Kamis, 23 Oktober 2008

Tiba Waktunya untuk Rukun Kembali

Minda Perangin-angin
Kepala Biro Ekumene dan Pencarian Teologia Kontekstual
Gereja Batak Karo Protestan

SAYA rindu Natal seperti dulu, Natal di era tahun tujuh-puluhan. Dulu, bulan Natal disambut oleh anak-anak muda dengan meriam bambu. Kini, bulan Natal disambut oleh bom, teror, dan penjagaan ketat oleh polisi.

Dulu, puluhan lilin dipajang di depan rumah dan diarak di dalam batok kelapa ke sekeliling kampung oleh anak-anak. Kini, nyala lilin diganti oleh api besar yang dibawa keliling kampung untuk membakar gereja dan rumah tetangga. Dulu, kaum ibu dan anak gadis bersama membakar kue di dapur. Kini, semua tersedia di supermarket, namun tiada waktu untuk mencicipi bersama.

Singkatnya, dulu, penyambutan dan perayaan Natal dilakukan oleh dan untuk semua, tanpa memandang usia, jenis kelamin, status, suku, dan kepercayaan.

Begitu juga di saat Ramadhan. Dulu, anak-anak Islam, Kristen, bangun pagi bersama. Ikut sahur, kadang malah ikut puasa, dilanjutkan lari pagi bersama. Kemudian saat magrib usai, tidak jarang, yang Kristen ikut tarawih ke masjid. Tak ada rasa sungkan dan kaku.

Singkatnya, dulu, Ramadhan dan Idul Fitri juga oleh dan untuk bersama. Teman-teman Muslim berpartisipasi dalam penyelenggaraan ibadah Natal, sama seperti saya yang berpartisipasi dalam perayaan halalbihalal. Indah sekali. Memori yang tak pernah dilupa.

Kini, tiga puluh tahun kemudian, keinginan untuk mengulang memori dalam kisah nyata seperti utopia. Terlalu banyak doktrin, peraturan, kekuasaan, dan fatwa mengintervensi dialog kehidupan antarmanusia. Kini, mewujudkan kepercayaan dan berpartisipasi di dalamnya amat tidak leluasa. Kembalikan hak itu kepada pemeluknya.

Kebersamaan sebagai dampak dari kerukunan adalah wujud polos bocah yang belum teracuni dan terobsesi oleh "yang terbenar (the only truth)" dan "kuasa (power)", apalagi terpolitisasi. Dalam kebersamaan sebagai dampak dari kerukunan, possessive pronoun "kita" yang acap digunakan.

Kalaupun pada waktu-waktu tertentu "kita" harus menjadi "kami" dan "mereka", tetapi keduanya tidak dalam hubungan yang antagonis, melainkan dialektis. "Kami" semakin mengenal "kami" karena ada "mereka". Malah, "kami" tidak bisa menjadi "kami" seutuhnya tanpa kehadiran "mereka". Dengan demikian, betapa indahnya jika dasar pemikiran ini digunakan dalam hubungan antarpribadi; antar-iman dan antarciptaan, karena akan melahirkan rasa senasib dan sepenanggungan (ius soli) di dalam pola pikir dan tindak.

Kini Natal dan perayaan-perayaan kepercayaan lainnya, tidak untuk "kita" lagi, tetapi untuk "kami" atau "mereka". "Kami" tidak sepatutnya berpartisipasi dalam perayaan ibadah "mereka". Karena isi dan tujuan ibadah "kami" tidak sama dengan "mereka".

Sudah waktunya semua institusi kepercayaan untuk mendekonstruksi dan merekonstruksi dirinya. Penampakan kekerasan antarpemeluk agama yang sangat marak belakangan ini, lepas dari apakah sumbernya dari faktor "luar-agama" atau bahkan dari rembesan konflik internasional, memaksa kita untuk tidak menunggu lagi.

Dalam upaya merekonstruksi diri, lima aspek harus dilibatkan untuk didialogkan, yaitu: kitab suci, konteks lokal, konteks nasional, tradisi, dan globalisasi. Maka, dalam mendefinisi ulang apa pun juga seperti: pengakuan iman (kepercayaan), adat, masyarakat, politik, sikap terhadap sesama manusia, haruslah didialogkan dengan lima aspek di atas.

Jika hal ini dilakukan, maka manusia Indonesia tidak tersulut lagi dalam "perang saudara", walaupun diprovokasi dalam bentuk apa pun. (*)

Tulisan ini dimuat dalam Harian Kompas 22 Desember 2004

Tidak ada komentar: