GEREJA DIANTARA IDENTITAS DAN SCHIZOPHRENIA
Apakah tidak ada tempat buat para “guru ” (1) di Gereja suku karo (GBKP) khususnya dan gereja suku (2) lain , umumnya..
“Saya dulu anggota gereja Karo (GBKP )3, tapi sekarang Katolik.” cetus ibu Kemit dalam percakapan kami. “Wah, mengapa?” tanya saya..
“Karena gereja Karo menginginkan saya untuk meninggalkan pekerjaan saya sebagai yang dimengerti menduakan Tuhan.”
Jawaban ini mengingatkan saya kepada beberapa “dukun” yang saya wawancarai hampir satu dekade yang lalu, disaat bergumul untuk mendekonstruksi dan rekonstruksi teologia Gereja Karo. Saat itu memang tidak seorangpun dukun yang saya wawancarai adalah anggota GBKP. Mayoritas mereka Islam.
Mempelajari budaya Karo bertanyalah pada para “Guru Karo.”.
Mendekonstruksi dan rekonstruksi teologi gereja Karo (baca: gereja suku) haruslah mengunjungi kembali budayanya. “Jika mau mengenal budaya Karo, wawancarailah “guru” atau dukun Karo”, karena merekalah yang sangat menguasai ritual Karo. Karena Karo beragam, maka wawancarailah guru Karo yang berada di Langkat, dataran tinggi Karo, Deli serdang dan Lubuk Pakam, agar representatif.” Anjuran Anthropolog Payung Bangun inilah yang melandasi perkenalan saya dengan “ranah” ini. “Ranah” yang tak dikenal tapi dikenal.
Anjuran yang sekaligus berisi pernyataan ini menyentak saya waktu itu, bahkan hingga kini. “guru atau dukun Karo” lah yang menguasai budaya Karo karena merekalah yang melaksanakan dan/atau yang memimpin ritual Karo.
Ritual adalah essence dari upaya penyelarasan mikro kosmos (manusia) dengan makro kosmos (alam/nature).
Ritual Karo dilakukan tidak hanya berdasarkan dan untuk siklus kehidupan manusia saja tapi juga untuk siklus alam. Maka, semua ritual adalah penyelarasan mikro dan makro kosmos. Sehingga bisa dikatakan bahwa para “guru/dukun Karo” lah yang memimpin penyelarasan mikro dan makro kosmos, sehingga semua tatanan berada pada tempatnya (in order). Pengertian (atau bisa juga kita sebut belief) seperti ini nampak di komunitas yang hidup di dan bersama alam, Komunitas seperti ini tidak mengenal konsep Tuhan yang monotheis, dosa, hidup baru, bertobat, Maranatha, dll. Jangan berpikir bahwa komunitas seperti ini hanya ada pada zaman dahulu kala. Kini juga. Mereka tersebar disana sini, di semua benua.
Dipilih Dibata (4) warisan atau belajar adalah cara untuk menjadi guru karo dan guru karo mempunyai peran yang sentral dalam Kepercayaan Karo, kiniteken sipemena (the original belief).
“Dari kecil saya sudah mempunyai kemampuan untuk mengetahui sesorang yang akan mati.”
Kata ibu Kemit ketika saya tanya bagaimana ia bisa menjadi dukun. Kalvinsius Jawak dalam tesis Masternya menuliskan bahwa Guru dalam agama suku Karo adalah yang dipilih oleh Dibata Dibata (Kalvinsius Jawak. Yahweh Dan Dibata, UKSW, Salatiga, 2009).
“Kemampuan yang saya miliki tidak saya gubris, apalagi bapak saya adalah Penatua (5) di GBKP. Namun di usia empat puluhan, suara bisikan makin keras di telinga saya agar saya mau jadi guru untuk mengobati orang. Tetap saja saya enggan. Akibatnya, berbagai penyakit datang silih berganti, tanpa henti, sampai bosan keluar masuk rumah sakit. Akhirnya saya menyerah dan berkata ke suara yang acap berbicara di kuping saya untuk disembuhkan dan mau bersamanya untuk mengobati manusia.”
Dua tahun adalah proses ibu Kemit melewati tahap pembentukannya menjadi “guru,” dimulai dari sakitnya hingga melewati kondisi yang diilihat orang “normal” hampir seperti kurang waras, dikarenakan beliau hanya berinteraksi dengan suara yang berbicara dikupingnya, yang tidak bisa dilihat dan didengar oleh orang lain khususnya yang masih bergantung pada panca indra.
Dari cerita tentang latar belakang ibu Kemit, diketahui bahwa beliau adalah cucu dari seorang “guru karo” juga, sehingga besar kemungkinan bahwa keberadaannya sebagai “guru Karo” kini, adalah warisan dari nenek dan sekaligus juga adalah pilihan Dibata Karo. Karena biasanya kemampuan sebagai “guru”, khususnya guru mbelin (6) , diwariskan keketurunannya bergenerasi.
Peran puasa dan meditasi bagi guru karo.
“Apakah ibu acap puasa dan meditasi dalam proses dan setelah menjadi “guru”?” tanya saya. “Tidak juga” jawabnya.
“Saya akan mutih atau ngebleng (jenis puasa Kejawen) jika saya sedang dalam pekerjaan mencari barang yang hilang, tapi kalau untuk mengobati penyakit, cukup suara itu yang membimbing saya. Semua obat obatan dapat diambil dari tumbuhan yang ada di Gunung Sibayak (7) . Namun meditasi harus dijalani, karena inilah cara berkomunikasi dengan Dibata Dibata lain yang telah memilih saya.”
Kegamangan GBKP dan gereja suku lainnya dalam berinkulturasi.
Dari pemaparan isi percakapan di atas ada beberapa hal yang hendak saya angkat yaitu:
1. Katolik setelah konsili Vatican II sangat terbuka dengan kebudayaan lokal, sehingga dengan luwes
berhibridisasi dengannya tanpa merasa menjual diri, walau masih nampak akan kedominanan Kristus
di atas kebudayaan lokal (Christ above culture, Richard Niebuhr; lihat, Pengaruh Kekristenan Pada
Kebudayaan Simalungun, Kolportase GKPS, 2003.). Walaupun demikian dengan keterbukaan Katolik
akan keberadaan roh roh lokal, dan tidak mengabsolutkan bahwa roh hanyalah roh kudus, telah memberi
tempat bagi para “guru” tidak hanya dari Karo tapi juga daerah lain untuk menjadi jemaatnya.
2. Dari hasil pertemuan Gereja-gereja Lutheran yang ada di Asia dan Afrika yang membicarakan tentang
Ancestors, Spirits and Healing in Africa and Asia: A Challenge to the Church yang
diselenggarakan di Malaysia pada tahun 2005 nampak bahwa gereja gereja Lutheran di Afrika telah lebih
dulu mampu berinteraksi dengan keberadaan roh roh lokal dalam hal ini roh leluhur, dari pada gereja
gereja di Asia. Sayang sekali tidak ada dalam laporan konperensi itu catatan dari gereja suku lainnya yang
ada di Sumatera Utara semisal HKBP (8) , GKPI (9) ataupun GKPS (10) yang berkonteks sama
dengan GBKP.
3. Penampakan poin 1 dan 2 di atas tidaklah terlalu mengherankan karena di AAR (American Academy of Religion) yang saya hadiri di tahun 2011 di San Fransisco saja, para Panelis yang berbicara tentang keberadaan dan peran roh di Indigenous People, walau mereka sendiri adalah asli Indian Canada ataupun Amerika juga mencoba “mengkristenkan” roh leluhurnya. Jadi tetap nampak aspek Kristus diatas kebudayaan. Di sisi lain jika saya berdiskusi dengan para Anthropolog tentang keberadaan dan peran roh di kepercayaan alam (nature belief), mereka memang tidak men- “teologisasikan” roh, mereka mendiskripsikan penampakan penampakan yang ada, tapi tidak mempercayai keberadaan dan kekuatannya. Saya pikir jika kita bertahan hanya di phenomenology saja, pengetahuan tentang apapun tidak akan utuh dan menyeluruh.
4. Kata dipilih adalah kata Alkitab, seperti Israel dipilih oleh Allah, begitu juga nabi Amos, Yesaya dll. Acap kata dipilih diganti oleh para hamba Tuhan kini dengan kata dipanggil. Jadi ada suara yang memanggil. “Guru” dipanggil langsung oleh suara yang berbicara dikupingnya. Jika hendak berkomunikasi dengan para pemilihnya (para roh/Dibata) Guru harus bermeditasi bahkan puasa. Dengan dan melalui roh/tendi-lah “guru” “berkomunikasi dengan roh roh leluhur dan Dibata-Dibatanya, dan dengan roh/tendi juga kita berkomunikasi dengan siempunya roh/tendi kita, apapun kita sebut namaya. Metode inilah yang bisa digunakan sebagai jalan spiritualitas. Allah/ Tuhan adalah roh. Maka jika ingin berkomunikasi dengan Allah yang adalah roh maka,
manusia harus menggunakan rohnya untuk masuk ke frekwensi roh Allah. Biasanya dengan meditasi. Jika kita adalah yang dipilih oleh Allah, maka untuk menyatukan frekwensi denganNya, tidaklah terlalu susah. Tapi jika pengenalan kita padaNya melalui belajar, maka diperlukan ketekunan/disiplin dalam meditasi dan puasa untuk menyatukan frekwensi roh kita denganNya. Melalui pengertian ini dengan mudah kita memahami apa yang terjadi di hari Pentakosta; puasa empat puluh harinya Yesus yang kemudian dibimbing oleh roh untuk dicobai di padang gurun; konsep tentang anak anak roh yang banyak di injil Yohanes dan juga surat Paulus. Juga tentang mujizat yang dilakukan Yesus dan kemudian oleh murid muridnya setelah hari Pentakosta.
5. “Guru Karo” dipilih oleh Dibata Dibata. Sebenarnya kata dan konsep Dibata bukanlah asli kepercayaan Karo (saya tidak menggunakan kata agama Karo). Kepercayaan Karo dulu disebut perbegu, asal kata brgu yang berarti roh atau jiwa yang kekal (Kalvinsius Jawak). Perbegu bukan penyembah setan atau iblis atau begu ganjang, tapi yang Menghormati atau mengakui roh, khususnya roh leluhur dan roh alam (nature spirits).
Jika begitu, bukankah sebenarnya orang Kristen juga Perbegu karena mereka mempercayai roh Kudus?
Kata roh dalam roh kudus diterjemahkan kedalam alkitab bahas karo dengan kesah bukan tendi (11) , sedangkan dialkitab bahasa Toba dan Simalungun diterjemahkan dengan . Tondi Parbadia dan Tondui Na Pasing (A. Ginting Suka, Jurnal Teologia Beras Piher, GBKP). Jelas penggunaan kesah dan bukan tendi disini adalah untuk menghindari pengertian negatif kata tendi yang dimengerti oleh orang karo akan berubah menjadi begu jika manusia mati. Pergeseran pengertian begu dari positif kenegatif muncul ketika konsep roh dimonopoli oleh roh kudus.
6. Mungkin karena kurangnya referensi, saya tidak menjumpai konsep kepercayaan karo akan Tuhan seperti yang dimengerti sebagai Yahwe pencipta, juruslamat dll. Apakah konsep Si Mada Tinuang bisa disebut asli karo? Dibata simada kuasa, sinepa langit ras doni atau Simula Jadi na bolon, bukanlah konsep asli Karo. Pembagian atas tiga dunia dan memiliki Dibata masing masing (Kaci Kaci, Banua Kling dst) juga bukan
asli Karo. Yang asli Karo saya pikir adalah pengertian bahwa tidak adanya pemisahan antara dunia manusia dan dunia roh di alam semesta. Manusia, roh dan alam adalah integral, sehingga silaturahmi berlangsung terus, walau roh berada dimensi yang melampaui panca indra. Pengertian ini dikategorikan oleh EB Taylor sebagai animisme. Cara pandang seperti ini biasanya tidak mengenal konsep sejarah, karena tidak mengenal konsep waktu, jadi masa lalu, kini dan nanti saling bersinggungan. Kemudian Hindu lah yang memberikan personifikasi pada roh roh sebagai makhluk yang memiliki kepribadian dan akal. Inilah konsep Dibata, deva, dewa yang adalah cikal bakal Politeisme. Konsep Terjadinya Alam Semesta yang dikenal oleh orang karo
kini (lihat blog Rudang Rakyat Sirulo) menurut saya adalah hasil hibridisasi yang cantik setelah terjadi persentuhan antara Karo, Toba dan Hindu.
7. Pengambil alihan kata Dibata dari konsep Hindu untuk disandingkan atau menggantikan kata ataupun pengertian begu (roh) tidak menjadi masalah bagi kepercayaan Karo, karena inti pengertian Karo akan roh/tendi tadi masih disitu. Karena tendi/roh adalah unsur terpenting di mikro dan makro kosmos, dan juga
sekaligus sebagai media yang menghubungkan keduanya, maka tidak heran jika peran guru karo sangatlah penting di Karo. Apakah kemampuan menyembuhkan dan kesembuhan yang diberikan oleh Dibata/begu Karo ini tidak sesuai dengan atau melanggar otoritas Dibata agama agama lain, seperti Kristen atau Islam? Jika Kristen dan Islam percaya bahwa semua yang ada di alam semesta ini baik yang nampak maupun yang tidak nampak adalah ciptaan Tuhan/Allah, lalu bukankah itu berarti bahwa begu/Dibata Karo juga dalam “pengawasan” Dibata Kristen dan Islam?
“Apakah kam (12) berpikir atau percaya bahwa Dibata Kristen “mengamini” pilihan
Dibata Karo atas ndu (13) untuk menjadi “guru karo” ini nde (14) ?” tanya saya kepada ibu Kemit di penghujung pertemuan kami. “Ya, atas persetujuan dan perintahNya lah maka ini terjadi.” Kata ibu Kemit dengan yakin. Nampak di wajahnya ekspresi kebebasan yang tidak dikungkung oleh dogma-dogma agama kitab.
8. Siapa bisa menyangkal bahwa semua agama yang ada di tanah air Indonesia ini adalah yang datang dari luar (import). Agama ini datang bergandengan dengan kekuasaan dan perdagangan (kuasa dan uang). Semua agama import ini berhasil mendapatkan apa yang diinginkannya. Indonesia mengalami kejayaan kerajaan
Hindu sejak Kutai di Kalimantan hingga Majapahit di Jawa dengan Sumpah Palapa Gajah Mada. Budha berhasil dengan kejayaan Kerajaan Mataram Budha dan Sriwijayanya, candi Borobudurlah salahsatu buahnya. Islam berhasil dengan kejayaan kerajaan Islamnya dengan Kerajaan Mataram Islam, Demak dengan wali songonya, Samudera Pasai di Aceh. Kristen dengan Belandanya yang telah mengurasi kekayaan
ibu pertiwi dan menciptakan Belanda yang makmur kini.
Dampak dari Gerakan 30 September adalah semua orang di Indonesia harus beragama resmi kepercayaan yang bersifat personal menjadi institusi yang dikontrol Negara. Peraturan dikeluarkan dengan ancaman yang mengerikan, yang tidak beragama resmi adalah anggota atau simpatisan PKI. Di saat inilah anggota GBKP melonjak drastis. Mengapa pilihan jatuh ke GBKP? Karena saat itu institusi keagamaan yang ada di Karo dan yang bernama Karo adalah GBKP. Islam ada, tapi orang Karo suka makan babi yang diharamkan Islam. Alasan praktis, untuk perut dan keamanan diri. Sedih jika dikatakan ini yang dibuahkan oleh roh kudus, karena dampak dari pelonjakan kuantitas belum nampak di pelonjakan kualitas. Orang Karo yang “beriman” pragmatis dihadapkan pada agama Kristen yang penuh dengan dogma yang complicated dan
tradisi/budaya yang kurang dikenal. Makanya agama Kristen kurang diminati orang Indonesia yang merasa sangat nyaman dipendekatan kultural. Lalu menjadilah Indonesia sebagai negara yang berpenduduk Islam terbesar di dunia.
Banyak orang karo yang kental dengan Perbegu lebih memilih menjadi Hindu, karena Perbegu dan Hindu sudah menghibrid menjadi dua tapi satu. Hampir semua kepercayaan suku menghibrid dengan halus dan mulus dengan Hindu dan Budha. Karena Budha adalah Hindu mulanya. Tidak sejauh Kristen yang adalah transformasi agama Jahudi. Kejawen (agama jawa) juga begitu. Jika.ketika kepercayaan Karo atau
jawa “kawin” dengan Hindu dan Budha mereka tidak merasa kehilangan identitas (jati diri). Namun merasa “tidak berarti” ketika harus menjadi Islam apalagi Kristen.
“Pertarungan” Kejawen Hindu/Budha dengan Islam sangat nampak dipercakapan antara Sabdo Palon dengan raja Prabu Brawijaya V. Kepercayaan Karo cukup lama bertahan sebagai identitas Karo karena Majapahit tidak mampu menaklukkan kerajaan Haru dan Putri Hijau di Delitua cukup lama mempertahankan keeksistenan kerajaannya dan mampu bertahan dari pengaruh dan ancaman kerajaan Islam dari Aceh. Namun kini, identitas Karo itu hanya dimiliki oleh segelintir orang, jika disebut mayoritas adalah para “guru Karo.” Identitas itupun harus dibajui oleh agama resmi negara, jika mau dianggap sebagai bagian dari masyarakat.
Tamu kok mau jadi tuan rumah.
Saya ingat komentar Pdt Em. A. Ginting Suka (15) beberapa tahun yang lalu atas satu tulisan yang dimuat di jurnal Beras Piher. “Saya menangis ketika membaca kutipan yang kam muat di Beras Piher itu” katanya. “Mengapa.Ma (16)” Saya balik bertanya. “Cerita itu mengingatkan saya kembali akan tempo dulu. Saya merasakan sekali cerita itu. Dan saya merasa ada di dalam cerita itu,” Katanya. Oh ," kata saya. "Jadi apakah Mama hendak mengatakan bahwa kita orang Kristen atau dirindu ini adalah seorang schizophrenia, tendi/roh ndu Karo tapi tubuhndu dan bajundu Kristen.” Saya bilang. “Ya, ya,” dikatakannya. Artikel yang dibaca beliau adalah bagaimana satu keluarga melakukan perumah begu (upacara pemanggilan roh orang mati) untuk memanggil arwah kepala keluarga (suami/bapak) yang telah lama tidak pulang ke rumah. Masyarakat berspekulasi bahwa bapak tsb dibunuh karena anggota PKI.
Schizophrenia jika disadari tidaklah menjadi penyakit yang membahayakan. Cuma seperti duri dalam daging. Jika kepercayaan suku dan kekristenan bukan seperti minyak dan air yang sama sekali tidak bisa dihibridkan, mengapa tidak berupaya mengolahnya menjadi sesuatu yang baru yang bisa digunakan sebagai identitas gereja suku tsb. Ajaran Yesus harus dibudayakan, sehingga keduanya berdialektikal. Islam sudah mencobanya, maka timbullah istilah Islam abangan dan Santri. Ada Syeh Siti Jenar. Katolik sudah memulainya dengan membuka pintu bagi para “Guru” menjadi anggota persekutuan dan pengadopsian beberapa ritual. Schizophrenia akan menjadi parah, jika tamu memaksa diri untuk jadi tuan rumah.
1. Guru Karo adalah seorang yang bukan hanya mampu mengobati penyakit tapi juga yang memimpin ritual kepercayaan Karo. Karo adalah salah satu suku di Sumatera Utara yang tidak hanya mendiami Kabupaten Karo di Sumatera Utara tapi juga menyebar di seluruh Indonesia.
2. Mayoritas gereja di Indonesia adalah gereja suku, sehingga penggunaan bahasa suku/daerah masih sangat dominan. Pengaruh budaya suku dalam kehidupan gereja suku itu bergantung seberapa dalam gereja tersebut mengerti akan arti gereja dan identitas mereka (inkulturasi).
3. GBKP adalah singkatan Gereja Batak Karo Protestan yang beranggotakan lebih dari 300.000 yang berpusat di Kabanjahe dan mempunyai jemaat dari Aceh hingga Sulawesi.
4. Dibata adalah kata yang diadopsi dari pemahaman Hindu akan Deva/dewa oleh, tidak hanya Karo tapi juga Toba, Simalungun, dll.
5. Penatua adalah pembantu Pendeta dalam melayani di gereja.
6. Guru/Dukun besar.
7. Gunung Sibayak adalah salah satu gunung yang ada di Kabupaten Karo Sumatera Utara
8. Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang berpusat di Pearaja, Tarutung, yang anggota jemaatnya dominan bersuku Toba.
9. Gereka Kristen Protesta Indonesia (GKPI) berpusat di Siantar anggta jemaatnya dominan bersuku Toba
10. Gereka Kristen Protestan Simalungun (GKPS) yang berpusat di Siantar anggota jemaat dominan bersuku Simalungun.
11. Kesah adalah nafas sedangkan tendi adalah roh yang mengaktifkan nafas dan jiwa.
12. anda
13. mu
14. Nde, singkatan dari nande yang berarti ibu.
15. Mantan Ketua umum GBKP dan memimpin GBKP selama hampir 30 tahun.
16. Ma, singkatan dari mama yang artinya paman dari pihak ibu