, setiap orang semakin kehilangan diri. Manusia dan gereja semakin kehilangan essence-nya. Mengenal Allah dan sesama manusia melalui cinta, menjadi utopia, polesan bibir sebagai propaganda.

Ibadah menjadi permainan topeng monyet.. Konser gegap gempita, kotbah merindingkan bulu roma, gedung penuh cahaya, gincu, minyak rambut dan baju pesta, “Najis!”

TUHAN berkata, "Aku benci dan muak melihat perayaan-perayaan agamamu! Sungguh, apabila kamu mempersembahkan kepada-Ku korban-korban bakaran dan korban-korban sajianmu, Aku tidak suka, dan korban keselamatanmu berupa ternak yang tambun, Aku tidak mau pandang. Kalau kamu membawa kurban bakaran dan kurban gandum, Aku tidak akan menerimanya. Aku tak mau menerima binatang-binatangmu yang gemuk-gemuk itu yang kamu persembahkan kepada-Ku sebagai kurban perdamaian. Jauhkanlah dari pada-Ku keramaian nyanyian-nyanyianmu, lagu gambusmu tidak mau Aku dengar. Hentikan nyanyian-nyanyianmu yang membisingkan itu; Aku tak mau mendengarkan permainan kecapimu. Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir." Lebih baik, berusahalah supaya keadilan mengalir seperti air, dan kejujuran seperti sungai yang tak pernah kering. (Amos 5: 21-24)

Desember sebagai bulan Natal telah menjelang. Gereja, pasar dan keluarga menyikapinya. Rutinitas, kapitalis atau religiositas, pilihan ada pada anda. Sederhana adalah ciri palungan dan tuntutan dunia. Krisis ekonomi dan lingkungan menuntut manusia minimalis. Palungan menawarkan kesederhanaan, harapan dan kasih tanpa harus kehilangan muka. Palungan jauh dari adu kuasa dan mencari suara.

“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh 3:16).

Hanya orang yang percaya yang tidak binasa. Tidak binasa bukan berarti tidak mati, tapi hidup dalam kehidupan, bukan hidup tapi mati. Bukan melek tapi buta. Bukan bertelinga tapi tuli. Orang yang tidak binasa adalah yang menikmati hidup. Bersyukur akan segala sesuatu. Bersyukur dengan dirinya, pekerjaannya, keluarganya, rumahnya.

Percaya nampak dalam tindakan. Percaya pada pencipta dan diri sendiri. Melangkah dengan pasti, Optimis dan berpengharapan. Hari ini harus lebih baik dari kemaren, dan esok semakin lebih baik dari hari ini.

"Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku.” …”dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu." (Yoh 8:31-2).

Palungan menampung tangis, duka, sesal, murka, keputus asaan, kegagalan, kehinaan, dan menawarkan kelegaan dan asa, karena pencipta mengasihi kita. Palungan mengisyaratkan: there is always a way out!

Selamat Menyambut Bulan Natal,

Mindawati Perangin angin

New York 14/11/08

Tidak ada komentar: